S E V E N : Namanya Sakit.

Sejak seminggu lalu, semuanya memandangku tak seperti biasanya. Apa karena mukaku berubah masam, atau karena berita itu sudah menyebar dengan derasnya? Iya, berita itu dengan mudahnya terdengar oleh ribuan pelajar yang ada di sekolah ini. Entah karena apa.

Farhan Tanpa Abbas: u ok?

Aku meringis membaca LINE dari Farhan. Apakah perlu ku balas pertanyaan itu?

"Al," panggilan itu menghentikan langkahku. Aku menoleh dan mendapati Lista yang diam di ujung koridor. Ku mohon, jangan lagi.

Lista berjalan cepat ke arahku. "Mau sampe kapan lo vakum motret? Mau sampe kapan lo berubah jadi chicken gini?" aku tersenyum dan menggeleng. Ia harus tahu posisiku. "Mau sampe kapan kalian kayak anak-anak? Saling diem, saling ngejauh? Dan mau—"

"Dan mau sampe kapan lo terus tanya gue dengan pertanyaan 'mau sampe kapan', Lis? I've told you, biar gue jalanin masa awkward ini dengan cara gue sendiri. Lo fikir dengan gue kayak gini, gue juga udah fine? Nol besar, Lis. Gue masih tidak baik-baik aja." Potongku dan kembali berjalan. Meninggalkan Lista yang masih diam di tempat.

Alika: kenal gue brp lama sih? Pntgbgt pertanyaannya

Farhan Tanpa Abbas: gua jemput. Tunggu situ

Airmataku kembali menetes. Sudah seminggu aku menghindari mereka. Beruntung kami tidak satu kelas. Membuatku aman berada di kelas tanpa sedikitpun melukai atau di lukai, lagi. Dan sekarang, sama seperti hari-hari sebelumnya. Diam termangu menunggu Farhan datang di halte depan sekolah.

Iya, menunggu.

Pun menunggu airmata ini berhenti. Menunggu mata ini letih dengan sendirinya. Menunggu hujan yang juga jatuh demi hadirnya pelangi. Menunggu luka pengharapan yang masih belum sembuh. Menunggu tersambungnya kembali tali pertemanan yang—eh, jaket siapa ini?

"Mendung, anginnya gak sehat."

Rama?

"Mulai besok biasain bawa jaket, kek. Sok kuat banget jadi cewe. Udah tau Farhan lama jemputnya." Tau darimana dia tentang Farhan? Dan dengan keberanian sedikit, ku tatap mata cokelatnya yang menatapku dalam.

"Kenapa, Al?" tanya Rama. Aku menatapnya tanya. Apa maksud dia?

"Kenapa lo berhenti saat gue pun belum mulai?"

***

Tepat seminggu gue aneh. Dan cukup seminggu gue jadi chicken. Ocehan Lista sudah menjadi makanan sehari-hari sejak hari itu. Hari dimana berita besar berhasil gue dengar secara tidak langsung. Dan lagi-lagi, Lista sudah bertengger manis di depan kelas.

"Ram, lo bisa manly sedikit gak, sih?!" hardiknya.

"Manly dalam artian apa, nih?" Lista mendengus dan berjalan ke arah meja gue dengan kaki yang—pasti sengaja—dihentak-hentakkan. "Lo juga gak ngerti maksud dari manly itu apa? Gila, lo itu cowo apa bukan, sih?!"

Gue mendengus. "Gimana bisa lo menyimpulkan hal tentang manly sih, Lis? Lo perempuan. Tau apa?"

"RAMA!" dan terlihat Bima yang berlari dari pintu karena pujaan hatinya berhasil menjambak rambut gue dengan barbarnya.

"Lis udah kek, astaga. Kamu getol banget urus mereka bertiga, sih." Omel Bima yang berhasil ngebuat Lista ngelepas tangan kecilnya—tapi sumpah, pedes jambakannya—dari rambut gue. "Aku kasian, Bim, liat Alika atau Fia! Mereka temenan! Dan gara-gara dia—Lista menunjuk gue dengan seramnya—mereka ngejauh!"

Gue berdiri dan merapikan rambut yang acak-acakannya gak nahan. "Lo temen yang baik, Lis. Tapi sumpah, gue bisa nyelesain masalah gue sendiri." dan tanpa mendengar ocehan lebih dari Lista, gue pun melangkah menuju parkiran. Kembali ke rutinitas gue, sejak seminggu lalu.

Ngeliatin Alika di jemput sahabatnya, Farhan.

Dari jauh, bisa gue lihat kalo bahunya masih bergetar. Gue yakin dia nangis, lagi. Dosa apa gue, ya Tuhan?

Dengan berani, gue berjalan cepat menghampiri Alika. Dan gara-gara Lista yang sok minta gue jadi manly, gue pun menyampirkan jaket gue di tubuh kecil dia. "Mendung, anginnya gak sehat."

Dia terdiam. Entah karena kaget atau was-was dengan kehadiran gue.

