Komeng-komengan. Pernah?

Hai...

Catatan ini aku buat bukan buat menyudutkan pihak-pihak komentator. Sama sekali bukan. Ini hanya sebuah catatan kecil karena akhir-akhir ini aku ingin curcol. Aku curcol di author's note juga gak bakalan dibaca. Jadi aku coba bikin, lah di sini lagi! Mengingat ini lapak bebas alay dan nyinyir.

Bingung sama judul?

Well, aku mau bahas soal komeng2an. Komeng yang ini bukan artis. Komeng yg ini adalah kegiatan. *komen itu, woy!
Aku kan emang suka typo! Wkwkwkwkw...

Jadi, aku mau curcol soal komen2, sekaligus komentatornya. Gapapa, ya... ini sekaligus apresiasi buat kalian.. :)
Jadi, suatu hari aku pernah bikin statemen :
Kalo mau jd juri nyanyi, cb nyanyi dulu! Kalo mau kritik penulis, cb nulis dulu!

Lalu ada yg menanggapi :
Aku gak perlu bisa masak buat nilai masakan itu enak/nggak.

Oke, mari duduk! Aku siapkan kopi!

Aku sendirian di dunia jeruk ini. Maksudnya, aku gak punya geng, komunitas, atau apalah kalian menyebutnya. Aku juga jarang komentar, kecuali emang disuruh dan juga kenal baik sama orang itu. Alasan?
Karena aku takut dicuekin... *hahahhahaa

Lalu gimana dg statemen orang itu?
Well, mari kita melihat diri kita sendiri. Kita ditakdirkan punya satu mulut, dengan dua bibir yang selalu membuka dan menutup tiap kali bicara. Kita punya pemikiran masing2, dan bahkan tiap kata dari dua orang yg dididik dr keluarga yg sama pun akan menghasilkan sesuatu yg berbeda. Kok bisa?
Pola pikir. Selera.

Ketika dia mengatakan orang gak perlu pintar masak buat tahu masakan itu enak/nggak, maka dia sudah masuk dalam lingkup yg dinamakan subjektifitas. Artinya, itu berasal dari pribadinya alias pelakunya.
Dia mengatakan makanan A enak, tapi adiknya bilang makanan A gak enak.
Yang salah yg masak?
Oh, belum tentu!

Setiap manusia punya kapasitas sendiri untuk menginterpretasi hal2 yg terjadi padanya. Seorang koki yg udh masak susah2, namun kakak bilang makanannya gak enak lalu mencela masakan itu... cb pikir bagaimana perasaannya?
Sedangkan adiknya bilang makanan itu enak2 saja. Kenapa? Karena sesuai dengan seleranya.
Lalu kita ambil yg netral. Sang ibu misalnya yg bilang, "Masakannya sudah lumayan enak, kok! Hanya saja terlalu asin. Cb kurangi garamnya sedikit dan tambah jeruk nipis biar makin terasa."

Tahu beda ketiga orang ini?

Ya, aku mengandaikan bahwa koki ini adalah si penulis. Masakan adalah tulisannya, sedangkan si kakak, adik, dan ibu itu adalah komentator. Kakak berkomentar dg dasar selera dia, subjektifitas dia. Dia tidak suka dg masakan si koki mungkin karena dia tidak suka masakan asin. Sedangkan adiknya yang suka asin juga sama. Dia juga mengatakan unsur subjektifitasnya karena dia terlalu suka dg yg asin2. Nah, kalau si ibu? Ibu mencoba netral. Inilah yg dinamakan objektif. Dia menilai dr karya, bukan dari selera.

Sama soal selera dalam membaca. Tipe A suka baca genre mehrong2 sedih melankolis dramatis apatis. Tipe B suka yg alay, yg seringan bulu ketek dan gak suka sama yg sedih2. Tapi kalau A ini yg seleranya di kisah sedih tiba2 menghujat kisah alay, wajar nggak? Wajar! Tapi kurang ajar! Udah tahu alergi udang, malah makan rempeyek udang! Itu dudul atau suntul? Si B juga sama. Kecuali, kalo mereka mau aja nerima hal di luar seleranya maka semua sah2 saja.

Jleb, bukan?

Salah seorang teman *sebut saja mawar* menulis sebuah cerita. Sepiring kisah dengan bumbu komedi dan ketulusan di atasnya. Banyak komentator cerdas yg mengomentari kisah itu. Karena karakter alay. Tidak realistis. Hiperbolis. Imajinatif. Apa terserah, lah! Lalu ada yg komentar kalau itu baik2 saja. Tidak masalah dengan karakter yg seperti itu asal diksi, alur dan yg lainnya menarik.
Lalu?

Cb duduk dan buka pikiran kita.

Kita dalam dunia fiksi.

Sungguh, apa saja bisa terjadi di sini. Apa saja. Lantas karena karakter dan respon tokoh dalam kisah fiksi itu tidak mainstream seperti respon manusia pada umumnya maka SALAH?

