8 Juni 2023: Romansa Purwarupa

Day 8:

Buat cerita dengan trope "she fell first, but he fell harder".

...

Vio menyukai Naren sejak pertama kali dia melihatnya di koridor sekolah. Tampan, tinggi, atletis, tipikal anak laki-laki yang akan digandrungi oleh para siswi. Namun, itu kalau disertai dengan sikap Naren yang sopan. Sayangnya, seperti kebanyakan badboy dalam karya fiksi, Naren tidak berbeda jauh. Anak lelaki itu tidak meminta maaf sama sekali saat dirinya tidak sengaja menabrak bahu Vio ketika berlari di tengah lorong, menghindari kejaran guru yang ingin menangkapnya diiringi dengan tawa bersama teman-temannya.

Vio hanya bisa menggerutu sambil mengusap pundak yang sakit. Sesekali membayangkan tawa renyah Naren yang masih terdengar sayup-sayup di kepalanya. Dia mungkin tampan, tapi dia tidak layak jadi pasangan, cerocos Vio dalam hati. Dengan masih perasaan dongkol, gadis itu kembali ke kelas tepat saat bel tanda istirahat selesai.

Sepanjang kelas, Vio tidak henti-hentinya memikirkan Naren. Akan tetapi, hal yang ada di otaknya malah yang jelek-jelek. Kok, bisa, sih, anak bandel seperti Naren masih ada di sekolah? Kok, bisa, sih, Naren banyak yang suka padahal kelakuannya seperti itu? Kok, bisa, sih ..... Dan masih banyak lagi "Kok, bisa, sih?" yang tidak terpikirkan oleh orang lain.

Jam istirahat kedua, Vio dipanggil ke ruang guru. Hatinya berdegup kencang karena seingat gadis itu, dia tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, tidak seperti Naren yang untuk menuliskan kenakalannya saja, dinding gedung sekolah pun sepertinya tidak bisa menampung.

"Permisi," ujar Vio saat memasuki ruang guru. Dia langsung ke meja salah satu guru yang memanggil dan mendapati Naren juga ada di sana. Matanya membulat sempurna, begitu juga Naren.

"Nah, bagus, dua-duanya sudah berkumpul," timpal guru pria yang memanggil Vio dan langsung menyuruh gadis itu untuk duduk, diiringi Naren yang menunduk setelah melihat kedatangan Vio.

"Ada apa, ya, Pak?" tanya Vio waswas.

"Bapak memanggil kalian karena ada sesuatu yang penting," mulainya. Hal itu membuat jantung Vio tambah berdegup kencang. Dia tidak mau dihukum bersama Naren atas kesalahan yang tidak pernah dibuatnya! "Jadi, kalian akan menjadi partner untuk Olimpiade Sains Nanti."

Jeger! Sudahkah dikatakan kalau Naren juga pintar? Semua orang ingin mendekati Naren, tidak terkecuali Vio—dengan catatan kalau Naren bisa mengubah sikap. Namun, kalau caranya seperti ini, para siswi yang iri akan membuatnya jadi target perundungan. Vio tidak mau itu terjadi.

"Apa Bapak tidak bisa cari calon yang lain? Pastinya ada yang lebih pintar dari saya," mohon Vio.

"Kalian itu memiliki nilai tertinggi, tidak ada calon lain yang pas selain kalian. Bersedia ya, kalian?" desak Pak Guru. Dirasa tidak ada jawaban, Pak Guru terpaksa sedikit memakai ancaman. "Nanti nilai kalian bisa di ujung tanduk."

"I ... iya, deh," jawab Vio, dan Naren hanya mengangguk saja.

"Sepulang sekolah nanti, kalian akan mulai sesi briefing untuk menentukan waktu latihan."

Setelah tidak ada lagi yang harus dibicarakan, mereka berdua dipersilakan untuk kembali ke kelas. Namun, sepanjang perjalanan, Vio tidak bisa tenang; salah tingkah, sampai dia hanya terdiam di dekat Naren.

Naren yang bingung dengan partner barunya itu membuka obrolan. "Kamu enggak suka ya setim dengan aku?" tanyanya sambil mengusap leher.

Vio menggeleng cepat. "Bukan! Bukan begitu, kok!" Suaranya tertahan di tenggorokan. Sebenarnya iya, sih! "Aku cuma, pertama kali dekat dengan cowok."

Naren mengangguk mengerti. Menarik. Anak lelaki itu baru pertama kali mengenal gadis seperti Vio. "Kamu penasaran gak, kenapa aku enggak tolak dan mau-maunya saja disuruh ikut OSN?"

Vio menggeleng.

Naren mendesah lemah. "Itu sekalian jadi hukuman," jawabnya.

Kening Vio mengerut. Pihak sekolah mana yang menjadikan OSN sebagai hukuman untuk murid nakal? Sepertinya dia baru mendengar hal itu. Kalau OSN jadi hukuman, harusnya dia juga merasa terbebani—tunggu, memang, sih. Akan tetapi, bukannya harusnya bangga ya, kalau ditunjuk jadi perwakilan? Ah, Vio pusing!

