yurei
Aokigahara
Sasuke x Naruto
Yurei adalah sosok gaib penghuni hutan angker itu. Membisiki, membayangi, menyuruhmu melakukan hal di luar kesadaran. Bunuh diri.
Yurei.
Berhati-hatilah saat kau bertemu dengannya.
~
Kawasan hutan Aokigahara.
Sasuke menatap bangunan di depannya. Dua buah gambar eskrim corong setinggi dada menyambut tepat di depan pintu masuk tempat penjualan tiket dan makanan. Sejenak dia seperti memikirkan sesuatu.
Seorang perempuan, resepsionis, tersenyum padanya. Melambaikan tangan. Menyuruhnya untuk membeli tiket masuk hutan Aokigahara.
Ya, hutan dengan sebutan angker. Aokigahara.
Terketak di barat laut kota Tokyo, berjarak antara 115 KM atau lebih dari ibu kota Jepang itu, Aokigahara hutan terlarang tepat di kaki bukit gunung Fuji di sebut-sebut sebagai hutan angker yang sering di jadikan tempat terbanyak untuk bunuh diri.
Sasuke mendengar cerita-cerita tentang Aokigahara dari temannya setahun yang lalu. Rasa penasaran telah membawanya menarik paksa sang sahabat keluar dari sangkarnya.
Meski ada niat lain di samping sekedar penasarannya. Dia ingin menemukan. Seseorang. Semoga.
Dari sana, dari bangunan itu, keluarlah orang yang sudah lama mengisi kekosongannya. Sasuke senyum.
"Kamu sudah dapat tiketnya, dobe?"
Naruto, si teman, berlari mendekat sambil mengangguk. Dia balas tersenyum. Menyodor dua tiket dan sebuah buku panduan.
Sasuke menerima lembaran tiket untuk masuk ke gua-gua yang berada di sekitar hutan.
"Ini tiket terusan?" tanya Sasuke, membalik tiket bertuliskan gua Narusawa.
Naruto belum berkata apapun, si pirang ceriwis itu akan jadi pendiam jika terlalu antusias. Seperti sekarang. Mungkin.
"Hm--apa?"
"Kita tidak akan masuk ke dalam hutannya?" Sasuke lagi yang bertanya. Pemuda itu membenarkan ransel bawaannya.
"Hm," Naruto masih autis. Mengamati seluruh kawasan hutan lebat itu dengan seksama.
Sasuke berdecak, tidak suka di abaikan. Naruto seperti orang lain hari ini.
"Naruto? Kamu dengar aku?"
Yang di tanya menoleh sebentar lalu berpaling lagi sambil bersenandung. Mungkin syair puisi Tomino yang di beri nada olehnya sendiri.
"Jangan bilang kamu sudah kesurupan sebelum masuk hutannya, dobe."
"Apaan, sih?" akhirnya Sasuke lega mendengar si ceriwis menggerutu dan mendumel tidak jelas.
"Kamu bisa masuk hutannya, kok, tadi petugas juga sudah mencatat nama dan waktumu."
"Waktu apa?"
"Waktu masuk hutannya, teme. Jika sampai gelap kamu tidak keluar dari sana, patroli hutan akan segera menyusul." Naruto menunjuk salah satu pintu masuk kawasan hutan angker itu.
"Hn," Sasuke mulai membuka buku panduan. Ada yang mengganjal di tengah halamannya namun di abaikan, nanti saja dia buka. "Ada jalur traking, kita tidak boleh melenceng dari jalur ini." jari panjangnya menunjuk-nunjuk pada sebuah gambar jalur dalam hutan itu. Lalu menerawang, menembus kedalaman hutan hanya dengan onyks-nya.
"Yosh. Mari masuk kesana."
Hutan Aokigahara sudah melegenda di Jepang. Banyak orang Jepang sendiri yang belum pernah masuk ke dalam sini karena kisahnya yang menyeramkan. Kata Naruto, sih.
