ego revisi

Anjuu wattpad error parah, uda cape2 nulis diilangin gitu aja. Dua cerita pula, susah2 bangun emosi, malah ilang.. #grrr #ainkngamuk #kembalikantulisankupliiiiissss

Nulis lagi lah, mudah2an masi inget..

____________________________________

Songfic. Ego Sendiri
Sasuke x Naruto

Harusnya tak begini, di antara kau dan aku

~

Surat undangan itu tetap datang. Meski tidak diinginkannya. Meski tidak di ridhoinya.

Hubungannya dengan si kekasih gelap sudah tiga tahun berjalan. Tak ada siapapun yang tahu. Padahal mereka satu kantor. Wakil CEO dan karyawan.

Sasuke dan Naruto.

.

Naruto mendengus pada kertas mewah di atas mejanya.

Nama kekasih rahasianya tertulis apik dengan tinta emas. Menemani satu nama disana. Bukan namanya. Nama lain yang sangat di kenalnya. Nama perempuan. Haruno Sakura.

Kekasihnya baru saja melewat di depan kubikalnya. Tidak menyapa, tidak menoleh. Hanya melintas saja.

Naruto mendengus lagi. Seminggu lagi, bukan waktu yang lama untuk melepaskan kekasih menikah dengan orang lain. Apalagi jika mereka akan tetap satu kantor dan bertemu setiap hari. Walau pada awalnya Sasuke yang meminta Naruto untuk jadi kekasihnya, tapi sekarang tampaknya keadaan berbalik pada Naruto.

Sementara Sasuke memandang kekasih pirangnya dari balik kaca ruangan pribadinya. Di tangannya ada surat undangan yang sama. Andai ia bisa mengubah nama perempuan itu dengan nama Uzumaki Naruto. Tangannya mengepal, meremas kertas mewah itu hingga hancur. Hubungannya dengan Naruto adalah aib keluarga. Dan dia tak mau orang tuanya hancur gara-gara preferensi sex-nya yang melenceng.

*
Sama-sama bertahan hanya karena satu ego sendiri

~

Pada jam pulang kantor begini, sudah biasa lift yang hanya dua buah itu selalu penuh di buru karyawan yang ingin segera pulang. Naruto juga begitu, dia mengantre paling akhir barisan. Tetiba bahunya di colek dari belakang.

Sasuke disana, berdiri tegap, berwajah teplon. Tidak apa-apa, kalau di kantor semua orang tahu kalau mereka adalah teman sepermainan sejak masa sekolah. Jadi tak ada yang curiga.

Naruto berjalan gontai mengekor wakil bos-nya dari belakang. Ia sedang bingung, harusnya rutinitas ini sudah berakhir. Bukankah Sasuke akan menikah, minggu depan?

Pintu lift khusus pimipinan tertutup tepat saat Naruto melangkah masuk dan langsung di tarik Sasuke ke dalam pelukannya.

"Kau menghindariku?" Sasuke menciumi wangi rambut pirang yang sudah bercampur bau keringat. Naruto menggeleng.

"Kenapa?"

"Huh?"

"Karena aku harus menikah?" Sasuke melonggarkan dekapannya. Iris biru balas menatap. Kepala pirang menunduk.

"Dengar! Kau milikku, juga sebaliknya. Kita akan begini selamanya. Jangan memikirkan hal yang tidak sanggup kau pikirkan. Mengerti?"

Kali ini Naruto tersenyum. Sedikit. Lift terbuka. Pelukan terlepas. Keduanya keluar menuju kendaraan masing-masing.

**

Sering kita sembunyi di balik sikap dan kata

~

Fugaku Uchiha adalah pimpinan yang sebenarnya. Pemilik dari perusahan ini. CEO. Bos besar.

Naruto sebagai karyawan sudah mengetahui sejak pertama masuk perusahaan ini. Yang dia tidak tahu adalah, kenapa Bos-nya itu berdiri di samping meja kerjanya sekarang.

"Uzumaki Naruto?"

Naruto bangkit berdiri. Membungkuk hormat, dengan jantung berdentum kecil. Jangan-jangan....

"Iya," cuma segitu keberaniannya muncul. Selebihnya dia akan berdoa pada Kamisama.

"Sepertinya waktu makan siang sebentar lagi. Mau menemaniku ngobrol sebentar?"

