Gadis kecil
"Kalian lapar, ya? Mari sini sayang, kakak beliin makanan." Aku mengajak kedua anak tadi untuk duduk bersama.
"Mau batagor gak? Kalau kalian mau, kakak pesenin ya." Kucoba menawari mereka, dan mereka hanya mengangguk tanda mengiyakan tawaran dariku.
"Mang, tolong buatin dua porsi, ya! Nanti biar saya yang bayarin." Seruku pada penjual batagor dan langsung disetujui olehnya.
"Kalian tunggu di sini dulu, ya! Kakak mau belikan nasi bungkus untuk kalian." Ujarku seraya berdiri, niatku hendak pergi membelinya sendiri, tapi dengan cepat dicegah oleh Ronny. Ia memegang lenganku.
"Kenapa?" Tanyaku singkat sembari melihat wajah Ronny, setelah diperhatikan lebih jelas ternyata dia ganteng juga ya.Hehe....
"Kamu gak usah kemana-mana, beli nasi bungkus itu berat. Kamu nggak akan kuat, biar aku aja." Sahutnya seraya menuntunku agar duduk kembali, kemudian ia bangkit dan berjalan ke KUA. Eh, maksudnya beli nasi.
Duuh, gara-gara kelamaan gak punya cowok jadinya gini nih. Pikiran ke KUA mulu. Huhuhu...
Saat batagor yang kupesan tadi sudah selesai dibuat dan disuguhkan di atas meja, tampak kedua anak itu masih malu-malu saat hendak memakannya.
"Ayo dimakan sayang, jangan malu-malu." Seruku bersemangat, bahkan aku menyuapi kedua anak tersebut.
Setelah beberapa kali menyuapi mereka, kali ini kedua anak itu berani untuk makan sendiri. Bahkan mereka makan dengan lahapnya, mungkin mereka berdua sudah menahan lapar selama berhari-hari.
Tak terasa, butiran bening mulai membendung di pelupuk mataku, rasanya sangat menyakitkan di dalam hati ini ketika melihat penderitaan orang-orang yang tak dikaruniai rezeki berlimpah.
Mereka harus rela membuang rasa malu dan meminta-minta dari satu tempat ke tempat lainnya. Hanya demi sesuap makanan.
Berbeda jauh dengan kondisi yang kumiliki saat ini, meskipun aku bukan orang yang bergelimang harta. Tapi aku tahu rasanya bagaimana menjadi orang tak memiliki apa-apa.
Aku memesan dua porsi batagor lagi pada sang penjual, sembari mengusap air mata yang kini telah membasahi pipi.
Kedua anak itu pun menatap dalam saat aku menangis, mereka tak mengucapkan sepatah katapun padaku. Justru mereka semakin mendekat kemudian memeluk tubuhku yang wangi semerbak dari parfum yang kugunakan.
Ini tentu sangat berbeda jauh dengan aroma tubuh mereka yang sepertinya tak mandi selama berhari-hari. Namun aku tak mempermasalahkan hal itu.
Bagiku, berada di dekat orang-orang seperti mereka membuat hati sedikit terobati dan tak lagi merasa sepi. Karena sejujurnya aku pun kekurangan kasih sayang dari orang tuaku sendiri.
Tak lama kemudian, Ronny kembali sambil membawa dua kantong plastik besar yang terlihat penuh. Aku tak tahu isi di dalam kantong plastik tersebut, sepertinya Ronny membeli nasi bungkus yang sangat banyak.
"Hai, maaf ya udah buat kamu nungguin lama. Ini aku belikan nasi bungkus sama air mineral buat mereka berdua dan keluarganya juga. Siapa tahu mereka juga belum makan hari ini." Ujar Ronny menyerahkan dua kantong plastik yang dibawanya padaku.
Kusambut pemberiannya kemudian membuka plastik itu dan benar saja, banyak sekali nasi bungkus yang Ronny masukan ke dalam kantong plastik itu.
"Banyak banget kamu belinya, Ron. Ini semua abis berapa?" tanyaku sembari mengeluarkan satu persatu bungkusan nasi.
"Udah gak usah dipikirin, mending sekarang kita mulai berbagi ke teman-teman mereka aja." Usul Ronny dan langsung kusetujui ide tersebut.
"Ayo kalian habiskan juga makanan kalian, nanti tolong anterin kakak ke rumah kalian, ya. Kakak mau bagikan nasi untuk teman-teman kalian berdua." seruku pada kedua anak kecil tadi, mereka mengangguk kemudian menghabiskan sisa makanan yang ada.