Naruto adalah salah satu remaja impulsif yang sangat penasaran pada hal yang terus mengganggu tidurnya. Maka, Sasuke sedang berusaha mengabulkan keinginannya itu.
"Sasuke, pitanya?" Naruto buru-buru berbalik saat diingatnya mereka belum memasang pita sebagai jejak untuk kembali pulang dengan selamat. Seperti remah roti dalam kisah Hansel and Gretel.
Sasuke membuka satu saku ranselnya, mencabut pita berwarna oren menyala disana. Lengkap dengan gunting.
"Tenang saja, kita belum terlalu jauh." senyum langka terbit lantaran sahabat pirangnya juga tersenyum bak malaikat tersiram cahaya matahari. Naruto menyipit silau matahari.
Saat masuk pertama kali, mereka langsung disuguhkan oleh banyak papan himbauan yang berisi kira-kira tentang larangan bunuh diri, ingat dosa, ingat orang tua, ayah-ibu, dan himbauan lainnya.
Sambil berjalan mereka memasang pita yang terus tersambung dari pohon satu ke pohon lainnya. Sangat panjang, dan belum menemukan sesuatu yang ganjil.
"Banyak sekali jejak pitanya." Naruto menyentuh salah satu pita usang yang menjuntai ke tanah lembab berlumut.
"Jangan sentuh apapun, dobe!" Sasuke menepuk pundak Naruto.
Naruto tercenung sebentar merasakan hangat tangan Sasuke, dia jadi merasa menyesal melakukan ini.
"Hn?"
"Ah, baiklah. Terima kasih, Sasuke." Naruto menggaruk tengkuk canggung.
"Sebenarnya kenapa kamu tiba-tiba mengajakku ke Aokigahara, Naruto?" Sasuke bercelatuk santai, sesantai perjalanan mereka di tengah hutan angker ini.
"Dan kamu terlihat gugup," lanjut Sasuke melirik si pirang di sebelahnya.
Untuk beberapa saat Naruto hanya menerawang, lalu terantuk dahan pohon, dan terhuyung melewati pita abu-abu di sebelah kanannya. Lalu mematung.
"Ti-tidak apa-apa, a-aku hanya ingin saja, Sasuke." ujarnya. Sedikit gelapan, pemuda pirang itu menoleh kesamping. "Anggap saja ini liburan terakhirmu. Aku tahu kamu akan segera lulus, lalu bertunangan dengan Sakura-chan. Jadi ini---err, aku janji tidak mengganggumu lagi. He he."
Sasuke bergeming, terheran pada sikap jarang Naruto. Lalu menggeleng pelan. Memakluminya. Mereka melanjutkan perjalanan.
"Sasuke, kamu lihat perempuan tadi?" Naruto menunjuk area hutan di kanannya, salah satu area terlarang yang di bentangi karamantel di sepanjang celah masuknya dan di gantungi tulisan dilarang masuk.
"Hn?"
"Yang tadi, memakai yukata apa itu, kimono, warna merah. Di sebelah sana." Naruto menunjuk kebelakang pundak dengan jempolnya.
Sasuke menggeleng. "Tidak ada orang lain selain kita, dobe," katanya.
"Ugh, rasanya aku melihat pengunjung lain disana tadi." Naruto mengambil ranting dan memainkannya sambil terus berjalan. Pelipisnya sudah berkeringat banyak, padahal ini bulan Desember.
"Sudahlah. Ayo, kita lanjutkan." Sasuke mengacak-acak rambut pirang Naruto.
.
Tiba di sebuah persimpangan, mereka dihadapkan pada sebuah seruan yang sama dengan yang ada di awal. Tentang 'larangan bunuh diri, atau sebaiknya mengingat orang tua sebelum ingin mengakhiri hidup dengan bunuh diri'.
"Dilarang masuk katanya, hah, orang tua? Aku bahkan tidak punya orang tua, jadi tulisan ini bukan untukku 'kan, Sasuke?"
Sasuke tidak menjawab.