Sepertinya lututnya berubah lentur kali ini. Naruto hanya mengangguk lalu mengikuti sang pimpinan dari belakang.

.

Kafetaria Uchiha Group memang tidak pernah sepi waktu makan siang datang. Dan hari ini bertambah ramai ketika CEO mereka duduk di salah satu meja disana, tanpa pengawalan, bersama seorang karyawan biasa.

Naruto duduk tegang, sementara Fugaku duduk kalem bermuka datar mirip kekasih rahasianya.

Dua cangkir kopi tersuguh di atas meja. Kepulan asap kopi memolusi udara dengan wangi khas-nya.

"Maaf Fugaku-sama, ada yang bisa saya bantu?" suara Naruto mengecil di ujung.

Fugaku menilik wajah kalut karyawannya.

"Aku tahu kau berkawan dengan puteraku," suaranya sangat berat berwibawa, namun seperti alunan musik pencabut nyawa di telinga si pirang.

"Dan kau tahu, lusa besok dia akan segera menikah?"

Naruto mengangguk pelan. Fugaku menghela nafas. Dan....

"Jauhi anakku. Kau menjijikan. Kau mengubah anak bungsuku jadi menjijikan sepertimu. Tinggalkan anakku, tinggalkan kota ini. Aku akan melenyapkanmu jika kau membendel! Orang sepertimu hanya pantas mati. Sampah!"

Berbagai skenario tertangkap basah memutar di kepalanya. Naruto bergidik ngeri jika saja Fugaku ini memang sudah mengetahui hubungan gelap antara putera bungsunya dan dirinya.

"Oleh karena itu, aku ingin kau jadi pendamping pengantin lusa nanti."

"Hah!?" biji mata sewarna safir miliknya hampir melompat dari kelopak tan. Naruto membuka mulutnya lebar, mengesampingkan sikap sopan santun-nya di depan sang pimpinan.

Ada senyum tipis menggaris wajah kaku sang CEO.

"Aku tahu tidak sulit bicara denganmu, Uzumaki Naruto. Sasuke pasti senang."

"Apa."

"Aku harus pergi sekarang. Terimaksih waktunya anak muda." Fugaku berdiri setelah sempat menyesap kopinya.

"Tenanglah, Itachi anak sulungku akan mengurus segalanya. Bersiaplah."

Naruto membeku. Dia tatapi punggung Bos besar dengan tatapan tidak mengerti. Kepala pirangnya menunduk dalam.

***

Padahal hati kita tak ingin saling menyakiti

~

Malam adalah waktu yang mereka miliki untuk bersama. Selama ini memang selalu begini. Sasuke dan Naruto akan berada di tempat yang sama. Tempat favorit mereka. Rumah mereka.

Rumah kecil bergaya simpel ini di buat dan di berikan khusus oleh Sasuke untuk Naruto. Rumah persembunyian mereka. Walau terkesan mungil di dalamnya terasa hangat oleh kebersamaan mereka setiap malam.

Kecuali malam ini.

Untuk pertama kalinya, keributan kecil terdengar di ruangan ini.

"Sudah kubilang tolak segala ajakanya, dobe! Kau tidak mendengarku!?" Sasuke meraung kesal mendengar berita dari kekasihnya.

"Aku bisa apa," keluh Naruto, "dia pimpinanku. Ayahmu."

Harusnya Naruto diam saja saat Sasuke mengamuk seperti ini. Karena kekasih raven-nya itu malah tambah ngambek tidak jelas kali ini.

"Kalau sudah seperti ini, tidak ada lagi yang bisa kulakukan," si raven bersedekap dada angkuh.

"Kita--- putus saja," suara siapa itu. Orang yang mengucapkanya juga hampir tidak percaya mulutnya berhianat.

"Kau bilang apa." Sasuke berdesis bahaya, langkahnya menderap mendekati Naruto.

Siapa sangka, Naruto yang tidak ingin di tinggalkan, mengatakan hal yang tidak masuk akal.

"A-aku-- maksudku kita--- amh, sudahi saja----"

"Kau ingin sudahi apa yang sebetulnya tak sanggup kau katakan, dobe?" sekarang pemuda raven itu berdiri angkuh di depan kekasih imbisilnya.

