metamorfosa

Sutradaraku
Sasuke x Naruto

"CUT..!" untuk ke sekian puluh kalinya Sasuke berteriak.

Pria raven itu bangkit dari kursinya. Berjalan cepat ke arah beberapa orang yang tengah berkumpul di tengah studio.

Lampu studio latihan hari ini terang benderang. Backround gambar untuk keperluan latihan teater terbentang apik di setiap dinding studio. Naruto berdiri di sana. Bersama beberapa artis teater lainnya.

Anak baru gede itu mendongak mendapati sang sutradara berdiri gusar di hadapannya.

"Kau, bocah dekil!" telunjuk panjang Sasuke menunjuk wajah Naruto. "Berapa lama kau ikut teater ini, ha?" Sasuke berkacak pinggang sombong, "kemarin sore? Tadi malam?" pria dengan tinggi dan bentuk badan proporsional itu membungkuk di hadapan Naruto yang tingginya hanya seperutnya.

"Berapa tahun umurmu? Tujuh, lima, jangan-jangan baru lahir tadi pagi. Kenapa kau bego sekali, Naruto-dobe."

Naruto tidak menjawab ucapan kasar si sutradara yang sedang marah besar. Ini sudah biasa. Bocah pirang berusia empat belas tahun itu sudah terlalu kebal dengan amukan Sasuke. Sutradara sekaligus orang tua asuhnya itu.

Dulu, saat usia Naruto tujuh tahun, dirinya yang yatim piatu sejak lahir tidak memiliki siapapun. Naruto kecil hidup menggelandang dari satu kota kecil ke kota lainnya. Saat itu Konoha baru saja pulih dari perang besar. Seluruh kota sibuk berbenah diri. Tidak ada waktu mengurusi bocah-bocah malang yang tidak memiliki apapun seperti Naruto.

Saat itu di Konoha sedang tren pementasan teater. Naruto sering melihat papan iklan pementasan di dinding gedung teater. Tidak sedikitpun berharap akan bisa menonton salah satupun dari judul yang terus berganti setiap minggunya.

Warga Konoha menyambut baik pementasan teater ini untuk hiburan dan kemajuan perfilman tanah air.

Suatu hari Naruto di suruh membersihkan sampah-sampah yang berserakan di gedung teater, dengan bayaran satu kotak nasi sisa. Bocah itu sangat gembira dan mau membantu membersihkan sampah yang menggunung dalam gedung itu.

Yang ia tidak tahu bahwa dia bekerja hanya sendirian membersihkan kolong-kolong bangku penonton beserta panggung besarnya. Tapi dasarnya Naruto anak polos dan sabar, ia menerima pekerjaan itu dengan semangat.

Tangan mungilnya menggenggam sapu dan di bahunya tersampir lap basah untuk membersihkan ceceran air minum atau tumpahan makanan berkuah di lantai atau kursi penonton.

Saat itu malam sudah hampir larut. Di luar sangat dingin, dan Naruto belum menyelesaikan separuh dari pekerjaannya.

Wajah berkumisnya sangat kotor karena debu. Bajunya lusuh sebab hanya itulah satu-satunya miliknya. Rambut jabriknya juga kumal sebab tidak di cuci berhari-hari. Badannya juga bau karena seharian berkutat dengan sampah.

Malam itu, lampu gedung teater sudah di matikan. Naruto yang sedang menyapu panggung tidak menyadari seseorang sedang duduk dan membaca berkas-berkas di salah satu bangku penonton.

Ialah Uchiha Sasuke. Sutradara terkenal di Konoha. Sudah jadi kebiasaan sang direktor untuk pulang belakangan setelah semua artis dan kru pendukung acara pulang terlebih dahulu.

Lelaki berumur dua puluh enam tahun itu sedang sibuk dengan urusan naskah di tangannya saat mata lelahnya ia alihkan ke seberang tempatnya duduk. Di sanalah pandangan mereka bertemu.

Hanya sesaat dan dalam keremanga. Sebab hanya di atas panggunglah lampu masih menyala terang benderang menearangi si bocah dekil yang sedang bersusah payah mengangkut satu kantong besar sampah panggung.

Sangat jelas di mata Sasuke, tatapan Naruto saat itu. Seorang bocah dengan sorot mata tidak biasa. Ada banyak hal yang sepertinya ingin di sampaikan manik mata safir milik si bocah pirang itu. Selain kehangatan dan kerinduan pada sesuatu. Mungkin pada orang tuanya yang sudah tiada.

Sebagai seoarang sutradara Sasuke sangat tahu dengan macam-macam tatapan mata. Itu untuk kelancaran akting para aktor dan artis panggung saat pementasan. Tapi sorot mata bocah Naruto sama sekali tidak bisa ia tangkap apa maksudnya meski Naruto kembali memelototinya seperti meminta perhatian.

Sudah sangat larut, dan bocah Naruto hampir selesai dengan pekerjaannya. Perutnya yang keroncongan meminta empunya untuk memasukan apapun untuk mengenyangkannya. Naruto menyimpan sapunya di sudut ruangan, tangan mungil itu membentangkan kain lap yang sudah mengering di lantai untuk jadi alas duduknya.

Sebelumnya ia mengambil kotak nasi yang tadi di janjikan panitia di atas meja di bawah panggung pentas. Naruto sudah siap menyantap makanan itu jika sebuah suara tidak menginterupsinya.

"Kau senang memakan makanan basi, bocah?" Sasuke berdiri menjulang di depan Naruto.

Naruto mengatupkan bibir. Menyangka jika lelaki ini akan menegur lalu memarahinya karena berani makan sebelum pekerjaannya selesai. Naruto menyimpan kembali sumpit dalam kotak itu, lalu mendongak.

"Maaf, aku sudah terlalu lapar." katanya.

Naruto akan berdiri melanjutkan membuang sampah ke bak besar di luar gedung saat tangan orang asing itu menangkup kepala pirangnya.

Sasuke menghentikan si bocah pirang yang kebingungan.

"Buang saja makanan itu. Kau akan sakit jika nekat memakannya."

Lagi-lagi Naruto tidak dapat mencerna perkataan orang dewasa itu. Yang di dengarnya adalah bahwa ia tidak boleh memakan makanan itu walau sudah basi. Lebih baik di buang dari pada di makan oleh budak tak becus seperti Naruto.

Seperti yang selalu ia dengar dari orang-orang yang di mintainya makanan oleh Naruto.

