egocentris

Sekuel Ego.
Sasuke x Naruto
Boruto x Naruto (slight)

Suasana rumah sakit seperti yang sudah terbayangkan pada umumnya. Putih, bau karbol, dan obat.

Itachi baru saja selesai menanda tangani masalah administrasi. Dia keluar dari kubikal resepsionis cantik bername-tag Sizune dengan senyum.

"Terima kasih," keduanya berucap kompak. Itachi tersenyum hangat, meninggalkan tempat itu.

Koridor sayap timur RS ini tampak sedikit ramai ketika banya orang bercakap-cakap memenuhi seriap bangku yang tersedia.

Ibu Mikoto disana. Matanya berbinar. Ayah Fugaku juga ada disana. Wajahnya teplon seperti biasa. Uchiha lain berserakan, tertawa, saling tinju manja, atau mengumpat pelan.

Tokoh utama belum hadir. Itachi mendecih. Adik bungsunya tidak tampak disana, padahal ini hari kelahiran anak pertamanya. Sakura sedang berjuang di dalam ruang bersalin.

Itachi melangkah pelan pada Ayahnya, menyapa sopan lalu duduk di samping Ibunya. Mereka saling tersenyum.

"Adikmu itu---" tiba-tiba sang Ayah memulai percakapan, "entah apa yang dipikirkannya." wajah datar Fugaku mendengus kesal yang kentara. Itachi tidak menimpal. Para Uchiha hanya menoleh sekedarnya saja.

"Sepuluh tahun penantian, dan dia tidak datang pada kelahiran anaknya sendiri. Manusia macam apa adikmu itu, Itachi!?"

"Maaf," bukan suara Itachi yang menginterupsi. Itu suara khas Uchiha bontot yang baru tiba.

"Ha-ah," desahan lelah lolos dari bibir tipis sang kepala keluarga, Uchiha Fugaku.

Itachi mendelik sebal. Kemana saja Sasuke baru datang jam segini.

Namun tidak ada yang berani berkata lagi. Mereka di kejutkan oleh pintu yang terbuka, dan seorang suster yang menghambur keluar.

"Bayinya sudah lahir!" wajah Suster cerah cemerlang yang langsung menular pada semuanya. Kecuali Ayah si bayi.

"Mana Ayahnya?" kepala Suster bergerak-gerak gemas, "anda di persilahkan masuk, tuan." Suster itu membimbing Sasuke masuk dalam ruangan.

Ruangan terang benderang di distraksi suara tangisan bayi. Riuh.

Sasuke mendekabti satu-satunya ranjang disana. Sakura tersenyum meski terkulai lemah. Noda darah dimana-mana. Dua orang berjubah putih ikut tersenyum padanya.

"Selamat bayinya perempuan, tuan Uchiha Sasuke." salah satu dari mereka menyalami sebelum dirinya di serahi buntalan bergerak di tangannya.

Ini----

Bayi.

Perempuan.

Anaknya!

Sasuke menatap datar bayi di gendongannya. Serbuan para Uchiha tidak disadari, setelah para jejubah meninggalkan ruang.

Sasuke tercenung. Bayi itu mirip dirinya. Tentu saja! Anaknya!

"Selamat, Sasuke!" ramai ucapan selamat di hadiahkan padanya yang masih tergugu. Itachi di sampingnya, merebut buntalan itu. Si bayi meronta, menangis nyaring. Sasuke tersentak. Kembali ke kenyataan.

Sepuluh tahun usia pernikahannya, hanya satu kali dia menyentuh istri sahnya. Berbuah manis jadi seorang anak yang kelak menanggung nama besarnya. Sasuke masih tidak yakin pada hidupnya.

"Jadi akan di beri nama siapa, bayinya?" Uchiha Shisui jadi yang paling berisik hari ini. Mengalahkan Uchiha Obito.

Sasuke diam. Seolah tuli, dia tidak menggubris godaan sepupunya.

"Sasuke?" Itachi mencolek tepat waktu. Sasuke mendongak merespon lambat.

"Ya?"

"Nama bayinya?" Obitho tidak sabar. Pun yang baru saja jadi Kakek dan Nenek.