"Tidak, Sasuke. Aku hanya---"

"Kau yang tidak! Kau tidak ingin apa-apa, dobe!" Sasuke menggerung keras.

"Kau dengarkan aku dulu, teme!"

"Sekarang siapa yang kau panggil brengsek, sampah, idiot menjijik---"

"Aku sampah!" raung si pirang. Naruto frustasi. Kesal. Kalap, balik berteriak pada kekasihnya. Hal yang tidak pernah dia lakukan. "Aku ingin kita sudahi hubungan ini!"

Hening.

Ruang tamu mungil itu sekarang terasa lebih mencekam dari pada malam haloween. Begitu dingin. Sasuke berbalik memunggungi pemuda pirang.

"Aku tidak percaya kau sendiri yang mengatakannya." langkah Sasuke terdengar menjauh.

Rumah ini saksinya baru kali ini mereka saling memunggungi.

"Kau tidak mengerti apa yang sudah kau katakan, Naruto." ucapan Sasuke lirih setara dengan cicit burung di pagi hari. Naruto menunduk dalam.

Sasuke keluar rumah. Naruto bergeming.

Bagaimanapun, pernikahan itu harus di laksanakan.

"Maaf, Sasuke."

Malam ini, rumah kecil yang hanya mereka tinggali berdua itu terasa lebih kosong dari biasanya. Sasuke dan Naruto tidak mengerti kemana perginya kehangatan yang biasa mereka dapatkan disini.

****

Mengapa tak mencoba jujur pada hati kita

~

Warnanya merah keemasan seperti tembaga di tempa api. Bentuknya cantik berliuk bagai sulur pohon dalam hutan peri, dan yang paling berkesan adalah kokohnya benda itu tetap berada disana hingga bertahun-tahun lamanya.

Seperti yang selalu Naruto tanyakan pada Sasuke dulu:

"Kursi ini sudah berapa tahun, Sasuke?"

Dan Sasuke hanya menjawab dengan dua huruf favoritnya. Tapi itu selalu berhasil membuat Naruto puas dengan jawaban ala kadarnya itu.

Hari ini di atas kursi itu, di pinghir jalan. Di seberang sebuah gereja megah, Naruto duduk tegak---berusaha tegak.

Dan sendirian. Membiarkan tubuh tan eksotisnya di sapa hangat sinar mentari. Sembari melamun masa-masa dirinya selalu duduk disini menunggu bis bersama Sasuke.

Tapi ini harinya. Hari Sasuke akan menikah dengan Sakura.

Masih ada banyak waktu. Naruto butuh beberapa saat untuk bisa berhasil menenangkan denyut tubuhnya. Jujur bukan hanya jantungnya yang terus berdentum tidak normal. Pun pada seluruh tubuhnya. Seolah tidak mau di ajak kompromi untuk menghadapi kenyataan pahit ini.

Kekasihnya akan menikah dengan orang lain. Ini tidak akan mudah.

Naruto mendengus kasar. Dia benarkan dasi kupu-kupu yang di kenakannya. Padahal hari ini dia sangat luar biasa tampan manis. Morning suit yang di kenakannya berwarna broken white, katanya hampir sama dengan yang di kenakan pengantin pria di dalam gereja itu.

Ini akan tambah sulit rasanya. Menjadi pendamping pengantin untuk kekasihmu sendiri?

Tidak adakah hal yang lebih buruk di dunia ini.

"Naruto," suara bariton seksi melintas di indera dengarnya, "kau tidak mau masuk sekarang?" tanya orang itu. Sosoknya duduk di samping Naruto.

"Itachi-nii," Naruto menyahut menampilkan senyum hangat sebisanya. Separuh berhasil karena Itachi balas senyum padanya, meski sangat tipis.

"Masih ada satu jam lagi. Tapi pihak WO ingin kau ada disana setengah jam sebelum acara pemberkatan."

Itachi memandang lurus melintasi jalanan di depannya. Memandang bangunan megah nan mewah yang akan menjadi tempat sakral bagi adiknya hari ini.

"Oke," Naruto mengangguk.

"Ayahku tidak akan datang, jadi kau benar-benar harus membantuku, Naruto." senyum Itachi terbit lagi. Naruto menoleh cepat.

"Serahkan padaku," katanya.