"Tapi aku sudah kepalang lapar, tuan,"

"Di mana rumahmu?" Naruto berhenti lagi saat Sasuke kembali bersuara. Kepala pirangnya menoleh.

"Tidak punya." jawab Naruto pelan. Ia menundukan pandangan melihat pada sepatu mahal Sasuke.

"Tidak punya rumah? Kemana orang tuamu, hm?"

Saat seperti itu yang terdengar bukan hanya suara bariton Sasuke, tapi juga perutnya yang keroncongan. Kepala kecilnya menggeleng. Agak kencang kali ini.

"Aku tidak punya Ayah dan Ibu. Kata orang, mereka pergi ke rumah dewa." bocah Naruto menjawab seadanya sesuai dengan pengetahuannya selama ini.

Sasuke mendengkus pelan. Kedua tangannya memasuki saku celana.

"Lalu, kau pulang kemana setelah ini?"

"Tidak tahu." Naruto menjawab cepat. Tidak di sertai gelengan atau gerakan kepala lainnya. Sepertinya bocah ini benar-benar merasa lapar, sebab dari tadi matanya tak henti melirik kotak nasi yang tidak jadi di santapnya.

"Kalau bisa, jangan makan itu." Sasuke menunjuk kotak nasinya, menyadari kemana arah pandangan Naruto.

"Di tempatku mungkin ada sedikit makanan yang layak kau makan." Naruto tidak mengerti ajakan implisit dari sanh sutradara. Bocah itu mengira pria di depannya ini sedang menyombongkan makanannya.

Maka dari itu, Naruto hanya mengangguk menyahuti. Memungut satu sampah terakhir dan memasukannya ke dalam kantong pelastik besar. Bersiap-siap membuangnya keluar gedung.

Saat itulah Sasuke, untuk kesekian kalinya, menghentikan langkah sang bocah dengan tangannya yang menggusak surai pirang Naruto.

Telapak tangan itu hangat di kepalanya. Naruto menyukai di sentuh di bagian itu, karena tidak pernah merasakan hal demikian dari kedua orang tuanya.

"Ikutlah denganku," kata Sasuke akhirnya. Mengesampingkan sikap dingin dan judes luar biasanya pada orang lain.

Sasuke membiarkan dirinya terenyuh oleh keadaan si bocah pirang malam itu. Naruto mengangguk. Dia menarik kantong sampah dengan kedua tangannya. Menggeretnya susah payah lalu mengangkat pelastik besar itu hingga jatuh ke dalam bak besar di luar gedung teater.

Angin malam mengelus tubuhnya yang hanya di lapisi kain tipis. Ia merinding dingin saat Sasuke menghampirinya di sana.

"Mari." Sasuke berjalan mendului si bocah yang menggigil di belakangnya.

Tengah malam pada hari itu, untuk pertama kalinya Sasuke membawa seseorang bersamanya ke sebuah tempat. Kediaman Sasuke.

.

Sai menjatuhkan gelas properti saking kagetnya dengan kemarahan sang direktor. Naruto di tarik kembali ke dunia nyata setelah lama melamun saat di marahi Sasuke.

Sasuke mendelik pada Sai, salah satu aktor pendukung pada pementasan kali ini. Tangan pucat Sai bergetar hingga gelas yang di pegangnya memggelincir jatuh dari genggamannya.

Helaan nafas kasar keluar dari bibir tipis Sasuke. Sang sutradara kembali betelakan pinggang. Pandangan mata arangnya menyapu seluruh ruangan.

"Siapapun, ajari bocah ini berakting dengan benar!" Sasuke menunjuk kepala Naruto. "Kalau bisa kau harus sakit betulan agar kau tahu bagaimana berakting jadi orang demam 40°C, lakukan apapun agar orang yakin bahwa kau sedang sungguh-sungguh sakit tidak sekedar akting. Bocah bodoh."

Setelah itu studio latihan hening seketika. Hatake Kakashi, pelatih akting teater Sharingan ini yang mendatangi panggung pertama kalinya.

"Kalian sudah cukup bagus menurutku. Kalian hanya sudah lelah karena berlatih sejak pagi tadi." Kakashi menepuk kepala para aktor dan artis yang masih syok melihat kemaraha Sasuke.

"Sekarang istirahatlah, terutama kau Naruto, sepertinya kau banyak melamun hari ini." Naruto mendengarkan guru aktingnya berbicara lembut di balik masker.

"Terima kasih, Kakashi-sensei." ucap mereka serempak.

Namun Naruto kembali pada Kakashi sebelum benar-benar turun dari panggung. Remaja tanggung itu meremat ujung kemejanya.

"Kau punya waktu senggang malam ini, sensei?" Naruto menunduk menunggu jawaban gurunya.

Kakashi tentu saja tersenyum tipis walau tidak akan terlihat. Tangan kokohnya mengacak rambut pirang si tokoh utama dalam pementasan kali ini.

"Kau benar-benar memikirkan perkataan Sasuke, Naruto?" Kakashi turun dari panggung di ikuti Naruto yang menganggukan kepalanya perlahan.

Mereka berjalan ke arah pintu ruangan lain di sana. Saat masuk, Kakashi mendapati Sasuke tengah berbincang dengan penata rias di sana. Kakashi menoleh pada Naruto di belakangnya lalu berkata dengan suara keras.

"Waktuku akan selalu senggang untukmu. Datanglah malam ini, kalau kau mau latiham khusus denganku." sambil mengedipkan matanya, Kakashi menyeringai di balik masker. Tahu pada dasarnya Sasuke akan sangat tidak setuju jika Naruto masih belum pulang pada jam malam yang ia buat secara sepihak.

Tapi apa mau di kata, Naruto itu terlalu polos dan lugu, ia tidak mengerti keadaan seperti ini sama sekali. Malahan ia tersenyum lebar mendengarnya.

"Benarkah?" serunya dengan suara gembira. Anak itu hampir memeluk Kakashi jika Sasuke tak segera berdeham kencang di seberang mereka.

Lalu yang terjadi berikutnya seperti terlalu cepat di mata Naruto. Tahu-tahu Sasuke sudah di depannya sambil merogoh satu saku celananya.

"Aku bilang 'siapapun', kau bisa minta pada yang lain untuk berlatih peran." Sasuke menatap Naruto, "kalau dengan pelatih regulermu yang biasa mungkin hasilnya akan sama setiap kalinya, Naruto-dobe." kali ini tak hanya satu tangannya yang masuk kantong celana.