"Oh." Sasuke kembali menerawang. Nama adalah doa. Orang tua bebas memberikan nama apapun untuk anaknya selagi itu baik untuk si anak. Kalau nama mantan kekasih boleg tidak ya?

"Sarada." tiba-tiba Sakura menyela cepat. Greget pada tingkah lemot suaminya hari ini. "Aku ingin menamakannya Sarada, Sasuke. Uchiha Sarada." kata perempuan yang baru di nobatkan jadi ibu tersebut.

"Hn."

"Yeah." para Uchiha bersorak menyambut kehadiran Uchiha baru. Keluarga mereka bertamabah satu. Ini bagus 'kan.

Sepertinya, Sasuke tidak berpikir begitu.

Ponselnya tetiba berdering ngaco. Dering yang Sakura kenal sebagai nada alarm. Tapi Sasuke mengangkatnya, seolah menerima panggilan suara, lalu menjauh. Keluar dari sana.

.

"Kemanakan ubi-ku? Kakak menyembunyikannya lagi, ya?" gadis kecil itu turun dari sepeda. Merengut kesal.

"Ehehe, kamu sudah pintar, Hima. Ini buat bekal pulang, ya." suara cempreng khas anak lelaki segera menyusul, dibalas cengiran lebar dari gadis kecil tadi.

"Ini tempatnya, kakak? Besar sekali," gadis yang di panggil Hima melompat senang memasuki gerbang masuk rumah sakit Konoha.

Sang kakak menyusul turun dari joknya, berdiri di samping si adik. Mengangguk.

"Betul. Ayo, kita masuk!"

Keduanya memasuki bangunan itu tanpa risih oleh pandangan miris dari para pejalan kaki.

"Kenapa mereka melihat begitu?" si adik tidak mengerti. Kakaknya menggeleng acuh. Membuka sehelai kertas di tangannya.

"Kenapa membeli obat harus sejauh ini, nii-chan?"

"Karena di desa tidak ada obat ini." si kakak menunjuk-nunjuk kertas lusuhnya.

Ruang dan waktu. Salahkan mereka saat keduanya tanpa sadar menabrak sesuatu di depannya. Tubuh seorang pria.

"Kau tidak---Eh, kalian tidak apa-apa?" pria itu bangkit berdiri seolah tidak pernah terjatuh sakit seperti barusan.

"Tidak, paman." gadis Hima yang menjawab. Si kakak merengut tak suka.

"Kalian---"

Kenapa sangat mirip.

"Sedang apa kalian disini?" hanya kata itu yang terlintas dalam kepala ravennya.

"Menebus obat," bocah lelaki maju mendekat.

"Kau---siapa namamu?" Sasuke menyipitkan mata.

"Aku?" si bocah menunjuk hidungnya sendiri. "Boruto." katanya mantap.

"Huh?"

"Dan ini adikku, Himawari." senyum cerah ceria bocah ini membawa nostalgia pahit di batin Sasuke.

Kenapa ada anak sangat mirip dengan kekasihnya dulu. Lalu dia teringat bayinya yang baru lahir yang juga sama mirip dengannya. Bohlam fiktif menyala kuning di kepalanya.

"Kalian hanya berdua datang kemari?"

Kedua bocah mengangguk saja.

Sasuke mendengus jengkel pada siapapun yang menyuruh anak kecil berkeliaran dalam rumah sakit sebesar ini. Kalau mereka tersesat?

"Kenapa tidak bersama orang tua kalian?" entah kenapa mulutnya tidak bisa di rem saat ini.

"Orang tua yang mana?" bocah pirang bercelatuk kalem, "Ibu yang sudah meninggal, atau Ayah yang seorang pemabuk, yang justru menyuruh kami menebus obat ini?"

Sasuke mengernyit miris mendengarnya. Oke. Pertama dia masih syok perihal bayinya yang terlahir hari ini, kedua sosok bocah laki-laki ini mirip sekali dengan mantan kekasihnya. Naruto. Tapi, Naruto sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.

"Margamu siapa, bocah?"

Lagi-lagi bocah pirang menunjuk dirinya. Kali ini di dada.

"Aku, Namikaze Boruto, dan Adikku, Namikaze Himawari. Ayahku Namikaze Kyuubi, Ibuku Hyuuga Hinata."

"Huh," Hinata Hyuuga!?