Itachi lalu bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan Naruto sendirian.

Kali ini giliran Naruto yang menatap lekat gereja di seberangnya. Memikirkan sesuatu.

.

Sudah jam sembilan. Sasuke sudah siap berdiri di temani pendeta dan para saksi pernikahannya. Dia tinggal menunggu calon istrinya datang dari balik pintu itu bersama Ayahnya.

Sinar mentari masuk menembus vitrace jendela yang sedikit transparan. Sasuke tercenung, menatap dengan pandangan sulit ke luar jendela.

Hari ini pernikahannya benar-benar berlangsung. Tidak ada bencana yang terjadi seperti harapannya. Hanya Ayahnya saja yang, sudah bagus, tidak ikut hadir disini.

Kepalanya dilingkupi segala hal yang tidak ingin dia enyahkan begitu saja.

Dimana Naruto? Dia salah satu pendamping pengantinnya, bukan?

Sasuke mendesah pelan. Tentu saja si dobe itu tidak akan kuat, bahkan untuk sekedar duduk jadi tamu penyemarak saja. Siapa yang akan sanggup. Sasuke juga merasa akan seperti itu jika posisinya di balik.

Entahlah.

Saat yang bersamaan, suara musik pengiring mengalun syahdu dalam ruangan. Semua tamu undangan berdiri. Pintu berderak terbuka, tetamu menoleh. Itachi menggenggam tangan Mikoto, sang ibu.

Sasuke tetap berdiri membelakangi suara langkah kaki yang mendekat. Sudah waktunya. Sakura dan Ayahnya sudah datang. Dia akan segera melepas masa lajangnya. Menjadi suami, dari orang yang tidak di cintainya.

Pendeta berdeham. Isyarat untuk Sasuke untuk segera menyambut calon istrinya. Sasuke membalik badan. Terkesiap. Tersentak. Kaget. Tapi tetap tanpa ekspresi.

Di depannya, dua orang tersenyum hangat. Sasuke melangkah mendekat.

Sakura sangat cantik dengan gaun indahnya. Walaupun wajahnya tertutup veil, semua yakin bahwa di balik itu perempuan berambut merah muda itu sangat cantik. Sangat cocok bersanding dengan Sasuke yang tampannya kebangetan hari ini.

Tapi, jangan lupakan orang lain yang mengantarkan calon istrinya itu kedepan altar.

Kenapa juga harus orang ini?

Kenapa harus Naruto!?

Tanpa suara, Sasuke meraih dua tangan yang terulur. Tangan Naruto dan Sakura. Dia menggamit keduanya beberapa saat, merasakan tremor yang berbeda pada kedua tangan beda warna itu.

Sasuke harus melepas salah satunya. Sebisa mungkin dia menekan segala hasratnya untuk tidak melepas tangan itu.

Maka Sasuke melepas tangan Naruto. Menarik tangan Sakura, naik ke atas altar pernikahan.

Sekali lagi Naruto --- berusaha --- tersenyum. Walau hanya senyum kaku mirip kawat. Dia segera berbalik. Menahan kakinya yang berdenyut gila ingin berlari. Menahan matanya agar tidak menjatuhkan muatannya.

Dia menoleh kanan kiri tak tidak memilih kursi. Tidak juga berhenti di belakang barisan kursi untuk berdiri menunggu acara pemberkatan selesai dan bertepuk tangan meriah menunggu bunga terbang dari pengantin.

Tangannya reflek menggapai knop pintu tinggi di depannya. Dia ingin keluar. Dia harus keluar.

Maka, disinilah dia mengais udar dengan rakus setelah sayup-sayup terdengar suara berat mengucapkan kata kunci dari acara suci ini.

"Aku bersedia."

Suara Sasuke yang di dengarnya lewat pengeras suara itu sudah cukup membuatnya untuk segera pergi dari tempat ini. Naruto harus segera menghindar dari pesta selanjutnya. Dia tidak akan sanggup.

Kakinya lebih tahu diri di banding otaknya yang terlalu kecil untuk mencerna segala yang menimpanya hari ini, dan sebelumnya.

Naruto berjalan menjauhi bangunan yang akan selalu mengingatkannya akan Sasuke. Dan tentunya Sakura.