Mata Sasuke tajam pada Kakashi yang terkekeh geli di balik masker. Sementara Naruto hanya berdiam, takut kalau tindakannya akan membuat Sasuke lebih jengkel.

"Sebaiknya kau pikirkan ini di luar." Sasuke pada Naruto. Naruto mengangguk patuh lalu meloyor keluar ruangan itu tanpa senyuman.

Kakashi mendelik jahil pada sutradara di depannya. Pria itu tersenyum sinis.

"Kau jangan terlalu mengekangnya, Sasuke." Kakashi mendengkus menghadapkan tubuhnya pada lelaki raven yang dua tahun lebih muda darinya.

"Jangan lupa, bahwa sejak Naruto memerankan tokoh peri hutan di pentas kemarin, dia mulai di sukai orang. Publik jelas menunggu kejutan lainnya dari anak itu. Dia hampir terkenal, kau tidak bisa memilikinya sendiri, Sasuke."

Kakashi berbalik meninggalkan Sasuke yang tergugu dengan ucapannya itu. Sedang Sasuke hanya menatap nanar poster besar di sampingnya. Poster dari drama yang akan di perankan Naruto minggu ini.

Metamorfosa.

Dalam poster itu Naruto tidak di gambarkan dengan jelas secara keseluruhan. Hanya mata safirnya yang menyalang seperti mengintimidasi semua orang yang melihatnya.

Begitupun Sasuke.

"Sial." Sasuke berdesis sebelum keluar dari sana.

***

Sepagi ini jalanan becek jadi suguhan untuk para pejalan kaki yang keluar hari ini. Langit juga sepertinya masih murung sebab hujan tak henti mengguyur semalaman.

Naruto mengeratkan syal hijau di lehernya. Hidungnya memerah karena dingin. Dan napasnya seperti mengeluarkan asap rokok padahal ia tidak merokok.

Kaki bersepatu but-nya ia bawa melangkah pelan menyusuri gang sempit menuju ke sebuah tempat pertemuannya dengan seseorang yang hari ini mengajaknya keluar walau cuaca sedang tidak mendukung.

Naruto mengeluarkan lagi asap dingin dari mulutnya. Ia telah sampai di ujung gang dan akan berbelok ke arah kanan untuk melanjutkan perjalanan.

Benar-benar muram, dingin, dan mendung. Bukan waktu yang tepat untuk keluar rumah. Tapi walau begitu, jika dengan orang ini, Naruto pasti akan menyetujuinya meski dalam keadaan tidak memungkinkan sekalipun.

Uchiha Sasuke pelakunya. Ialah yang memerkosa waktu Naruto dari hari ke hari. Memiliki Naruto untuk dirinya sendiri dan terkesan mengekang bocah itu dengan cara yang tidak di sukai banyak orang.

Tapi Naruto tidak keberatan. Sama sekali tidak merasa di perdayai oleh Sasuke yang menolongnya sejak kecil dan sekarang menjadi orang tua asuhnya. Naruto hanya mencari cara lain untuk membalas kebaikan Sasuke selama ini padanya.

Seingatnya Sasuke memang selalu bersikap dingin dan tak tersentuh selama ia mengenalnya. Salahkan Naruto yang baru mengenal Sasuke di usianya yanhmg ke tujuh tahun. Perbedaan umur yang terpaut jauh membuat dirinya selalu mematuhi apapun kata Sasuke di samping ia balas budi.

Waktu itu, saat pertama kalinya Naruto masuk ke kediaman Sasuke, yang terasa adalah hangat. Bukan hangat oleh sambutan keluarga yang ia rasakan namun hangat sebab salju di luar mulai berjatuhan memutihkan jalan.

Bocah Naruto memasuki rumah itu dengan kepala mendongak. Kagum. Bocah kecil tahu apa. Melihat lampu hias yang di gantung saja, mulutnya sudah menganga. Lupa akan perutnya yang lapar luar biasa.

Sasuke muncul dari dapur setelah hampir setengah jam berkutat di sana.

Naruto menoleh mendapati pria itu menyodorkan semangkuk ramen padanya di atas meja makan. Semula Naruto mengernyit, Naruto tak mengerti. Di kiranya ia akan di suruh membersihkan rumah itu dulu baru di beri makan. Tapi dugaannya salah kali ini.

Dengan senyum lebar yang membawa kehangatan tersendiri untuk sang sutradara, ia melahap ramen itu seperti tak ada hari esok. Perutnya lapar dan hatinya bergembira. Cukuplah untuk membalas kepenatan hari ini.

Sasuke memandangnya takjub. Lupa kalau sebenarnya ia juga belum mengisi perut seharian ini. Tapi melihat cara makan Naruto, Sasuke sudah di buat kenyang dua kali lipat. Ia putuskan untuk istirahat saja malam itu.

Naruto menghabiskan mi kuah itu dengan cepat. Ia sampai ingin menjilat mangkuk saking terasa enaknya makanan itu tapi ia urungkan mengingat sekarang ia berada di rumah orang asing.

Jika bersikap tidak sopan mungkin ia juga akan di perlakukan lebih tidak layak nantinya. Padahal ini sudah larut malam.

Naruto hanya bocah miskin. Bisa apa ia jika Sasuke berakhir mengusirnya setelah ini.

Tapi itu tidak terjadi. Sasuke keluar dari kamarnya setelah berganti baju. Ia melihat mangkuk ramen yang isinya telah tandas tanpa sisa.

"Sudah selesai makannya?"

Naruto mengangguk. Dia berharap Sasuke mau menampunya malam ini. Naruto akan bersujud kalau saja di beri seruas ruang untuknya tidur meski hanya di halaman belakang atau depan rumahnya.

Yang penting jangan sampai di suruh pergi dari sini malam ini. Bisa-bisa ia tewas kedinginan di jalan jika Sasuke mengusirnya.

"Rumah ini tidak memiliki banyak kamar." Sasuke melangkah mendekati Naruto yang duduk melipat kakinya ke belakang di atas tatami.

"Satu kamar sudah di gunakan oleh kakakku yang sekarang beralih fungsi jadi ruang penyimpanan." sutradara berwajah datar itu melanjutkan.

"Aku tidur di luar juga tak apa, tuan." Naruto memberanikan diri menyela saat Sasuke membuka mulutnya lagi.