Lama bengong membuat Sasuke kehilangan dua sosok anak kecil tadi.

..

Ini seperti adegan film bergenre multi, antara misteri, fiksi ilmiah, dan tragedi. Opsi terakhir sepertinya lebih cocok.

Sasuke memerhatikan sebuah sepeda mini yang kondisinya sudah butut yang di senderkan di samping mobil kerennya.

Sepeda siapa ini.

Niatnya untuk menyingkirkan benda itu hilang saat di dengarnya dua suara anak mendekat. Mereka...

"Hai, paman," si bocah pirang menyapa kalem. Tidak peduli.

Sasuke diam memandangi mereka. Lalu pinggangnya di colek pelan oleh bocah perempuan berambut indigo dari samping.

"Paman mau ubi?" anak itu mengulurkan ubi bakar di tangannya.

Sasuke diam saja. Dia pandangi sesuatu yang melingkar di pergelangan gadis kecil itu.

"Hima, ayo naik!" si kakak sudah naik ke atas jok sepeda menyuruh si adik lekas duduk di belakang boncengan.

Himawari, gadis berumur delapan tahun itu berlari kecil kearah sepeda lalu duduk di boncengan sepeda kakaknya.

"Tunggu!" Sasuke berseru cepat, dia menghalangi jalan sepedanya. Boruto mendengus.

"Ada apa, paman?" Boruto tidak sabar. Dia harus segera pulang dan memberikan obat untuk adiknya pada Ayahnya. Kalau tidak, Ayahnya pasti mengamuk dan akan memukul punggungnya. Lalu adiknya akan menangis dan penyakitnya kambuh lagi. Tidak. Boruto tidak mau begitu.

"Kami harus cepat pulang. Ayah sudah menungggu, dia akan marah kalau kami tidak segera pulang." Boruto menaikan kaki untuk mengayuh pedal.

Sasuke menghadang lagi.

"Sebentar," katanya. "Siapa nama Ayah kalian tadi?"

Boruto mengernyit heran. Himawari sudah melingkari pinggang kakaknya, takut jatuh.

"Kyuubi. Namikaze Kyuubi." sahut si bocah pirang, "sudah, tolong minggir paman. Kami mau pulang."

Sasuke menyingkir pelan. Saat itulah ia menyadari sesuatu dari dua bocah yang di temuinya hari ini.

Bukankah, Kyuubi nama yang 'kau' berikan untuk kucing yang selalu datang ke rumah kita dulu?

Tanpa sadar bibir tipisnya melengkung. Menyeringai.

Ini mungkin mustahil. Tapi dia akan mencari tahu.

...

Uchiha Sarada sudah berumur tiga puluh satu hari saat pamannya datang menjenguk dan memberikan boneka rubah kecil ke tangan keponakannya itu.

Ayah si anak mengernyit tidak suka.

"Dia masih bayi, Aniki." ucap lelaki raven yang baru saja sebulan menjabat Ayah. "jangan beri hadiah macam-macam padanya." tegur Sasuke.

Itachi, si paman, kalem saja menanggapi dengan kedikan bahu. Lelaki bertubuh tegap nan jangkung itu melenggang ke arah dapur untuk menemui sang adik ipar.

"Halo, Sakura," sapanya riang.

Yang di sapa menoleh cepat, lalu tersenyum cerah.

"Halo kakak ipar, pasti boneka rubah lagi," kegiatan menyindir ini sudah lama di lakukan. Jadi tidak ada yang tersinggung.

Itachi duduk tanpa di persilahkan. Dia menopang kakinya. Berlagak layaknya tuan besar di rumah ini.

"Kau kan tahu koleksi boneka rubahku sudah satu kamar. Aku akan membaginya dengan keponakanku."

Sakura ikut tersenyum. Tidak menyadari entitas lain menguping pembicaraan dengan tidak suka hati. Sasuke berdecih lalu pergi ke ruang kerjanya.

.

Pagi ini sedikit mendung. Sudah tanggal 20, waktunya bayi Sarada mendapatkan imunisasi dari dokter pribadinya, dr.Tsunade di rumah sakit Konoha.

Sakura nampak kerepotan menenteng tas besar keperluan si bayi sementara tangan lainnya sibuk berkutat dengan ponsel di telinga. Menghubungi suami.