Shit, mulai sekarang dia tidak memisahkan nama itu di kepalanya. Kenapa juga dia harus repot memilah dan memisahkan dua nama yang sudah terikat jalinan bernama suami-istri. Sialan.

Langkahnya gontai menuju, lebih tepatnya tiba-tiba, menuju taman bermain yang biasa dia datangi bersama kekasihnya dulu. Eh, mantan kekasihnya sekarang.

Biasanya taman ini hanya berfungsi sebagai tempat adu kekuatan untuknya dan Sasuke di masa sekolah. Disini juga mereka berkelahi memerebutkan perempuan cantik berdada besar puteri Bupati Iwa bernama Hyuuga Hinata. Itu dulu, sebelum mereka saling terkait dan jatuha hati secara rahasia dan terlarang.

Malah taman ini juga sering mereka gunakan untuk refreshing baru-baru ini. Ya, baru sekitar seminggu yang lalu atau lebih, Naruto mengajak Sasuke untuk makan ramen disini, dan sekarang....

Helaan nafas lemas terdengar dari mulut yang biasanya meneriakan segalanya dengan mudah. Tidak seperti hari ini.

Naruto duduk pada salah satu bangku taman favoritnya. Dia memandang nanar pada pohon yang pernah jadi sandaran mereka saat berteduh dari hujan. Saat itu----

Chk, lupakan saja!

Seluruh sel di tubuhnya meneriakan hal yang sama. Ingin kembali pada Sasuke, yang telah jadi suami orang lain.

Naruto merogoh saku, mengelurkan ponsel pintarnya. Saking pintarnya benda itu, dia merasa ada yang perlu dia ketahui untuk memupus perasaannya pada suami orang. Pada Sasuke.

Naruto akhirnya berhasil melakukan dua tindakan yang, mudah-mudahan, tidak akan dia sesali. Karena salah satu tindakannya mengirim pesan pada suami orang lain itu.

Pesan singkat tentang pertemuan terakhir.

*****

Bahwa sesungguhnya engkau dan aku takut berpisah

~

Sehari setelah masa-masa galau tidak berhasil di lewati. Kembali dirinya berharap pada sesuatu yang buram, abu-abu. Tidak jelas.

Sekali lagi Naruto mengirim pesan tentang petemuan terlarang dengan kekas--mantan kekasihnya, Sasuke. Bahwa dia ingin bertemu, bahwa dia ingin satu malam saja bersamanya, bahwa dia berjanji tidak akan mengganggu hidup baru mantan kekasihnya itu, bahwa hari ini saja dia ingin berlaku egois. Bolehkah?

Langit hitam membuktikan kalau hari telah merayap malam tanpa bisa menunggu. Sekalipun decakan kecewa itu terdengar deras bak air sungai meluap karena banjir.

Ya, Naruto kecewa. Tapi jelas itu bukan salah Sasuke, sekalipun Sasuke tidak membalas pesannya, sekalipun Sasuke tidak menggubris permintaannya. Apalah Naruto yang hanya kekasih gelap itu?

Tidak ada salahnya dia kembali ke rumah kecil pemberian mantan kekasihnya dulu. Dia memohon pada apapun yang ada di atas sana, yang mungkin memerhatikannya, ijinkan dia singgah di rumah itu sekali lagi saja. Naruto hanya ingin sedikit mengenang lalu akan segera melupakannya. Senjata pelupa sudah dalam saku. Tidak usah kuatir.

Ini pasti berhasil.

Maka, di putarlah anak kunci pada lubang yang sudah terisi kunci lain dari dalam. Naruto meng-eh lirih. Ada orang di dalam? Dia tidak salah rumah kan?

Memantapkan hati untuk jadi pemberani meski tanpa dukungan yang dulu sering dia dapatkan dari Sasuke, Naruto mendorong pintu yang tidak terkunci. Masuk mengendap kedalamnya. Tanpa suara.

Pencahayaan yang kurang dan dinginnya lantai tidak di hiraukan, matanya tengah terpaku pada sosok yang terus memaksa otaknya bekerja siang malam beberapa hari ini. Tidak terkecuali hari ini.

"Sasuke?" Naruto merasa suaranya bergetar tidak bisa di manipulasi.

Sosok itu menoleh. Tersenyum lebar, senyumannya sejak hari pernikahannya dua hari yang lalu.