"Hn," Sasuke menyahut seadanya, ia beranjak dari kursi kayu yang di dudukinya lalu lebih mendekat pada bocah itu.

"Bersihkan dulu badanmu. Di sana kamar mandinya. Maaf tidak ada air panas."

Naruto menengok pada arah yang di tunjuk Sasuke. Lalu mengangguk antusias.

Demi dewa, ini semua lebih dari cukup. Selama hidupnya Naruto tidak pernah merasa seberuntung ini. Masuk ke dalam rumah orang asing, di beri makan, dan di suruh membersihkan diri. Sungguh tuhan sedang berbaik hati padanya.

Salju yang turun mulai menjejaki tanah, Naruto tidak melihatnya kali ini sebab ia beruntung berada dalam sebuah rumah. Dan mandi air dingin rasanya tidak akan separah diam sembari memeluk lutut di luar sana.

Naruto tersenyum, memasuki kamar mandinya.

Sasuke duduk di tatami bekas dudukan Naruto. Masih tersisa hangat tubuh bocah itu di bokongnya saat mendarat di sana.

Tidak habis pikir. Dari mana datangnya perasaannya ini. Sasuke tidak pernah sebaik ini pada siapapun selama hidupnya.

Ia yang seorang sutradara terkenal, siapa sangka hidupnya begitu rumit, begitu dingin tanpa kehadiran orang lain.

Sekarang, siapa yang menyangka pula, ada makhluk kecil yang bersenandung riang di dalam kamar mandinya.

Manik hitam Sasuke memandangi pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Mengingat-ingat sejak kapan ia punya rasa kasihan dalam hatinya.

Sepuluh menit kemudian, bocah Naruto keluar dari sana dengan wajah dan rambut kuyup dan masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi.

Sasuke melihatnya sejenak lalu menghampirinya.

"Kau pikir, handuk di sana hanya sebagai hiasan saja, bocah." kebiasaan Sasuke berbicara selalu berbelit, lupa yang di ajak bicaranya kali ini adalah seoarang anak kecil yang mungkin saja baru lancar bicara kemarin sore.

Naruto mendongak. Tetesan air jatuh dari rambutnya.

"Sana keringkan tubuhmu dengan handuk. Lalu pakailah sesuatu di lemari di sana, jangan lagi memakai benda ini." Sasuke menarik ujung pakaian Naruto.

Naruto menengok ke kamar mandi lalu pada Sasuke. Berwajah polos, tidak mengerti perkataan Sasuke.

Setengah menit Naruto tak kunjung bereaksi. Lama terbiasa dengan sikap kasar dan perlakuan tak layak dari orang-orang yang di temuinya membuat Naruto tidak yakin bisa mencerna dengan baik apa yang dikatakan Sasuke barusan.

Hingga Sasuke berdecak kesal lalu mengajak si bocah masuk kembali ke kamar mandi.

"Buka ini," Sasuke menunjuk baju Naruto.

"Huh?"

"Chk, buka bajumu, dobe." Sasuke menjelaskan perintahnya.

Naruto menuruti tanpa kata. Ia melepas pakaian lusuh yang sudah menemaninya beberapa bulan ini hingga polos tanpa pakaian memamerkan tulang belulang di tubuh kecilnya.

Tanpa jeda, Sasuke mengguyur tubuh Naruto dengan segayung air, lalu mengulurkan kain handuk untuk membersihkan tubuh kurus si bocah.

Sementara Naruto masih berpikir macam-macam tentang perlakuan pria asing ini, Sasuke membuka lemari kecil lalu menarik selembar pakaian dari sana.

"Ini, pakailah. Aku menunggu di luar."

Setelah menyodorkan baju pada Naruto, pria itu keluar dari kamar mandi. Menunggu bocah itu selesai berpakaian.

.

Kali ini yang ia tunggu bukan seorang bocah yang akan keluar dari kamar mandinya. Bukan bocah kurus yang bahkan tidak muat walau hanya memakai kemejanya.

Sasuke menoleh pada sumber suara. Rupanya Naruto sudah tiba di sini dan sedang berjalan ke arahnya. Mau tak mau Sasuke menarik ujung bibirnya menjadi sebentuk senyuman.

Naruto benar-benar sudah berubah. Sejak hari itu, bocah dekil itu terus menunjukan perubahan drastis yang membuat Sasuke keheranan.

Bocah Naruto tumbuh sehat. Tampan. Pintar. Di senangi banyak orang.

Dalam hal ini Sasuke sama sekali tidak mau berbangga hati. Ia yakin bahwa yang membawa perubahan pada diri Naruto adalah dari diri Naruto sendiri. Sasuke hanya mengarahkan saja.

"Naruto.."

"Hai, pagi, Sasuke-san."

Yang di sapa membalikan badan, lalu mengangguk kecil padanya.

"Biasakan panggil aku Sasuke saja, jika hanya ada kita." kata Sasuke.

Dan perintah seperti itu akan di respon dengan tawa renyah Naruto seperti setiap kali Sasuke membicarakan hal cara panggil memanggil.

"Aku akan tetap memanggilmu seperti biasa, Sasuke-san. Maaf." Naruto duduk di bangku yang sama yang di duduki Sasuke.

Sasuke diam tak menyahut. Ia mengeratkan mantel menghalau hawa dingin di tubuhnya.

Naruto menoleh pelan.

"Uhm..ada apa memanggilku?" tanya anak itu penasaran. "Aku sedang merebus air saat paman Juugo datang. Tanganku terkena tumpahan air panas---"

"Coba kulihat!" Sasuke menarik tangan Naruto yang berbalut perban. Lalu pria itu berdecak, "ceroboh sekali."

"Maaf. Aku hanya kaget." Naruto nyengir tanpa dosa, menarik kembali tangannya, "jadi.. Ada apa anda memanggilku, Sasuke-san? Apakah karena akting sakit-ku yang buruk? Jika iya, tolong beri aku kesempatan. Aku akan berlatih keras mulai sekarang. Aku tidak akan mengecewakanmu. Aku janji."

Sasuke memandang wajah sehangat madu itu lama. Bocah ini benar-benar tumbuh dengan baik di sisinya. Meski setelah berumu sebelas tahun, Sasuke memberikan tempat tinggal sendiri untuk Naruto. Tapi Naruto benar-benar hidup mematuhi segala perintah Sasuke.

"Hn.." Sasuke memalingkan wajah. Dari mulutnya keluar asap tipis. Pria tampan itu menghela nafasnya sedikit panjang.