"Halo, Sasuke-kun, cepatlah kemari. Aku sudah di depan ruangan dokter Tsunade."

Yang di seberang hanya bergumam 'hn' lalu panggilan terputus. Bayi Sarada mengoceh saja, sementara Sakura membuka pintu dan masuk kedalam ruangan itu.

Walau mendung, keadaan rumah sakit tak pernah sepi sedikitpun hari ini. Loket pendaftaran di penuhi antrian yang mengular hingga koridor ruangan lain. Apotik juga jadi salah satu tempat yang di jejali para manusia pencari kesembuhan.

Yang lengang hanya koridor ini, dimana dua orang anak, laki-laki dan perempuan, sedang berjongkok tidak menyadari tubuhnya akan menjadi sandungan jalan seseorang.

"Awh," kedua bocah meringis, pun tubuh perkasa yang tiba-tiba terhempas di depan mereka.

Dejavu.

"Eh, kalian--"

"Paman yang waktu itu ya?" si bocah perempuan menunjuk tak sopan lalu bangkit dari jongkoknya.

"Boruto. Himawari." Sasuke mengabsen nama anak-anak yang lagi-lagi di tubruknya kali ini. "Kalian disini?"

Anak lelaki yang di panggil Boruto mengernyit tak suka, menarik tangan adiknya, Himawari, agar jauh dari paman yang hobi menabrak ini.

"Berdua lagi?" Sasuke bangkit berdiri, menepuk bokong menyingkirkan debu.

Boruto menyembunyikan tubuh si adik di belakang punggungnya.

"Kami bersama Ayah." kata bocah itu. Tatapannya tajam pada Sasuke.

Entah mengapa, dada pria raven tiba-tiba bergemuruh keras. Tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, Sasuke meremas kemeja di dada kirinya.

"Dimana?" Sasuke memicing, mencoba melirik dengan ujung matanya mencari keberadaan yang entah mengapa ingin dia temui kali ini.

"Disana. Di ruang dokter Kabuto." Boruto menunjuk pintu kayu jati berwarna cokelat tua yang tertutup rapat, dua meter di sebelah kanan tempat mereka berdiri.

Sasuke menyipitkan mata, berusaha seolah ingin melubangi pintu itu dan mengintip ke dalamnya. Benarkah sosok yang ada di kepalanya yang ada dalam ruangan itu.

Suara ponsel menyela keadaan. Sasuke merogoh saku, melihat layar ponsel berubah wajah cantik istrinya, dan bayi Sarada. Anaknya.

Pria raven itu hanya berucap 'hn' sebelum melangkahkan kaki menjauh dari dua bocah yang sudah di tabraknya. Lalu berhenti jalan, dan berbalik.

"Katakan salam dariku untuk Ayah kalian." senyumnya mengoles bibir tipis jarang gerak itu. Sasuke melongos pergi sebelum Boruto menanyakan namanya.

"Aku Uchiha. Sampaikan maafku padanya." tanpa menoleh, Sasuke melanjutkan perjalanan menuju keluarga yang menunggunya.

Boruto berdecih pelan lalu berbalik untuk menunggu pintu dr.Kabuto terbuka.

Himawari masih mengalunkan nada lagu Aoi teshima no teru dari bibir mungilnya. Boruto meliriknya saat pintu kokoh itu terbuka perlahan.

Dua orang pria dewasa keluar dari sana.

Dokter Kabuto dan Ayah mereka.

"Ayah!" Himawari berpekik riang menubruk sang Ayah yang sigap menggendonh gadis kecilnya.

Boruto diam memandangi Ayah yang memiliki hampir sembilan puluh persen kemiripan dengannya.

"Aku akan segera mengabari kalian lewat suster Karin." Kabuto menepuk kepala Himawari. Kepala pirang pria dewasa mengangguk pelan. Pandangannya sayu ke arah depan.

Kabuto tersenyum, meninggalkan Ayah dan dua orang anaknya disana.

"Aku akan sembuh kan, Ayah?" Himawari bercelatuk lemah. Matanya berasa kunang-kunang, antara kantuk dan pening di kepalanya.

"Tentu saja." suara berat nan tinggi Ayahnya menjawab santai. Mengeratkan gendongan dan berjalan menuju pintu keluar.