"Naruto!"

Tangannya terbentang menyambut lelaki yang sudah di tungguinya di rumah ini sejak kemarin.

"Sedang apa kau---"

"Kemarilah!" Sasuke menepuk duduka sofa di sampingnya. "Aku menunggumu dari kemarin," katanya.

"Apa."

"Kau tidak bilang dimana ingin menemuiku, dobe. Jadi aku kemari, berharap kau masih sudi datang ke rumah kecil ini." senyum Sasuke kembali merekah.

Kenapa situasinya jadi seperti terbalik. Naruto zombie melangkah ke depan Sasuke. Lalu tiba-tiba melayang dan hinggap di pangkuan Sasuke. Suami orang lain itu.

Sasuke segera memerangkap pinggang si pirang dengan erat. Seperti tak ada yang terjadi, seperti tidak ada hari esok. Sasuke memeluk Naruto rindu.

"Sasuke, apa yang terjadi?" hanya itu yang mungkin Naruto akan mendapat jawaban bagus dari mantan kekasihnya ini.

"Hn. Aku sudah memikirkannya, dobe. Kau masih ingat, kata-kataku di lift tempo hari? Bahwa kita akan selalu begini, meski aku sudah menikah. Meski kau nanti menikahi perempuan berdada besar yang sempat kita perebutkan saat masa sekolah dulu." Sasuke menghujani Naruto dengan ciuman. Si raven harus bisa meyakinkan dobe-nya untuk mengiyakan usulannya.

"Aku pikir----"

"Sudah, jangan mikir. Kau tidak akan sanggup memikirkan apapun. Biarkan aku yang berpikir, kau ikuti saja aku. Maka aku akan selalu ada untukmu." kali ini Sasuke lebih merapatkan tubuh mereka.

Naruto mengernyit. Dia tidak salah dengan pengelihatannya. Apakah jas yang teronggok di sandaran sofa itu adalah morning suit yang Sasuke kenakan saat pernikahan dua hari lalu?

"Kau tidak pulang ke'rumahmu, teme?" Naruto menangkup pipi porselen dengan kedua telapak tangannya. Menembus obsidian dengan jarak ekstrim.

Sasuke tersenyum lembut.

"Ini rumahku," lirih Sasuke. Kepala ravennya menyuruk diantara garis leher dan ujung rambut spike pirang Naruto.

Naruto tercenung. Menimang sesuatu dalam kepala kecilnya. Ini jelas tidak benar. Dia tidak mau jadi pihak ketiga penghancur rumah tangga orang lain.

Dipaksakannya bibir itu tersenyum, sama, senyum pertama Naruto sejak pernikahan Sasuke. Dia memaksa wajah mereka berhadapan.

"Kau terlalu baik untuk melakukan ini, Sasuke. Aku mencintaimu, bukan berarti aku senang jika kau keluyuran di luar sementara istrimu menunggumu di rumah."

"Iya, maafkan aku sudah membuatmu menunggu, Naruto. Aku tidak akan kemana-mana lagi. Aku akan selalu pulang kesini. Aku janji."

Ini lebih rumit dari pada mengerjakan ujian chuunin sendirian. Meski Naruto tahu istilah chuunin dari serial anime kesukaannya, dia yakin ujian itu memang sangat sulit untuk di kerjakan. Namun kali ini rasanya perkataan Sasuke yang sedikit tidak nyambung baginya, jauh lebih sulit dari apapun.

"Bukan itu maksudku, teme." Naruto memukul bahu Sasuke main-main. "Maksudku, Sakura---"

"Aku sudah menikahinya kemari, Naruto. Selesai. Sudah, tidak usah bicara lagi. Biarkan aku memelukmu sampai pagi. Kumohon." kepala Sasuke kembali tersuruk di leher Naruto.

Naruto makin bingung. Kemarin-kemarin dia sangat ingin Sasuke batal menikahi Sakura lalu kembali padanya. Tapi hari ini, mendadak perasaannya kacau balau karena Sasuke yang berperilaku aneh dan bicara terlalu banyak.

Ini benar-benar harus di sudahi. Sudah dia putuskan hal yang terbaik yang akan dia lakukan malam ini.

"Kita tidak akan berpisah, Naruto. Tidak akan." Sasuke kembali meracau tidak jelas di telinga Naruto. Maka, Naruto hanya mengangguk saja, mengiyakan.