Naruto sendiri hanya diam melihat-lihat taman yang biasa ia kunjungi bersama Sasuke beberapa tahun ini. Remaja pirang itu melihat tupai yang melompat kedinginan di antara ranting pepohonan.

"Oke." kata Sasuke kemudian, "belajarlah yang benar." kemudian senyum itu ww walau sangat tipis.

Naruto mengangguk senang. Ia akan melakukan apa saja demi Sasuke dan segala kebaikannya.

"Minggu depan ulang tahunmu, kau mau hadiah apa dariku?" Sasuke bertanya tiba-tiba.

Tentu saja Naruto menengok cepat. Antara kaget dan tidak menyangka. Selama ini Sasuke memang selalu ingat hari ulang tahun Naruto dan selalu memberikan hadiah pada bocah itu.

Tapi sekarang pria sutradara itu menanyakannya langsung pada Naruto.

Ingin hadiah apa darinya.

Tentu saja Naruto bingung. Sasuke selalu memenuhi segala kebutuhan Naruto selama ini meski pemuda pirang itu sudah memiliki penghasilan sendiri.

Jika di tanya ingin apa dari Sasuke saat ulang tahunnya minggu depan, tentu Naruto tidak bisa menjawab sekenanya. Jadi dia hanya tersenyum menanggapinya.

"Hadiah?" Naruto menggelengkan kepala, menyeringai tampan ala pemuda belasan tahun yang di sukai Sasuke.

"Hn. Sesuatu yang kau inginkan sejak lama." kata Sasuke sembari terus melihat seringai Naruto yang sepertinya mampu memesona sang sutradara dari hari ke hari.

Naruto menggeleng lagi, kali ini dengan senyuman seringan hembusan angin.

"Umurmu sudah lima belas. Kau boleh meminta apapun." Sasuke melanjutkan. Naruto mendengarkan.

"Uhm, sesuatu yang lebih dewasa, ya," Naruto menyadari sesuatu.

"Ya. Misalnya memintaku mendekatkanmu dengan salah satu gadis yang sedang kau incar." Sasuke menatap iris safir itu lekat-lekat. Tanpa ekspresi yang di buat-buat. Datar sepenuhnya.

"Pacar maksudmu?"

"Ya, semacam itu." si sutradara mengangkat tangan ke udara, "kudengar asisten perias, Hyuuga siapa namanya, diam-diam menyukaimu. Kau tahu itu?"

"Huh?" Naruto sama sekali tidak pernah berpikiran akan menyukai seseorang dan menyatakan perasaannya terhadap orang tersebut. Tidak pernah sama sekali. Dan sekarang, Sasuke, orang tua asuhnya bertanya hal yang tak pernah terpikirkan olehnya.

"Aku tidak tahu." sahut Naruto, ia balas menatap mata tajam Sasuke, "rasanya aku tidak memiliki perasaan seperti itu, Sasuke-san,"

"Oyah, benarkah? Lalu kenapa belakangan kau terlihat seperti terlalu banyak melamun hingga aktingmu kurang bagus di mataku. Kurasa ada yang kau pikirkan, Naruto."

Naruto membuang tatap, rasanya tidak pernah terlalu kuat untuk lama-lama memandang mata arang yang selalu bisa membuatnya terkesima.

Setelah lama betpikir, akhirnya kepala pirang Naruto mengangguk pelan. Lalu wajahnya kembali menghadap Sasuke.

"Aku memang sedang memikirkan sesuatu, Sasuke-san."

"Hn," gantian, Sasuke yang melepas pandangannya terhadap Naruto. Ia pandangi langit kelabu pagi ini. Ada beberapa jam lagi sebelum ia kembali ke sanggar Sharingan untuk mengawasi latihan drama siang ini.

"Apa yang kau pikirkan, bocah-dobe?"

Naruto masih memandang wajah Sasuke tampak samping. Rasanya tidak ada yang berubah dari pria itu sejak mereka pertama bertemu hingga sekarang. Tidak adil sebab Naruto merasa hanya dirinya yang berubah sementara waktu tidak dapat memengaruhi sang sutradara dari tahun ke tahun.

Tetap tampan tanpa cela.

"Sejujurnya, Sasuke-san, aku memikirkan kunjungan Haruno group tempo hari ke sanggar kita."

"Oh, aku tahu. Kau tidak menyukai Hyuuga itu karena kau naksir anak emas Haruno grup, Naruto?"

Naruto melihat ekspresi wajah itu, wajah sok tahu tanpa dosa milik orang tua asuhnya. Ini tidak masuk akal, kenapa Sasuke seperti melakukan retoris pada Naruto.

"Bukan." si pirang mengilah cepat, "bukan itu maksudku, Sakura-neechan lebih tua dariku, kurasa gadis itu lebih cocok dengan anda, Sasuke-san."

Mereka berpandangan. Diam.

Pembicaraan apa ini. Pagi-pagi membicarakan nama-nama tidak penting di antara mereka. Sudah mendung di tambah topik tak bermutu seperti ini. Tahu begini, Naruto dan Sasuke lebih baik pulang dan melanjutkan tidur saja.

"Kau sedang menjodohkanku dengan salah satu artis Haruno, dobe?" Sasuke bertanya serius.

"B-Bukan." Naruto menunduk gamang, memang bukan inu maksudnya. Tapi ia sulit menjelaskan. Tadi siapa juga yang pertama membahas tentang seseorang yang menyukai Naruto. Kenapa sekarang keadaan jadi terbalik.

"A-Aku tidak ingin menjodohkan anda dengan siapapun." Naruto hampir meninggikan suaranya saat mengatakan hal tersebut. Sasuke mengernyit bingung.

"Lalu?"

"Pokoknya aku---intinya maksudku bukan begitu. Aku hanya----"

Hanya yang panjang yang di sertai helaan nafas yang juga panjang dari mulut kecil Naruto.

"Kau tidak ingin aku berjodoh dengan siapapun, dobe."

"Ya. Eh---"

Seringai itu datang terlalu cepat dari bibir tipis sang sutradara hingga Naruto lambat menukas jawabannya tadi.

Sasuke tertawa renyah, pria itu berdiri menghadap anak angkatnya.

"Tenang saja." Sasuke menggusak kepala pirang Naruto, "aku tidak akan meninggalkanmu kalaupun aku sudah menemukan jodoh nanti."