Naruto terus membacanya, dia memang tidak punya orang tua. Papan himbauan itu tidak berpengaruh padanya. Keringatnya semakin deras mengalir dari kening. Sasuke masih mengamati sekitarnya.
"Sunyi sekali, kamu dengar suara serangga, burung, apapun, Naruto?" kepala raven mengadah ke atas langit.
Senyap.
"Ya, tidak ada. Ini cocok untuk relaksasi."
Kening Sasuke berkerut. Baru tahu kalau si pirang bermata safir ini suka menanggapi perkataan dengan gaya yang di buat-buat seperti sekarang. Aneh.
"Sejujurnya, Naruto, apa yang sedang kamu pikirkan. Ini seperti bukan dirimu, dobe. Bicaralah padaku."
Naruto tiba-tiba berhenti berjalan, memalingkan wajah ke kanan lalu kiri. Menghindari tatapan tajam si sahabat raven.
"Kamu menyembunyikan sesuatu?"
Sekali lagi Naruto memalingkan muka. Keringatnya banjir.
"Dobe?"
"A-aku---"
Sasuke menyipitkan mata. Mencurigai sesuatu. Naruto tiba-tiba sesak nafas.
Suasana hutan angker sungguh tidak mendukung. Sunyi senyap bagai masuk dalam kubur. Dedaun enggan gugur menyemaraki kondisi ini. Langit masih cerah. Yang tercium hanya wangi lembab dari lumut-lumut yang menempel di seluruh permukaan dahan pohon yang tumbang.
Naruto belum berani memandang langsung biji onyks di depannya, dia malah melihat pada celah masuk area hutan terlarang di sebelah kanannya. Lalu mengernyit.
"Kamu lihat, Sasuke. Perempuan itu melihat ke arahku." ucap si pirang cepat, nafasnya membauri udara lembab.
Sasuke menulikan pendengaran, mengira si dobe mengalihkan pembicaraan.
"Sasuke, dia menangis." seru Naruto. Kali ini badannya bergerak mendekati papan dilarang masuk. Sasuke masih tidak tertarik dengan itu.
"Sasuke, lihat dia---"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, dobe. Aku sedang bicara padamu." Sasuke meraih pundak pemuda yang tengah panik.
Naruto menoleh, melihat dramatis pada telapak tangan Sasuke yang bercokol di pundak kirinya. Hangat.
"Tapi, perempuan itu---"
"Sebaiknya kita pulang, Naruto. Lalu bicarakan sesuatu yang membuatmu nervous seperti ini." Sasuke akan berbalik saat Naruto menepis tangannya lalu mundur mendekat ke celah area terlarang.
"Maaf, teme. A-aku akan melanjutkan perjalanan. Aku tetap akan di dalam hutan ini. A-aku---"
Sasuke benar-benar tidak habis pikir kenapa Naruto selalu tidak mau di ajak pulang bersamanya. Dia juga memikirkan tentang sesuatu yang membikin dirinya harus memertahankan keinginan untuk membawa pulang Naruto. Hari ini.
"Maaf, Sasuke, aku mencintaimu!"
Sedetik ucapannya terngiang, detik itu pula Naruto lenyap. Naruto lari. Masuk ke dalam area terlarang dan menghilang begitu saja. Bayangan merah melesat depannya. Atau di dalamnya?
"Naruto, oi, Naruto. Mau kemana kam---shit," dalam pikirannya yang berkecamuk, Sasuke memilih melompati tambang besar itu, menabrak papan dilarang masuk hingga jatuh dan terbelah lalu berlari tunggang langgang mengejar temannya yang gegabah.
Terakhir kali Naruto terlihat berlari lurus lalu berbelok ke sisi kanan, dimana pohon-pohon berdiri kokoh dan daunnya lebat menutupi langit.
Sasuke panik, Naruto tidak terlihat dimanapun. Udara kosong ditanyainya. Berteriak ia memanggil namanya. Tak ada jawaban.