"Kalau begitu, untuk malam ini jangan lepaskan aku hingga pagi, Sasuke. Aku ingin memberi hadiah pernikahan untukmu, jadi peluk aku. Jangan lepaskan." senyum Naruto hangat mengalahkan hangatnya pelukan Sasuke. "Aku juga ingin menitipkan kado untuk Sakura-chan, Sasuke."

"Hn," Sasuke mengangguk lemah. Biarlah si pirang kesayangannya ini berceloteh, dia hanya ingin berbagi kehangat malam ini.

******

Seandainya saja mau sedikit mengalah, kasih

~

Empat jam terlewati selepas jarum jam mencekik angka tujuh, kali ini detik berdetak lamban di telinga Sasuke. Keheningan yang mencekam setelah Naruto terlelap dalam dekapnnya.

Si pirang menggeliat. Bangun dari tidur duduknya. Pegal-pegal segera menyerang. Maka ia menyaranka untuk berpindah tempat. Ke kamar tidur. Dengan syarat, tidak ada adegan ranjang panas bergoyang malam ini. Sasuke menyanggupi.

Naruto tidak akan setega itu merebut malam pertama pengantin baru Sasuke dan Sakura. Maka ia hanya ingin tidur di peluk Sasuke malam ini. Di rasa itu adalah hal paling logis kali ini. Kata otaknya saja, sih.

Tepat tengah malam, keduanya berbaring nyaman pada kasur empuk penghilang penat. Sesuai perjanjian, Sasuke mendekap erat pinggang si pirang dari belakang. Tapi Naruto bergerak gelisah tidak mau kembali tidur.

"Sasuke, aku ingin tidur lagi. Tapi sulit, boleh kan aku minum obat tidur?" Naruto beranjak duduk setelah mengatakannya berharap Sasuke menjawab ya.

Dan----

----ya, Sasuke mengangguk ikut duduk di samping Naruto.

Naruto senyum tipis, merogoh saku celananya. Menarik botol kecil dari sana. Segelas air putih di raihnya dari atas nakas. Lalu ia menelan pil itu tanla ragu.

Sasuke hanya melihatnya. Naruto memegeng botol kecil itu, lalu kembali rebah di samping Sasuke. Kembali berbaring di pelukan si raven.

Satu jam terlewati, Naruto meremas sprei di bawahnya.

"Sasuke, dingin," katanya.

Tanpa kata, Sasuke menarik selimut hingga bahu mereka lalu melanjutkan senandung kecil sambil mengusap tangan tan dalam dekapan.

Menit-menit di lalui, Naruto berkeringat dan tersedak nafasnya sendiri. Mungkin efek pelukan maut dari tangan kokoh Sasuke.

"Sasuke, sesak," ucap si pirang pelan. Sasuke tidak melonggarkan, malah menciumi kepala pria itu.

Detik-detik berlompatan. Naruto kembali lelap. Sasuke masih bersenandung kecil untuk pengantar tidur kekasihnya.

Naruto sedikit menegang sesaat, jari kakinya melipat tanpa sadar. Sasuke mengusap punggung lelakinya lembut, menyadari sesuatu.

Detik, menit, jam, berhamburan tidak ada keluhan lagi dari bibir kekasih gelap yang harus di rahasiakannya itu. Sasuke tercenung mencoba mencerna segala yang terjadi malam ini.

Bibir tipisnya masih menyenandungkan lulaby lembut untuk Naruto ketika dia menyadari suaranya lebih peka pada kelakuan janggal si pirang. Maka, di usapnya pipi Naruto dari belakang.

Tidak ada reaksi. Si pirang seolah lelap dalam mimpi indahnya. Sasuke menciumi kepala Naruto hingga bibirnya kebas. Naruto bergeming. Tubuhnya sedingin malam, dan kaku bagai boneka.

Sasuke mengeratkan pelukan. Pelukan yang terlambat. Sasuke kembali menghujani leher Naruto dengan ciumannya, berharap si pirang akan terkikik geli dan menghardiknya. Senandung itu tak juga berhenti. Suaranya tambah bergetar saat botol kecil tergelincur mulus dari genggaman Naruto.