Naruto mendongak.

"I-Itu yang kutakutkan." suara Naruto mengecil di ujung, "anda akan pergi ke Haruno group kan, Sasuke-san?"

Alis Sasuke menukik tajam.

"Aku mendengar berita ini dari orang-orang. Anda akan pergi jika Metamorfosa gagal mencapai penonton yang dapat mengalahkan pementasan drama Puteri Boneka yang di perankan Sakura-neechan." selain kecil, suara Naruto juga terdengar bergetar kali ini.

"Hn, apa lagi yang kau dengar, dobe?"

Naruto menunduk lagi. Takut salah bicara, lalu Sasuke marah dan meninggalkan Naruto.

"Ku dengar, anda juga di jodohkan dengan Sakura-neechan, kalian akan menikah sekaligus menikahkan Sharingan dengan Haruno grup untuk menjadikannya sebuah rumah produksi film yang lebih modern. Jadi aku---"

"Ya, itu semua benar." kalem Sasuke memundurkan tubuhnya lalu melipat tangan di dada.

Suasana hati Naruto berubah sendu saat masa depannya ikut di pertaruhkan di sini. Sasuke akan menikah dan meninggalkannya. Ia yang hanya aktor panggung mana bisa bersaing dengan aktor dan aktris di rumah produksi itu kelak. Dia akan terbuang. Sasuke akan sangat sibuk untuk sekedar mengingat ulang tahunnya. Tidak ada lagi tempat untuknya.

"Maka dari itu kutanyakan keinginanmu saat ulang tahun nanti. Siapa tahu itu akan jadi hadiah terakhir untukmu dariku." kata Sasuke menambah galau suasana hati Naruto.

"Aku ini orang yang ambisius, Naruto. Sekali saja aku melihat bakat hebat pada diri seseorang, aku akan berusaha mendapatkan orang itu bagaimanapun caranya." Sasuke melangkah lagi ke depan kembali berdiri di atas jejak sepatunya.

"Sekali saja aku melihat akting Sakura yang lebih bagus dari siapapun artis Sharingan, semudah itulah aku akan jatuh cinta padanya." suara Sasuke sayup-sayup terdengar di telinga Naruto.

"Kau tahu, semudah itu pula aku bisa meninggalkan Sharingan untuk bergabung dengan Haruno."

Sasuke berbalik, memunggungi Naruto yang masih nanar menatap tanah yang terlihat bergoyang di pengelihatannya. Inilah kenyataannya. Dia hanya anak pungut biasa, dia di besarkan karena ambisi Sasuke, dia di jadikan artis untuk di tinggalalkan. Dia di campakan.

Sasuke akan pergi bersama Sakura. Naruto harus bergembira sebab Sasuke akan menjalani kehidupannya secara normal. Bukan terus-terusan membujang dan menghidupi remaja yang bahkan bukan sanak familinya.

Naruto tersenyum. Miris menatap punggung lebar itu seperti siap menjauhinya.

"Ya." suara Naruto serak, "aku sudah menduga ini, Sasuke-san." idiot, kenapa Naruto malah ingin menangis sekarang. "Aku akan senang jika itu keputusan anda."

Sasuke berbalik dengan cepat. Memandang remaja di depannya dengan tatapan tajam.

"Kau senang aku pergi, Naruto?"

"Ya, tentu saja," tambah serak di tambah air mata yang sudah menggenang di pelupuk. "Aku bahagia jika itu yang terbaik untuk anda."

"Baguslah." Sasuke berbalik lagi, "sekarang pergilah berlatih. Aku tidak ingin melihat akting payahmu lagi nanti siang, idiot."

Naruto terhenyak. Kata-kata kasar seperti itu tidak pernah Sasuke lontarkan jika hanya ada mereka berdua. Sasuke akan senantiasa memarahi dan mengasari Naruto hanya di sanggar saja, untuh menghindari tuduhan orang terhadap Naruto yang di anak emaskan karena jadi anak asuh Sasuke.

Sekarang Naruto merasakan sakitnya di kasari oleh Sasuke secara langsung. Memang sakit. Dan sakitnya tuh di mana-mana.

Naruto berdiri lunglai. Ia berdiri di belakang Sasuke yang sudah melangkah akan meninggalkan taman.

"Mm, tentang hadiahnya, bisakah aku memintanya saat hari ulang tahunku nanti, Sasuke-san?" Naruto bertanya gugup, ia mengeratkan syal hijau yang juga pemberian dari si sutradara idolanya.

"Aku ingin memikirkannya dulu."

"Terserah."

Setelah itu, pada kenyataannya Sasukelah yang pergi duluan dari taman itu meski ia yang menyuruh Naruto pergi dari sana.

Si remaja menjelang lima belas tahun itu menunduk dalam. Bibirnya bergetar pelan yang di gigit kuat-kuat agar tak mengeluarkan suara isakan yang akan terdengar bodoh. Tangannya mengepal erat.

Naruto mendongak, menatap lurus pada arah kepergian Sasuke. Ia bertekad dalam hati. Ia harus membuat Sasuke bangga telah merawatnya selama ini. Naruto harus membuat kesan yang tak terlupakan oleh Sasuke jika ini benar-benar akan jadi momen akhir kebersamaan mereka.

Ya. Naruto sudah dewasa, sudah waktunya ia menyelesaikan masalahnya sendiri. Termasuk perasaannya yang kacau balau hari ini. Yang sudah di kacaukan sang sutradara sejak pertemuan pertama mereka.

*

*

*

Hasokoyu adalah tulisan mewah yang di pajang di depan bangunan itu. Bangunan modern yang di sebut-sebut sebagai tempat hiburan paling dicari di Konoha. Di rangkai dengan puluha lampu bohlam kuning, membikin nama tempat itu dapat terbaca dari kejauhan.

Sasuke bersama pengawalnya baru saja turun dari mobil. Melihat tulisan gemerlap itu sebelum masuk kedalamnya bersama Juugo dan Suigetsu.

Benar sekali rumor yang sering di dengungkan tentang tempat ini, rupanya memang sebuah kelab hiburan yang sangat menyenangkan bagi pengunjungnya.

Sasuke menyisir seluruh tempat dengan mata arangnya. Ia berjalan mendekat seorang perempuan dengan rambut di kuncir atas. Perempuan itu memiliki bibir semerah darah saat tersenyum padanya.