Satu tangan lainnya mengulur, menggapai tangan mungil lainnya milik si sulung.

Boruto menangkap tangan si Ayah lalu menggandengnya.

Sasuke disana. Menguping. Mengintip. Menjelma stalker untuk keluarga kecil itu.

Ia menyipitkan mata onyksnya, menyembunyikan tubuh tegap berisinya di balik pilar besar pembatas lorong rumah sakit.

Lekas ia keluar dari sana setelah keluarga kecil itu menjauh.

Lalu mendengus.

Sasuke menundukan kepala. Merasakan sesuatu yang berkecamuk dalam dadanya.

Tanpa sadar si bocah pirang memergoki tingkahnya dari kejauhan. Boruto menengok mengamati Sasuke, lalu berkata pada Ayahnya:

"Paman Sasuke bilang, Maaf." Boruto melepas tautan tangannya lalu berjalan mendului.

Si Ayah tertohok. Tidak menyangka sama sekali. Kenapa masih ada nama seperti itu hingga hari ini.

"Aku tahu dari buku harian Ayah." Boruto bersedekap garang di depan Ayahnya.

Himawari sudah terlelap tidur, dan Ayah mereka tak menghentikan langkahnya sekalipun kakinya memberat seperti di bebani besi.

"Orang itu memiliki bayi kecil." seru Boruto kali ini. Ayahnya hanya tersentak kecil lalu kembali berjalan hingga tiba di parkiran.

Dengan hati-hati, pria itu memasukan anak perempuannya yang tertidur ke dalam mobil. Sementara dirinya ikut masuk di kursi pengemudi, mengabaikan anak sulungnya yang setengah berlari mengejar.

"Sepertinya kita tidak jadi mampir ke kedai Ichiraku. Langsung pulang saja." sang Ayah menstarter mesin mobil pinjamannya. "Paman Lee memerlukan mobilnya sebentar lagi." senyum si Ayah terkembang tulus.

Boruto membanting pintu mobil. Duduk bersedekap sambil memberunggut di kursi depan di samping Ayahnya.

"Mungkin ini siasat Ayah untuk bertemu lagi dengan orang itu." Boruto berdesis tak suka.

Si Ayah pirang mengeraskan rahang. Meremas stir dengan kedua tangannya.

"Dengar Boruto." si Ayah balik berdesis mengancam. "Ayah tidak tahu siapa orang yang kau bicarakan, anak kecil."

Boruto menarik lengan kemeja Ayahnya saat kaki si Ayah menekan kopling. Mobil berguncang. Tidak jadi melaju.

"Kau apa-apaan, Boruto!?" Naruto, si Ayah yang murka menghentakan tangannya. Menepis kasar jejari anaknya yang ada disana.

"Jangan mulai----"

"Aku bukan anak kecil, Ayah!" Boruto gagal menyembunyikan emosinya kali ini, "aku cukup dewasa untuk bisa menjagamu dan adikku yang sedang sekarat." tangan Boruto kali ini mencengkeram kuat pergelangan Ayahnya.

"Boru--hey! Jangan sembarangan. Adikmu baik-baik saja dan dan kau!" Naruto menunjuk hidung anak sulungnya dengan bengis, "akan selalu jadi bocah kecil, yang tidak mengerti apa-apa!" Naruto menepis kasar tangan anaknya.

Himawari terlelap tak terganggu.

Dua kepala pirang berhadapan, dua pasang biji safir bertatapan. Sengit. Keduanya tidak mau kalah.

"Aku tahu, Ayah." Boruto memalingkan wajah, menurunkan pandangan. "Aku tahu siapa Sasuke itu, Ayah. Aku tahu." lirih, suara Boruto terdengar sungguh-sungguh. "Aku akan menjaga Ayah seperti yang di lakukan orang itu, Ayah."

Naruto menghela nafas berat.

"Dengar Boruto." Naruto mengalihkan fokus, "aku ini seorang pemabuk, tidak tahu apa yang aku tulis selama ini. Termasuk nama Sasuke yang tidak pernah ku dengar itu." ada sesak saat ia menyebut nama itu untuk kali pertama. Dan sebaliknya, Boruto, aku yang akan selalu menjagamu selamanya. Bukan kau."