"Mohon kerja samanya, ya," kata Naren, lalu masuk ke kelas yang berbeda dengan Vio. Anak lelaki itu langsung bergabung dengan teman-temannya dan mendapati pukulan halus di pundak dan punggung.

Sejak saat itu, mereka menjadi dekat. Setiap hari Selasa dan Kamis akan ada latihan soal yang harus mereka kerjakan, sambil diawasi oleh guru. Kalau mereka mau, di luar hari itu pun tidak masalah. Pihak sekolah akan senang karena murid yang enggan akhirnya bersedia dengan sukarela.

Naren yang selalu jadi orang pertama yang mengajak Vio ke tempat latihan. Dia bahkan sengaja mengurangi jam main dengan teman-temannya hanya untuk belajar bersama dengan Vio.

Vio, di sisi lain merasa aneh. Tumben sekali Naren jadi seperti itu. Jadi rajin, tidak pernah membolos latihan sekali pun, perhatian. Pasti ada sesuatu tujuan yang terselubung. Vio yakin itu. Namun, selama perilaku Naren itu baik, Vio tidak mempermasalahkannya.

Vio baru sangat terheran ketika Naren menawari mentraktirnya makan di sela-sela istirahat mengerjakan soal, tanpa ada guru. "Mau baso atau seblak?" tanyanya sambil menopang dagu, mengabaikan kertas soal yang belum terisi sepenuhnya dan malah memperhatikan Vio yang sedang serius.

Pensil di jemari Vio berhenti mendengar pertanyaan Naren. Gadis itu mendongak dan mendapati senyum Naren yang dapat melelehkan siapa saja yang melihatnya, tak terkecuali Vio. Dia sampai harus berpaling dan berpura-pura penghapusnya jatuh.

"Ayo, Vi, mau apa?"

"Tumben tanya," timpal Vio malu-malu.

"Ya, enggak apa-apa. Hitung-hitung hadiah ultah. Aku kayaknya yang belum kasih kamu hadiah, deh."

Pipi Vio memanas. Naren adalah satu-satunya teman lelaki yang mengingat hari ulang tahunnya.

"Jadi, mau apa?" tanya Naren lagi.

"Terserah, deh." Ah, kata-kata sakti para wanita. Vio menyesal mengatakannya. Naren pasti kebingungan sekarang dengan jawaban Vio.

Namun, Naren malah tertawa renyah. Senyum simpulnya terpatri indah. "Kalau hatiku mau enggak?"

Psss .... Otak Vio berhenti. Dia baru saja ditembak di tengah latihan OSN. Apa kata dunia? Dia harus bilang apa? Dia memang menyukai Naren, tapi kenapa situasinya seolah tidak tepat. Namun, kalau dia tolak, timnya tidak akan sama lagi. Narena bisa saja merajuk dan tidak mau lagi melihat Vio. Tapi, jadi pacar seorang bintang sekolah juga tidak buruk. Naren pasti akan melindunginya dari berbagai perundungan yang datang.

"Jadi, bagaimana, Vi? Mau baso, seblak, atau aku?"

"A ... aku ... aku mau seblak Naren!" jawab Vio. Dia buru-buru menutup mulut saat mengatakan jawaban yang terdengar konyol.

Naren berusaha menahan tawa, tetapi perkataan Vio terlalu lucu untuk dibiarkan. Suara gelaknya tidak dapat Naren tahan. Vio yang merasa konyol ikut tertawa untuk menutupi rasa malu.

"Jadi, mulai hari ini kita pacaran, ya?" yakin Naren sambil mengacungkan jari kelingking.

Vio menautkan kelingkingnya pada Naren. Hangat jari anak lelaki seolah menjalar ke seluruh tubuh.

"Sejak kapan, Ren?" tanya Vio sambil terus menatap wajah Naren.

"Sejak kita disuruh setim," jawab lelaki itu.


Lalu mereka pun bercium—

"Oi, oi mana ada!" Aku menghentikan narasi yang mengarah pada kemesuman itu. "Mereka masih SMA! Mana ada cium-ciuman! Harus menikah dulu!"

"Soalnya cerita romansamu membosankan. Tidak masuk akal, kurang konfliknya!" protes Author.

"Aku kan sudah bilang kalau aku tidak bisa membuat roman percintaan! Kenapa memaksaku? Lagi pula ini baru purwarupa!"

"Ah, sudahlah. Kau harus riset lebih banyak lagi. Sekarang singkirkan. Nanti lagi buat romansanya."

Aahhh! Kenapa pula sih aku menulis romansa pada awalnya?!

=QwQ=

Catatan Dewi Lokakarya:

Abaikan Author. Aku yakin cerita ini sudah masuk romansanya, kan? Ayolah, beri tahu aku kalau itu sudah manis, ya? Ya? Ya? 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top