Setelah selesai membayar semua pesanan pada mamang penjual batagor, kami berempat pun pamit dan mulai berjalan kaki ke arah tempat parkiran motor.
"Ron, kamu bagian bawa nasi bungkusnya gak apa-apa, kan? Dua anak ini biar aku yang bonceng aja." Ujarku sembari menggandeng kedua gadis kecil itu.
Ronny mengacungkan jempol tanda setuju, kemudian kami sepakat membawa motor masing-masing dan berjalan beriringan.
Motor Ronny di belakang sedangkan aku memimpin di depan, tampak kedua gadis kecil ini sangat senang saat kuajak berkendara mengelilingi kota. Sepertinya mereka tak pernah naik kendaraan dan lebih sering berjalan kaki.
Ekspresi mereka benar-benar girang bukan main, aku berulang kali mengingatkan mereka agar jangan terlalu banyak bergerak saat duduk di atas motor, karena akan sangat berbahaya. Untungnya mereka termasuk anak yang penurut.
Setelah puas mengajak berkeliling kota, akhirnya kami sampai di sebuah tempat yang penuh dengan gubuk kumuh. Bahkan beberapa diantaranya sudah tak bisa disebut gubuk yang layak untuk tempat bernaung.
Aku sempat terkejut, kedua gadis kecil ini harus tinggal di tempat seperti ini.
Kami terpaksa harus memarkir motor di ujung jalan masuk area ini, karena kondisi sempitnya gang yang tak mungkin bisa dilalui oleh motor.
Susah payah aku memasuki area ini, bahkan Ronny tampak kesulitan saat mencoba berjalan menyusuri lorong gang ini. Karena ia sedang membawa dua kantong plastik besar penuh dengan makanan yang akan kami bagikan.
Ditambah keadaan jalan yang becek dan bau tak sedap dari tumpukan sampah, membuat kami sangat kesulitan. Akan tetapi para gadis kecil tadi justru dengan mudah melewati jalan ini.
Mungkin karena mereka telah terbiasa berjalan keluar masuk area ini setiap harinya, ditambah postur tubuh mereka yang mungil membuat mereka sudah jauh berada di depan kami.
"Kakak..." teriak kedua gadis kecil itu seraya melambaikan tangan padaku. Mereka masih setia menunggu kami berdua.
Sesampainya di ujung gang, kami berdua tak segera melanjutkan perjalanan ini. Bahkan Ronny pun memilih untuk berhenti dan duduk sejenak di atas sebuah kulkas usang yang tergeletak di sana. Ia menaruh kantong plastik berisi makanan di samping kulkas usang tersebut.
"Kamu masih sanggup jalan lagi gak, Ron?" tanyaku memastikan.
"Tunggu bentar dulu ya, Dis. Aku tadi bukan cuma susah di jalannya aja, tapi sepanjang gang tadi aku tuh tahan nafas tahu." jawab Ronny sembari terengah-engah.
Aku tak bisa menyalahkannya, karena ini adalah keinginanku dan Ronny bersedia menemani. Meski tampaknya Ronny sudah tak sanggup lagi. Jadi kuputuskan untuk membiarkannya beristirahat sejenak.
Sementara itu kedua gadis kecil yang sedari tadi berada di sampingku justru berjalan menghampiri Ronny, lalu mereka berinisatif untuk membawa satu kantong plastik besar tadi. Melihat hal tersebut, spontan aku segera mencegah mereka.
"Udah gak usah dibawa, sayang. Ini berat banget loh, biar kakak aja yang bawain ya," pintaku sembari tersenyum, mereka berdua hanya mengangguk tanda setuju.
Beberapa menit setelah beristirahat sejenak, akhirnya Ronny bangkit dan siap untuk melanjutkan perjalanan kembali.
"Kita lanjut lagi yuk, Dis." ajak Ronny saat itu, aku mengangguk lalu membagi tugas membawa kantong plastik. Masing-masing menjinjing satu buah. Kali ini aku tak mau terlalu merepotkan Ronny, jadi kuputuskan untuk membawa satu. Kedua gadis kecil tadi pun mengandeng tangan kami.
Sesampainya di tujuan, kami berempat memasuki sebuah gubuk. Seketika aku terkejut saat melihat sebuah pemandangan yang membuat hatiku sangat prihatin. Bulir bening mulai membendung di pelupuk mata,
"Ya Allah..." pekikku sembari menutup mulut.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top