"Oh, kita kedatangan sutradara terkenal hari ini. Selamat malam, Uchiha-san." wanita itu menyalami dan mencium kedua sisi pipi Sasuke. "Kupilihkan meja terbaik untukmu. Tunggu sebentar."

Sasuke mendongak setelah balik mencium punggung tangan wanita itu dengan sikap paling gentleman. Matanya mengerling ke arah wanita itu.

"Terimakasih, Guren." suara Sasuke mendayu meresap masuk menghipnotis sang pemilik kelab, hingga wanita itu seperti berlari memilihkan meja terbaik untuk tamu spesialnya malam ini.

"Sebelah sini," Guren melambaikan sapu tangan suteranya, wanita itu berdiri di depan meja kosong  di tengah ruangan.

Juugo yang melihat itu langsung memberi kabar pada bos-nya. Mereka menuju meja yang di maksud Guren dengan latar tatapan kagum dari beberapa pengunjung lain.

"Sepertinya meja ini sangat cocok untuk anda, Uchiha-san." Guren mengitari meja memersilahkan tamunya untuk duduk. "Sebentar lagi kami akan menyuguhkan persembahan terbaik untuk anda." ucap wanita sembari megusap bahu kokoh sang sutradara dengan perlahan.

"Selamat menikmati." wanita itu menundukan kepala dan berbisik seduktif di telinga sang raven sebelum berlenggok pergi dari sana.

Sasuke memandang diam panggung megah di hadapannya dengan datar. Lampu dan hiasan kristal yang di tata rapi tidak sedikitpun menarik atensinya. Pikirannya menerawang jauh pada suasana latihan teater tadi siang.

Sutradara diusia tiga puluhan itu mengingat kembali kejadian tadi siang. Naruto tidak datang pada sesi latihan kali tadi. Tak seorangpun tahu keberadaannya saat itu. Hanya Kakashi Hatake saja yang terlihat mencurigakan saat ditanyai tentang pemuda pirang itu.

"Sudah kubilang jangan terlalu keras padanya, Sasuke!" kata Kakashi waktu itu. Dan Sasuke sangat mencurigai lelaki bermasker itu sebab raut wajah Kakashi yang menunjukan kekhawatiran saat menyebut nama Naruto.

Uchiha Sasuke berdecak kesal. Hingga tengah malam begini, dia tak menemukan si pirang berkulit sawo matang itu dimanapun. Termasuk di flat kecil pemberiannya.

Kemana Naruto?

Sang sutradara rupanya menyadari sesuatu. Mata arangnya bergulir kearah anak buahnya yang lain. Suigetsu yang sedang menikmati minumannya seperti tiada hari esok.

"Aku melihatmu berbicara dengan Kakashi-sensei tadi siang. Apa yang kalian bicarakan?" Sasuke menyondongkan wajah kearah pemuda kecil itu.

Suigetsu terperanjat. Mendongak menatap mata kelam sang bos.

"Aku?" telunjuknya pada wajahnya sendiri. Sasuke menganggukkan kepalanya.

Suigetsu menggaruk kepalanya, dia cengengesan seperti anak kecil menatap atasannya.

"Tentang Naruto." katanya pemuda berambut abu itu, "dia ada di rumah---" Suigetsu tampak gelisah, dia memijat tengkuknya canggung.

Sasuke menunggu dengan mata tajam. Walau terkesan sabar, namun auranya terlihat sangat gelap dimata Suigetsu.

"Jangan cemburu, bos. Anak itu tidak mungkin mencuri perhatian perempuan yang anda sukai." kata Suigetsu pada akhirnya.

Sasuke makin memicing. Merasa janggal pada jawaban anak buahnya. Apa maksud Suigetsu berkata seperti itu. Siapa perempuan yang ia sukai yang di maksud oleh Suigetsu.

"Bicara yang jelas?" Sasuke berujar kalem namun nampak sinis tak terbantahkan.

Suigetsu meneguk ludah, senyum kagok tak juga luntur dari bibirnya.

"H-Haruno-san," Suigetsu mencicit ketakutan. Ekor matanya hanya melirik sekilas pada sutradara berwajah datar itu.

Juugo mendengar dalam diam, lelaki bertubuh besar itu tidak mau ikut campur urusan rekan dan bosnya. Sasuke masih geming memikirkan h itu. Haruno? Sakurakah yang dimaksud Suigetsu?

Memang gosip yang beredar Sasuke akan dinikahkan dengan Sakura, si aktris serba bisa dari teater saingannya, Haruno group. Tapi mendengar hal itu dari Suigetsu, bukan cemburu yang melanda hati si sutradara raven. Tapi, untuk apa Naruto mendatangi Sakura?

Apa Naruto ingin bertanya macam-macam tentang perjodohan itu. Atau perihal persaingan teater Sharingan dan Haruno yang kian meruncing.

Suigetsu menyenggol lengan rekannya, lalu mengedikan dagu ke arah bosnya yang menatap kosong kedepan.

Penyanyi sudah naik ke atas panggung sejak lima menit yang lalu. Suaranya merdu menyanyikan lagu yang sedang tren saat ini. Tapi Sasuke tidak mendengar suara perempuan itu. Dia hanya menerawang jauh sebelum tiba-tiba beranjak dari kursinya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.

Kedua anak buahnya hanya bengong, lalu mengikuti bosnya setelah membayar tagihan.

Diluar kelab, Sasuke menghilang.

--------

Hari ini hujan deras. Pertunjukan Metamorfosa sudah dekat. Tinggal satu hari tersisa untuk para aktor dan aktris pendukung melakukan latihan, sebelum mereka akan di rujuk pulang untuk beristirahat agar terlihat segar pada saat pementasan nanti.

Kakashi menaiki panggung tempat para pendukung berlatih untuk terakhir kalinya. Matanya yang ia tutupi sebelah, menyisir seisi ruangan dan tak menemukan sang pemeran utama dalam ruangan itu.

"Apa Naruto belum kembali?" tanyanya pada Sai yang sedang belajar membaca dialog dalam naskah.

Sai mendongak sesaat, lalu menggeleng pelan.

"Sejak kemarin, Naruto belum kembali dari pertemuannya dengan nona Haruno-san."

Kakashi menganggukan kepalanya pelan, lalu berdeham memulai latihannya hari ini.

Sang sutradara raven mengawasi dari kejauhan, mata arangnya tajam mengamati ekspresi pelatih akting di atas panggung.

Ada yang salah. Menurutnya.