Boruto tidak menyahut cepat kali ini. Dia memikirkan dulu apa yang ingin dikatakannya nanti. Mungkin menunggu hingga tiba di rumahnya.

Namun kenyataan memang selalu tanpa prediksi.

Speak about the devil.

Orang yang di bicarakan tiba-tiba menghadang mobil mereka.

Sasuke berdiri dengan wajah teplon disana. Di depan Naruto dan Boruto yang memandangnya dengan tatapan yang berbeda.

Waktu berhenti berputar.

Hujan tetiba mengguyur lahan parkir luas nan sesak beragam mobil itu. Di sana. Di luar sana. Sasuke kuyup oleh air hujan. Hujan yang mengingatkan segalanya.

Dia bergeming. Tegap berdiri di sana sambil menatap tajam satu di antara dua pasang manik biru yang di carinya.

Naruto.

Boruto yang pertama kali sadar dari suasana horor ini. Dia menoleh pada Ayahnya yang membeku.

"Jalankan mobilnya, Ayah." gumam si bocah menatap lurus orang yang sejak tadi mengganggu pikiran polosnya.

Naruto diam membisu.

Cengkramannya pada kemudi melemas seketika. Pandangannya masih bertaut kesana. Pada sepasang onyk yang mengkilat di basahi air hujan.

Mulutnya bergerak lambat di luar kesadaran.

"Tadaima," tanpa suara.

Petir menyusul setelahnya. Boruto mendecih tak suka.

"Okaeri, dobe." meski tanpa suara, meski dari kejauhan. Suara hatinya terdengar mengalahkan guntur yang bersahutan.

Boruto melihatnya. Bocah itu tidak suka. Ia benci setengah mati pada orang di luar sana.

"Injak gas-nya, Ayah. Orang itu yang sudah membunuh ibu. Orang itu yang membuatmu mengabaikan aku dan Hima. Injak gas-nya, Ayah. Injak!!"

Hilang kendali, Boruto melayangkan tinjunya di pipi sang Ayah.

"Aku akan menggantikan orang itu. Singkirkan dia. Singkirkan Sasuke itu, Uzumaki Naruto!!"

Petir menyambar lagi, kali ini lebih pekat. Telinga Naruto berdenging. Sama seperti hatinya yang mencelos mendengar perkataan anaknya.

Kepala Naruto perlahan bergerak menoleh pada Boruto. Tatapannya lebih horor dari pada saat melihat Sasuke lagi.

"Kau panggil aku apa?" seperti berbisik, suara Naruto meluncur bergetar disana.

Boruto menatapnya tajam. Dadanya bergemuruh hingga bergerak random antara menarik dan menghembus nafas kasar.

"Sudah kubilang aku tahu semuanya. Aku menyayangimu lebih dari sekedar kau tahu, Ayah." Boruto terisak, menundukan kepalanya dalam-dalam.

"Aku menyintaimu, Ayah. Menyintai Uzumaki Naruto." entah kaget atau refleknya kurang bagus. Naruto menginjak gas kencang. Mobil melaju cepat. Mengindahkan seseorang yang terlambat mengelak dari sana.

Sasuke terhantam dorongan keras sedan tua itu. Tubuhnya terpelanting jauh kedepan. Sejauh Naruto menatap mata biru di depannya dengan pandangan nanar.

"Kamisama, dosa apa aku."

Orang-orang ramai berkerumun. Hujan deras mengiringi. Naruto bergeming hampir tanpa nafas, sementara Borutp menangis layaknya bocah kehilangan mainannya.

Tubuh Sasuke di larikan segera ke dalam gedung. Polisi RS menangkap Naruto sebagai pelaku tabrakan. Dua bocah di ungsikan dan di tangani oleh ahlinya.

Hujan terus mengguyur. Petir menggelegar. Langit nila menaungi padahal hari masihlah siang. Dan situasi yang tak terelakan.

Selesai.

03AM, hujan rintik-rintik, lg tidur kebangun laper. Malah nulis beginian. Maaf untuk yg tidak berkenan. Sy sedang di satroni setan mewek belakangan ini, jadi idenya banyak muncul yg sesak2 T.T Kalo ada tenaga ekstra tar saya tambalin plot hole-nya. Sampai jumpa di lain waktu, bye~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top