"Mulai besok biasain bawa jaket, kek. Sok kuat banget jadi cewe. Udah tau Farhan lama jemputnya." Jangan tanya kenapa gue tau nama sahabatnya. Dia pun menoleh perlahan.

"Kenapa, Al?" tanya gue yang berusaha manly. Keluar dari persembunyian gue, keluar dari topeng gue. Dia menatap gue tanya.

"Kenapa lo berhenti saat gue pun belum mulai?" tanya gue, lagi.

Dia mundur beberapa langkah. Kenapa dia jadi takut sama gue?

"Maksud lo apaan?" jawab dia yang sebenernya bukan jawaban. Gue menghela nafas dalam. Jujur, gue deg-degan. "Kenapa lo mundur duluan sebelum tau gue bakal maju atau engga? Lo pun belum tau kan, gue suka atau engga sama lo? Kenapa lo malah jauhin gue?"

Alika tertawa... lebih ke meledek. "Emang di hidup lo ada kata 'serius'? Biarpun gue baru kenal sama lo, hal itu transparan untuk dibaca, Ram. Fia yang deket sama lo dari dulu aja mundur, apa kabar gue?"

"Tau apa sih, lo tentang hidup gue, Al?"

Kayaknya gue salah ngomong. Karena setelah itu, Alika menggeleng kecewa dan menaruh jaket yang tadi gue sampirkan ke tubuhnya. "Nothing. Dan gak bakal mau tau apa-apa. Karakter lo susah gue tebak, Ram." Alika pun pergi menjauh. Ngebuat gue lari dan narik tangannya.

Drama abis.

Tapi gue sedih beneran.

"Gue suka lo, Al. Gak ketebak, kan?" Alika berhenti. Dia ngelepas tangan gue dan tersenyum.

"Sayangnya gue udah tau. Dari Fia, kemarin. Dan gue udah sama Farhan." Alika kembali tersenyum dan tangannya melambai ke motor yang gue kenal sebagai motor Farhan.

Mereka pergi.

Gue pun balik ke halte dan duduk disana. Dan berusaha mikirin apa kesalahan gue.

Dan akhirnya gue tahu.

Perasaan gak sesimpel itu.

***

Farhan menyetujui ide gilaku untuk melajukan motornya dengan kencang. Aku memeluknya erat sampai tak terdengar suara tangisku. Ku redam oleh jaket yang ia pakai. Hingga pada akhirnya, motor Farhan berhenti.

"Abisin nangisnya." Ucap Farhan tanpa merubah posisinya. Ia berhasil memarkir motornya di pinggir taman. Dan diam hingga aku turun dari motornya, kemudian duduk di bangku taman samping motor Farhan.

"Gue tadi bohong... ke Rama. Gue... bilang kalo... kita... jadian." Jelasku tanpa dapat menahan sesenggukanku. Farhan yang mendengar itu langsung melotot kaget. "Demi apa lu? Kenapa lo lakuin itu?"

"Menurut lo gue harus jawab apa? Jawab 'Iya, Rama aku juga suka kamu.' Gitu?" aku mendengus kesal.

"Terus respon dia apa?" tanya Farhan lagi tanpa merespon kekesalanku. Aku tertawa miris, "He did nothing. Setelah lo dateng, dia manggil gue juga enggak, kan?" jawabku yang berusaha menenangkan diri. Memang Rama tidak melakukan apa-apa, kan?

Farhan kemudian duduk tepat disebelahku. "Jadi?"

Aku menaikkan sebelah alisku, "Jadi apa?"

"Gimana perasaan lo sekarang?" aku tersenyum masam. Setelah melalui semua ini, Farhan masih bertanya? Poloskah atau bodohkah?

"I'm done. Gak ada yang bisa di jalanin lagi. Gue juga kayaknya out dari KF."

"Itu bukan jawaban, Al."

Aku pun tertawa. Tertawa hingga kembali menangis. Sakit hati, lagi. Apakah hati manusia memang diciptakan untuk disakiti?

"Rasanya sakit, An." Sakit itu tiba-tiba meluap tanpa permisi. Membuka seluruh luka yang bahkan sembuh pun tidak. "Dan saat tau sama-sama punya rasa, tapi kenyataannya gak bisa bersama. Sakitnya lebih berasa."

Farhan memelukku dari samping. Menenangkan hingga tangisku tak terdengar lagi.

***

(a/n)

HALUU!

jengjengg j dtg wkwkwk. padahal mau post sampe epilog... tapi ternyata masih harus revisi yhaa wkwk jadinya besokbesok deh janjii.

terimakasih yang masih nunggu cerita absurd ini:') /gaada yg nunggu jg wkwk/ akhirnya sudah sampai di penghujung cerita:') akhirnya juga j berhasil nyelesain suatu cerita WKWKWK. terimakasih buat yang selama ini udah mengapresiasikan cerita ini dgn votes:) j gangengemis votes kokk, paling ya kalo baca vote+comment jgn lupa wkwk gadir.

ditunggu apresiasinya! gutten nacht<3

salam bintang,

j.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top