Ia beranjak dari kursinya dan memanggil Kakashi dengan lambaian tangan. Kakashi menghampiri lalu berjalan menuju lorong sepi bersama Sasuke.

Mereka berhenti di sudut lorong paling sepi yang di kenal sebagai jalan lain menuju pintu belakang teater. Hujan melatari pertemuan mereka yang menambah kesan dingin disana.

"Kalau kau bertanya tentang Naruto, kau tanya saja pada dirimu sendiri." Kakashi yang mengerti gelagat Sasuke, mencetuskan langsung tebakannya tanpa menunggu basa basi busuk dari si sutradara berwajah datar itu.

"Atas dasar apa, kau bicara seperti itu, Kakashi-sensei?" Sasuke bersedekap dingin, menyndarkan punggung kokohnya pada satu dinding disana.

"Chk, kau ini benar-benar tidak peka, sutradara Uchiha." Kakashi mendecih kesal dibalik maskernya, "seperti anak kecil saja."

"Anak itu akan memainkan peran utama pada pertunjukan kali ini. H-1 dia kabur entah kemana, dasar brengsek bodoh, apa yang dipikirkan bocah sialan itu."

Kakashi manajamkan tatapannya. Dia tersinggung dengan perkataan Sasuke. Bagaimana mungkin sutradara sekaliber itu berpikiran picik pada aktornya.

"Harusnya kau sebagai orang tua asuhnya yang lebih tahu keberadaannya."

"Dia itu sudah besar, Kakashi-sensei!" desah Sasuke lamat-lamat.

"Kau tahu?" Kakashi mendekatkan wajahnya, "tidak ada anak yang terlalu besar untuk orang tuanya."

Kakashi meloyor melewati sang sutradara sambil menyenggol keras bahu Sasuke.

Agak terhuyung, kaki Sasuke mundur beberapa langkah. Sutradara tampan itu tercenung.

-----------------

"Kamu kelewatan, Na-Naruto-kun," Hinata memeras lagi kain basah ditangannya, "alasanmu ti-tidak masuk akal." gadis itu menempelkan lagi kain basah itu pada dahi sawo matang.

"Jangan, Hinata, sudah cukup kompresnya. Ini yang aku butuhkan." Naruto menepis tangan lembut Hinata, "ini yang a-aku mau." kata Naruto pelan.

"K-Kamu akan tambah demam kalau tidak di obati, Naruto-kun." sigap, Hinata mengulurkan tangannya lagi, dan langsung di tepis lagi.

"Itu yang aku tunggu," Naruto menoleh perlahan, "maap merepotkan, tapi bolehkan aku diam disini sebentar?" Naruto bertanya memelas.

Hinata geming menatap mata biru itu dengan tidak percaya. Naruto itu sakit. Dia demam. Badannya panas sekali. Tapi  bebalnya minta ampun.

"Se-Sebaiknya kita ke klinik saja, a-atau pulang ke rumahmu unuk istirahat, Naruto-kun. Aku akan me-mengantar." sekali lagi Hinata membujuk si kepala batu.

Akan tetap hanya gelengan yang dia dapatkan, Naruto menunduk sambil menggerakan kepalanya kanan-kiri. Kepalanya pening, matanya memburam sebab demam mungkin sudah meradang di tubuhnya.

"Komohon, Hinata, lihat baik-baik aktingku kali ini." Naruto menangkup kedua tangan sang gadis Hyuuga, "jika sudah lebih baik dari sebelumnya aku berjanji akan kembali ke teater." berkata seperti itu, hidung Naruto mengeluarkan cairan bening nan encer.

"Ba-baiklah, Naruto-kun, sekali saja." Hinata menjawab pasrah pada akhirnya.

Naruto tersenyum lembut. Semburat merah di pipinya bertambah pekat, merambat ke hidung dan mengeluarkan air mata dari sudut netranya.

"Aku janji," katanya dengan suara serak, "jika sudah bagus, aku siap memerlihatkannya pada Sasuke-san." bibir itu kembali tersenyum. Naruto mejauh dari Hinata, remaja pirang itu bersiap di tengah ruang tamu sang asisten perias unuk menunjukan aktingnya. Akting sakit binaan seorang aktris sekalibe Haruno Sakura.

Jika ini gagal, dia sudah berjanji tidak akan kembali ke Sharingan apapun alasannya.

Dalam pikirannya yang tengah berakting menjadi sosok pemuda sempurna dalam drama kali ini, Naruto mengingat kejadian kemarin.

Setelah bertemu dengan Sasuke di taman pagi itu, dengan langkah terburu remaja tanggung itu melesat ke arah lain dari lokasi teaternya.

Dia berbelok dengan yakin pada satu tikungan yang di kenalnya selama ini.

Tulisan Haruno terpampang jelas di atas gedung itu. Naruto menengadahkan wajah melihatnya.

Hari sangat mendung, ia tidak berpikir apa-apa saat menuju kemari. Kakinya seperti bergerak sendiri menuju tempat ini.

Tangan tan-nya bergerak instingtif menyentuh tombol merah di sudut kiri gerbang gedung itu. Bel.

Lima menit kemudian, remaja bermata biru itu sudah duduk di depan meja kayu bulat dan di suguhi teh hijau hangat. Duduk anggun seberangnya seorang gadis cantik bersurai merah muda.

Naruto tidak berkata apapun sejak di persilahkan masuk tadi. Ia hanya mengangguk atau menggeleng menjawab pertanyaan si tuan rumah.

"Aku tidak bisa membantu jika kamu tidak mau berkata apapun," gadis tadi menopang dagunya. "Sekali lagi kutanyakan, apakah Sasuke yang menyuruhmu kemari?"

Belum mau mendongak, Naruto bingung dengan pertanyaan itu. Apanya yang disuruh Sasuke. Ini murni atas inisiatifnya sendiri.

"A-Aku---" suaranya terdengar serak, wajah bulat sawo matang menyusul terangkat setelahnya, "ingin meminta bantuan anda, Sakura-chan."

Sakura mengembus nafas panjang, melempar wajah kesamping.

"Baiklah," ujar Sakura.

Naruto tersenyum senang, tanpa menyadari setingai licik di bibir perempuan cantik itu.

Bersambung,

An:
Tepuk tangan dulu. Ini adalah cerita terpanjang di Bubuk Racun dan masih bersambung pula. Hehe. Tunggu lanjutannya ya~



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top