Berlari lagi, kali ini lebih masuk kedalam hutan belantara, Sasuke menggerakan kepalanya mencari sosok pirang yang sangat di kenalinya. Nihil. Hanya pohon yang seperti menertawai tindakan sia-sianya. Nothing.
Bergerak gelisah seraya memanggil terus-terusan, Sasuke tidak menyadari dimana dirinya sekarang. Bahkan dia tidak tahu jika sudah tak ada pita warna-warni di sekitar sini, yang menandakan bahwa area ini tidak pernah dilewati.
"NARUTO!!"
Tak ada jawaban. Instingtif, dia mengintip buku manual perjalanan menjelajah hutan angker ini. Di lewatinya beberapa halaman hingga dia menemukan sehelai tisu yang di penuhi tulisan tangan sahabatnya. Alisnya menukik.
Buru-buru ia membaca.
Hai,
Aku mengajakmu ketempat ini. Ingin relaksasi. Ya, tentu saja dari segala pikiran kacauku. Ini tempat yang cocok, kurasa.
Aku sendirian disini. Benar-benar sendiri saat semua orang yang kusayangi meninggalkanku. Ayah, ibu, dan kau.
Bercanda. Kau masih ada, tapi tetap akan pergi. Aku beruntung, masih memilikimu yang terlalu besar untukku, hingga aku bingung bagaimana cara menyamaimu.
Kamu yang memiliki segalanya. Rumah, keluarga, kakak yang penyayang, otak encer, dan kekasih. Tidak seperti aku yang sendiri dan merepotkan. Sampai-sampai aku tidak ingin membebanimu dengan kehadiranku. Aku ingin kau bahagia. Aku baik 'kan.
Padahal aku berdosa, karena mencintai temanku sendiri. Teman lelakinya. Teman yang akan segera meninggalkannya. Teman lamaku yang baru sebentar aku kenal.
Maaf, aku memang idiot. Aku hanya mencintaimu sebegini besarnya dan ya, aku bodoh. Aku terlalu takut untuk melihatmu bahagia bukan di sisiku. Aku terlalu takut untuk merelakanmu pada orang lain.
Aku tetap tidak bisa menerima.
Sekali lagi, tolong maafkan aku yang malah mencintaimu. Mencintai sebagaimana pasangan lainnya, bukan mencintaimu sebagai sahabat atau saudara seperti yang dulu kamu bilang.
Aku mencintaimu, lebih dari itu.
Aku pergi. Jaga kesehatanmu, jangan lupa makan.
U.
Sekejap Sasuke tercenung. Tersenyum miris, menengadah langit, lalu tertawa psikopat. Menertawai dirinya sendiri.
"Ha ha," suaranya hambar, "kau tahu, dobe, aku yang lebih idiot. Aku yang mencintaimu selama ini, bukan kau idiot, bodoh, bebal, tidak peka. Sejak dulu. Hanya kau, Naruto." gema suaranya lantang tanpa distraksi suara apapun di hutan ini. Hanya kesunyian yang membalasnya.
Langit di atas tampak berputar menertawakannya, masih bergeming dengan warna cerah yang tampak menyeramkan di mata Sasuke.
Sasuke menerawang tertawa lagi penuh beban. "Sejak pertama.." lirih Sasuke menunduk sedih.
Detik berikutnya, Sasuke ambruk, lututnya lemas seperti jeli. Pandangannya mengabur seiring bayangan wajah perempuan yang tidak di kenalinya. Perempuan pucat dengan luka melintang di sepanjang mulut hingga telinganya. Perempuan merah yang di kejar oleh Naruto. Yang membisikinya dengan tawa seram. Katanya Naruto sudah menunggu.
Sasuke harus bergegas.
Kelopak mata pucat itu terbuka, menampilkan biji hitam sekilau obsidian. Secerah langit malam di terangi bulan. Mengerjap. Menyadarkan diri dari kekosongan.