Saat itu lah, Sasuke benar-benar menyadari. Kekasihnya telah berbuat keji di hadapannya. Berbuat kejam dengan caranya sendiri. Sasuke tidak bisa memercayai anggapannya, maka dia memeluk tubuh beku itu semakin erat berharap yang di peluk mengeluh sesak seperti tadi.

Di singkapnya selimut, berharap Naruto meminta untuk di selimuti lagi karena dingin. Seperti tadi. Mengusap-usap punggungnya dengan lembut, berharap Naruto bergerak sedikit saja agar dia tahu masih ada yang harus dia perjuangkan selama sisa hidupnya.

Tapi Naruto tidak bergerak lagi. Naruto tidak mengeluh lagi. Naruto tidak bernafas lagi. Naruto sudah tidak ada lagi.

Inikah kado yang Naruto maksudkan.

Dalam diamnya Sasuke meraung keras menangisi ketololannya.

Sialan kau Uchiha brengsek. Kau biarkan kekasihmu bunuh diri dalam pelukanmu. Kau, sialan, kurang ajar. Siapa sekarang yang pantas kau sebut sampah. Dasar idiot tidak berguna. Siapa yang menjijikan, setan. Siapa, hah!

Sasuke menangisi segalanya tanpa suara, tanpa air mata. Entah apa yang ia rasakan sekarang ini. Untuk sesaat dia merasa ikut membeku tak ingin bangkit lagi. Tapi ucapan Naruto, di ingatnya lagi.

Tergesa ia merogoh saku celana Naruto. Secarik kertas lusuh di temukannya.

"Sasuke, kalau kau membaca ini artinya kau sudah dapatkan kado dariku. Ehem, kadonya hanya pelukan sampai pagi. Ingat, jangan di lepas sampai ayam berkokok. Dan ini juga kado-ku untuk Sakura-chan. Jangan tanya kenapa. Aku tidak ingin jadi pihak ketiga dalam kehidupan rumah tanggamu, teme. Oke, aku pergi. Jangan lupa makan."

U.N

*******

Pertengkaran ini, tak mungkin ada selamanya...

~

Sakura Haruno yang telah berubah nama menjadi Nyonya Uchiha itu membuka pintu yang di ketuk pelan dari luar. Sudah dua hari suami sah-nya tidak pulang ke rumah yang semestinya.

Dan sekarang, saat orang yang di tunggunya berdiri di depan pintu dengan wajah yang sulit di artikan. Sakura barulah menyadari satu hal. Sasuke, suaminya, kehilangan jiwa yang sesungguhnya.

Bahwa sejak saat itu, dia tidak akan bisa menjadi istri yang di inginkan Sasuke. Bahwa dirinya sia-sia percuma menikahi pria tampan, kaya, macam Sasuke jika malam pertama dan malam-malam berikutnya tak dia dapatkan sebagai mana semestinya.

Sakura menangisi hal yang tidak di mengertinya. Memarahi hal yang tidak di ketahuinya. Kecewa pada apa yang tidak di pahaminya. Sakura tidak tahu apa yang terjadi pada Suaminya hingga dia jadi istri yang terlantar sejak itu.

Maka, Sasuke hanya meminta maaf tanpa penjelasan. Dia akan pergi berhari-hari entah kemana, hingga membuat istrinya kalang kabut mengadu pada mertua. Kalau sudah begitu, perdebatan kecil hingga adu mulut dahsyat takan terelakan antara Sasuke dan Ayahnya.

Tidak ada penyesalan dalam diri Sasuke. Dia akan kembali pada tempat seharusnya dia berada. Pada rumah kecilnya, bersama wangi kekasih yang tertinggal. Tudak ada tempat senyaman itu di dunia ini. Sasuke lama merenung di sana. Hampir tiap hari dia tidak pulang.

Terakhir, dia mengulang segala yang di ingatnya dengan sang kekasih pirang di rumah itu, sendirian.

Sasuke tidak akan sudi mengganti sosok Naruto dengan orang lain. Biarlah orang menyebutnya gila, dia bahagia masih mengingat senyum cerah sang mentarinya. Mentarinya yang menggelap.

********

Efek lagu Lesti di putar terus di rumah tetangga, tanpa sadar liriknya di hafal tanpa bantuan google dan terciptalah fic ini, horeeee...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top