Mungkin orang2 yg seperti itu kurang piknik!

Aku nggak mau menggurui, sungguh! Tapi, sebagai seseorang yg mengagumi karya fiksi (nggak nyata, woy!) Maka kalian harus membuka pikiran kalian. Kalau memang tidak sesuai dg nalar dan "logika" kalian, sebaiknya hindari saja. Ingat, komentar yang menyakitkan kadang tidak masalah diucapkan oleh komentator. Namun bagaimana dg penulis? Apa kalian bs menjamin dia masih bisa sanggup lanjut dg rasa sakit itu?

"Kamu ya harus belajar, biar kuat! Dikomen pedes itu biar semangatnya terpacu!"

Well, tolong bandingkan komentar si kakak dan si ibu di atas. Sudah paham mana bedanya? Mana kasta tertinggi utk seorang komentator? Komentator yg cerdas tidak akan pernah memasukkan unsur kasar yg berniat menjatuhkan.

Makanya, aku bilang : mau kritik penulis? Nulis dulu, yuk!

Tahu alasannya sekarang?
agar mereka yg sudah menganggap dirinya sebagai penikmat sekaligus komentator cerdas itu bisa mengerti bagaimana jadi penulis yg disakiti. Bukan hanya hati penulisnya, tapi jg karyanya. Efeknya adalah pada alur yang akhirnya akan berubah, atau bahkan penulisnya ogah.

Lalu mau salahkan siapa?

INSTROSPEKSI

Jawabannya hanya satu.

Aku sudah sering dijungkirbalikkan oleh komentator. Mulai yg kritik soal karakter, alur, semuanya. Diam2 aku berdoa untuk mereka. Semoga apa yg mereka katakan tidak terjadi pada diri mereka sendiri. Doa yg baik, bukan?

Tidak ada yg tidak mungkin dalam fiksi. Aku ingin bikin seorang uke kaya punya peliharaan seme banyak. Aneh? Tapi dalam fiksi bisa terjadi. Atau aku mau bikin anjing berubah jadi manusia dan bercinta sama tuannya. Aneh? Kalau kalian melihat dari kacamata manusia mainstream, maka kalian akan menghujatku karena itu.

Tapi semua bisa saja terjadi. Ide adalah sebuah kreatifitas tanpa batas. Sekalian curcol saja. Seandainya aku bikin istilah absurd seperti ambigay, plopecianal, sosialikus, dan istilah lain... lalu kalian menyeret-nyeret wikipedia soal istilah yg bener... maka mungkin aku perlu ngajarin kalian buat kayang. Kalian akan lebih ngeri kalau tahu isi otakku. *kayang sampe encok

Manusia tidak perlu jadi koki buat tau makanan itu enak atau nggak, pun sama dengan komentator gak perlu jadi penulis buat tahu tulisan itu bagus atau nggak... tapi....

Pernah coba masak? Pernah coba menulis?
Hal yg dihina karena tidak memuaskan nafsu dalam segi subjektifitas pun bahkan sulit untuk dilakukan sendiri.

Karena itu aku lebih suka aliran surealisme. Karena aku lebih suka menjelaskan soal ketidaktahuan dan ketidakpahaman pada pembaca daripada harus menjelaskan kesok-tahuan dan kesalahpahaman pembaca. Bahkan ketidaknyataan bukan hal yg dilarang dalam berfiksi.

Semoga kritikus yg selalu menyeret teori cerita soal : manusia harus seperti ini, lalu kalau dalam kondisi begini manusia harus begini, dll
Akan segera musnah dari muka bumi.
Bahkan kembar identik aja belum tentu punya pemikiran yg sama. Setiap manusia punya pemikiran dan caranya sendiri untuk hidup.
Dan kalau mereka2 menganggap apa yg sudah kami tulis tidak masuk akal, maka aku harus reparasi otak biar pemikiran kita sama.
Kaku.

No, itu serem gila! Kagak, ih! Aku biarkan kalian sibuk dengan komen2 pedes soal ketidakmasuk akalan ceritaku, tapi... kalian juga nggak boleh marah kalau aku nggak mendengarkan kalian. Pemikiran kita jelas beda, kan?
Aku suka makan semangka pake garam, kalian anggap aneh?
Lalu?
Enak, kok!
*ini masalah selera!*

Semoga ini jadi awal yg baik untuk kita, bahwa untuk mengomentari sesuatu itu tidak dibutuhkan istilah lalu teori yang panjang kali lebar yg pada akhirnya ngelantur kemana-mana. Kunci jadi komentator adalah pada si ibu. Karena kriTIKUS tidak selalu menyenangkan untuk dipelihara.

Terima kasih dan maaf kalau menyinggung. Ini saya dedikasikan buat teman saya yang terlanjur masokis, karena karyanya yg fiksi itu disamakan dengan respon mainstream. Mungkin manusia harus kompakan menurut komentator cerdas itu. Lalalalala...
*mawar yg sabar*

Pesan ini dipersembahkan oleh : Bengi2ndangTuru

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top