Maka, bangkitlah Sasuke. Berbalik badan lalu berlari lagi. Berputar, mengawasi sambil mendengar dengan seksama suara yang mungkin saja berasal dari sosok yang ingin di bawanya pulang.
"Naruto!!" sekali lagi di memanggil, berharap ada jawaban. Apapun.
"Kamu dengar, dobe, kita luruskan semuanya. Aku. Kau. Mencintai. Kita. Saling. Mencintai. Sekarang keluarlah, kita pulang." Sasuke tidak peduli nafasnya menghambur, tidak peduli medan terjal dan basah yang di laluinya, tidak peduli berkali-kali tersandung dahan pohon yang melintang. Dia hanya peduli pada Naruto.
"Naruto!?"
Pikirannya berkecamuk mengira-ngira hal buruk apa yang telah terjadi pada teman yang sejak lama di cintainya.
"Shit," umpatan demi umpatan keluar dari bibir tipis sesaat dia berpikiran konyol tentang kata-kata Naruto saat pertama masuk kedalam hutan ini.
"Dilarang masuk katanya, hah, orang tua? Aku bahkan tidak punya, jadi tulisan ini bukan untukku 'kan, Sasuke?"
Sasuke tidak mau meneruskan spekulasi dalam kepalanya. Dia akan mencari dan menemukan Naruto apapun keadaannya.
"Naruto!!"
Ketakutan macam apa yang menyergapnya kali ini, tidak bisa ia bayangkan teman idiotnya itu melakukan hal yang biasa dilakukan orang-orang frustasi dalam hutan ini.
Bunuh diri. Hilang.
"Tidak, Naruto!" Sasuke menggeleng lagi, tersandung lagi, hingga jatuh berguling pada bagian tanah yang menjorok jauh kedalam Aokigahara. Hingga gelap menutupi kesadarannya.
Sasuke pingsan.
.
.
.
Langit gelap, segelap hatinya yang tertinggal dalam belantara hutan terlarang Aokigahara.
Sasuke bangkit dari kursi tempatnya duduk di depan meja resepsionis. Dia selamat. Dia sudah keluar dari hutan itu dengan selamat.
Betepatan dengan jatuhnya malam, beberapa petugas patroli hutan menemukannya dalam keadaan kacau, tidak sadarkan diri. Tergeletak tidak berdaya dekat seonggok radio usang dan berjamur dan berlumut. Di duga barang yang di tinggalkan oleh seseorang terduga pelaku bunuh diri di tempat itu.
Sasuke berjalan ke arah meja bundar terbuat dari dahan pohon yang di potong melintang yang di kelilingi oleh kursi yang sama-sama terbuat dari batang pohon. Lalu duduk. Segera tercium wangi pinus di hidungnya.
Seorang petugas mendatangi. Menepuk pundaknya, lalu tersenyum kaku.
"Kopi?" tawarnya.
Sasuke tidak mengangguk, tidak menyahut. Hanya mengambil gelas kertas berisi kopi hangat dari tangan si petugas hutan.
"Jam berapa sekarang?" tanya Sasuke pada akhirnya.
Si petugas mendongak, ikut duduk di salah satu kursi pohon.
"Pukul sembilan," katanya seraya melihat arah jendela. Memastikan pada si raven bahwa yang di maksudnya adalah jam sembilan malam. Bukan pagi hari.
Sasuke hanya mengangguk pelan.
"Kamu masuk ke hutan itu pukul dua siang tadi, dan tidak keluar sampai pukul tujuh malam. Kami patroli hingga ke ujung Aokigahara, dan menemukanmu di dalam area terlarang untuk di masuki pengunjung." petugas laki-laki itu tersenyum.
"Apa kalian menemukan rekan-ku?" tetiba suara Sasuke tercekat di tenggorokan. Si petugas mengernyitkan alis.
"Rekan?"
"Ya," kata Sasuke penuh harap, dirinya ikut-ikutan mengernyit bingung. "Temanku, yang tadi datang bersamaku. Yang pirang." lagi-lagi suara seperti tersumbat batu.
"Pirang?"
"Ya. Ya. Dia yang membeli tiket, kalian juga menulis nama-nya di daftar pengunjung 'kan. Cek saja." biji obsidiannya hampir melompat saat si petugas malah menggelengkan kepala tanda bingung.
"Tapi kau datang sendiri, Uchiha-san. Kau sendiri yang membeli tiket, lalu masuk ke dalam hutan sendirian. Tidak ada kawan." terang si petugas lebih yakin.
"Apa." suara Sasuke benar-benar hilang kali ini.
Petugas itu berdiri, berjalan cepat ke arah meja resepsionis. Berbisik-bisik mencurigakan disana sambil melirik Sasuke prihatin. Lalu kembali lagi dengan buku tebal bertuliskan daftar nama pengunjung.
Sasuke mengambil buku itu dengan kasar kalau tidak bisa di bilang merebut paksa. Membacanya dengan hati-hati. Mulai dari pengunjung pertama di hari ini dan seterusnya sampai tempat penjualan tiket tutup pada pukul tujuh tadi.
Dan apa? Ternyata Sasuke adalah satu-satunya pengunjung hutan pada pukul dua seperti yang di katakan petugas tadi. Lagipula hanya ada tiga nama yang berkunjung pada hari ini. Dirinya, seseorang bernama Sai pada jam tiga, lalu nama Neji menyusul setengah jam sesudahnya. Tak ada yang lain. Dan kedua nama itu pulang saat jam menunjukan pukul lima sore tadi.
Sasuke mengernyit lagi. Bingung. Tangannya tiba-tiba tremor, pandangannya mengabur. Buku tebal di bolak-balik. Tidak ada. Dia hanya sendirian waktu itu.
Hatinya gelisah, jantungnya berlompatan. Dimana temannya?
Masih tremor dia mengambil ponsel. Mengecek sesuatu. Sial, yang tremor rasanya bukan hanya tangan. Otaknya juga. Jarinya menggulir setiap nama kontak disana.
Siapa namanya? Kalau tidak salah---
"Naruto---"
"Siapa?" si petugas mendengar jelas, lalu bertanya lagi. Memastikan.
"Temanku. Namanya Naruto. Adakah pengunjung bernama itu hari ini? Kumohon, coba, di cek lagi." Sasuke menutup buku daftar nama pengunjung.
"Naruto?"
"Ya. Uzumaki. Uzumaki Naruto. Dia yang datang kesini bersamaku."
"Maksudmu, keluarga Uzumaki? Naruto?"
"Hah."
"Mereka. Keluarga itu memang pernah datang kesini. Setahun yang lalu, saat pergantian tahun. Dan menjadi gosip buruk untuk citra Aokigahara. Aku tidak tahu ada yang bernama Naruto saat itu."
"Huh?"
"Mereka bunuh diri."
Hening.
Ternyata bukan hanya di dalam hutan yang bersih dari polusi suara. Disini juga. Sasuke baru menyadarinya. Dan menyesal kemudian.
"Kata resepsionis, sepertinya kau sedang galau, tertekan saat membeli tiket tadi. Karena kau memang membeli dua tiket padahal datang sendiri. Dan sempat merepotkan membuang-buang tisu sembarangan. Mencoret-coret tisu itu lalu menyelipkannya dalam buku panduan. Entahlah. Wajahmu kacau, katanya." satu info lagi yang tidak berhenti membuat Sasuke terkejut kalau bukan bingung setengah mati.
"Jadi, Uchiha-san, apa kau siap untuk pulang? Kami akan mengantar anda." kata si petugas lagi.
Sasuke tidak menanggapi. Dunia masih abu-abu baginya. Dia tidak bisa berpikir jernih saat ini. Apa yang telah di alaminya itu, dia tidak bisa menerjemahkan semua.
Saat ini dalam kepalanya, hanya ada nama dari orang yang tadi sempat bersamanya dalam hutan. Membuatnya jatuh berguling, sakit, lalu jatuh cinta tidak elit.
Nama dalam kontak ponselnya tak satupun sinkron dengan nama yang terus membayangi kepalanya.
Naruto.
~
Matanya hanya terpaku kepadanya, Sasuke balik memelototi iris biru jernih pembawa arus seperti air bah itu dengan cermat. Tatapannya seolah bisa mengobang-ambing perutnya hanya dengan memandang saja.
Sasuke masih tidak berpaling. Lebih intens, matanya hanya tertuju pada biji safir di depannya. Sudah lawas memang, tapi kejernihan biru cemerlang itu masih bisa membiusnya. Walau hanya dari secarik koran lusuh.
Sasuke mengusap gurat kertas yang tak lagi keras, karena terlalu banyak di sentuh. Gambar pemuda itu sudah pudar di makan waktu, mungkin kutu kertas. Tapi masih di pajang apik di dinding kamarnya.
Rambut pirang, mata biru, serta goresan mirip kumis kucing di kedua pipinya. Menurut tulisan disana bernama Naruto bermarga Uzumaki.
Pemuda enam belas tahun yang hilang dalam hutan pada 31 Desember 2016. Satu-satunya korban yang hilang dalam insiden bunuh diri masal keluarga Uzumaki di hutan Aokigahara.
Sasuke tercenung. Sudah satu tahun gambar dan artikel itu menemaninya di kamar. Tak bosan dia memandangi lalu membaca lagi kisah itu. Di ulanginya setiap hari hingga letupan rasa itu datang.
"Hai, Naruto. Aku kembali, kemarin aku mencarimu dan kamu kabur lagi." Sasuke tersenyum pada gambar.
Suasana kamar lebih mencekam dari hatinya. Dia duduk di kursi kerja di depan gambar itu.
"Kukira kamu bakal mau ku ajak pulang. Belum bisa, ya," kali ini kepalanya menggeleng pelan. Menunduk.
"Tenang saja, Naruto, tahun depan aku akan menjemputmu lagi." Sasuke menyeringai. Memejamkan mata. Menyusun skenario pencarian yang jitu.
.
Hidupnya rusak saat pertama kali bertemu dengannya. Sosok Naruto yang pernah di temui satu kali pada bulan Juli di sebuah kafe pada perayaan ulang tahunnya, dikenalkan oleh Sakura, kekasihnya yang tidak lama lagi akan bertunangan dengannya.
Sempat berbincang mengenai impian, sang remaja pirang hanya ingin berkumpul dengan keluarga. Mereka terpisah.
Beruntung tahun itu seluruh keluarganya akan datang untuk perayaan tahun baru. Naruto bahagia bukan kepalang. Dia juga bercerita bahwa mereka akan mengunjungi hutan angker, yang selalu Naruto sebut-sebut sebagai tempat yang ingin dia datangi.
Sasuke mengingat perkenalannya yang hanya sebentar dengan Naruto. Beberapa bulan berselang, kabar buruk di dengarnya.
Sasuke syok bukan main. Tidak menyangka si pirang itu akan meninggalkan dia. Selamanya. Sebelum dia mengenal lebih banyak, sebelum dia memahami perasaannya yang timbul kala membayangkan senyum hangat Naruto.
Tidak ada lagi Naruto di dunia ini. Maka datanglah sosok itu dalam mimpi-mimpinya, berteman dengannya, tersenyum padanya, menyentuhnya. Sasuke bahagia. Hingga terbawa ke alam nyata. Naruto hidup di setiap persendian tulang tubuhnya, di seluruh lapisan dan selaput otaknya, di segala denyut nadi dan jantungnya. Bahkan dalam jarak pandangannya.
Sasuke yakin Naruto selalu ada untuknya.
Selamanya.
END
Kalo ada waktu dan ide, saya lanjutkan lagi tulisannya Trims yang mau baca, kritik dan sarannya akan sangat membantu~
Salam
Puyamoya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top