Aku Harus Apa?

"Kalau dulu aku nggak pernah dihujat, mungkin aku nggak akan sampai di titik ini..."

Alhamdulillah, Mbak Gaachan udah mulai instrospeksi dan berpikir positif. Dulu masih awam, nggak tahu bedanya hujatan dan kritikan pedas. Pokoknya yang kejam2 itu namanya kritikan. Zaman dulu aku polos banget, ya? Ya ampun... polosnya dirikyyuuuu~~~

*tobat, woy!*

Hingga akhirnya aku mendapat sebuah pencerahan. Ada mbak-mbak jurusan Sastra Indonesia yang ngajakin aku kenalan. Mereka bahas soal Kritik Sastra dan koloni-koloninya. Awalnya aku mikir, kritik sastra ini pasti kejam. Ibaratnya, menelanjangi karya yang sudah ada. Dicari kesalahannya, dikoreksi typo-nya, dikulik kenistaannya. Sebatas itu. Namun, ternyata aku salah...

Iya, kan aku polos! Jangan nyalahin orang polos, ah!

Ternyata kritik itu nggak semudah bernapas. Padahal kadang napas aja susah kalo lagi dijepit pas ambil antrean. :v

Kritik itu juga masuk dalam apresiasi. Menghargai. Kalau kritik dianalogikan sebagai vitamin, maka hujatan adalah upil. Sama-sama bisa ditelan (?), tapi beda kandungan. YA KALI KALIAN MAU MAKAN UPIL?!

Aku diajari kalau kritik sastra itu maknanya dalem. Hingga ke nilai-nilai yang dikandung dalam sastra. Aku terharu denger penjelasan mbak kosku waktu itu. Dan sekarang, aku ada di sini...

Aku mengerti beda kedua benda itu. Aku coba mengaplikasikannya di salah satu grup nulis-nulis. Aku coba mengkritik, meski tulisanku jauh dari sempurna. Ternyata, kritik itu lebih susah daripada menghujat! Kalian harus mau baca genre yanh bahkan bukan selera kalian secara objektif. Nilailah isinya, bukan genrenya. Genre adalah komponen yang nggak bisa disalahkan karena itu hak penulis. Mengkritisi sesuatu secara objektif itu susah. Dasarnya? Ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuanku cetek, euy! Aku sering encok kalau baca tulisan di HP lama. Aku ragu, apa aku bisa mengkritisi sebuah karya? Dan gokilnya, AKU COBA!

Awal-awal aku melihat karya itu sebagai seorang penulis. Aku membayangkan apa yang udah ditulis. Lalu, aku berubah jadi tokohnya. Aku membayangkan casting di cerita itu. Hingga aku baper. Susah banget ya hidup di cerita itu. Tapi menyenangkan, karena kita tahu akhirnya.

Aku yang gagap ini mencoba membaca. Mempelajari. Tanda baca yang dulu kuabaikan, sekarang kubahas ulang. Oh, Tuhan! Inikah karma?

Aku merangkak dari mbak-mbak doyan humu jadi mbak-mbak suka nulis cerita humu. Sekali lagi, kalau nggak dihujat... aku nggak akan jadi seperti ini. Mungkin kalau kalian kritik dengan baik dulu, aku hanya akan berakhir pada titik nyaman. Dimana orang kalau dipukul akan kesakitan dan menangis. Atau orang yang dibunuh akan gentayangan. Tapi karena hujatan, aku nggak bisa berpikiran normal. Terima kasih, kalian sudah menciptakan aku yang kadar warasnya sekilo kurang satu ons ini!

Aku yang kurang bisa mengkritik karena sadar diri ini pun sadar dengan sesadar-sadarnya. Mengkritik itu SUSAH! Kalau hanya asal komentar, "Tanda bacanya diperhatikan lagi, ya! Trus jangan sering-sering pake akhiran -nya! Tokohnya juga jangan yang aneh, yang biasa aja! Dipukul? Ya nangis, gak usah pake dendam segala!"

*kayang sampe encok*

Semoga pantat ini tetap selamat dan gak sakit.

Pffttt...

Yang seperti itu namanya bukan kritikan. Serius! Kalian akan berakhir pada kebaperan. Kalau misalnya dia bilang lagi, "Kok manja, sih? Cari salahnya sendiri!"

Pertanyaannya, emangnya yakin dia tahu yang benar seperti apa? Jangan-jangan cuma pengen usil doang, nih tangannya! Waiksss...

Sudah, sudah... Intinya, mengkritik dan mendengarkan kritik itu sama-sama susah. Pengkritik yang objektif akan merasa kesusahan kalau bacaannya tidak sesuai selera. Yang dikritik pun akan baper kalau idenya dibunuh secara verbal. Jadi? Mulai dari nol, ya Pak?

Hakikat mengkritik salah satunya adalah berbagi. *kata mbak kos*. Kamu lihat jembatan rusak? Kritik boleh. Tapi, tunjukkan kritikanmu itu ada dasarnya. Kalau misalnya cuma koar-koar saja, mulut kan emang gampang buka tutup. Nggak ada kancingnya, sih! Jadi, kalau mau kritik jembatan, sekalian buka donasi. Jadi kritikanmu itu berguna buat orang lain dan kemaslahatan bersama. Percuma capek-capek berkoar tapi hasilnya kosong. Gitu kata mbak kosku! :*

Bahasan kritikan dan hujatan ini nggak akan ada selesainya. Coba, deh tanya pada hati nurani kalian, hai manusia yang katanya pintar kritik!

Apa tujuan kalian mengkritisi sebuah karya? Apa tujuan kalian mengoreksi karya-karya yang ada? Untuk membuatnya lebih baik, ataukah kalian hanya iri? Duh, aku sempat lihat kriTIKUS yang seperti ini. Sudah kenyang aku, Nak!

Kadang mereka hanya iri.

*elus-elus*

Atau karena emang dunia oren ini nggak adil. :v

Tulisan badai terabaikan, tulisan kentut terkenal. Untung tulisan kentutku gak terkenal... *kayang*

Mungkin kalian harus kritik ke penerbitnya kalau gitu... :v huahahahaa... *cari aman*

Aku? Aku mah sadar diri. Aku merendah? Aku emang rendah! Semeter setengah lebih tiga ce-em... :'(

Aku sombong? Salah lagi, kan?

Aku menjelekkan karyaku sendiri sering. Bilang : "Karyaku masih jauh dari sempurna. Tolong beri kritikan yang bener-bener kritikan! Aku nggak terima kirikan. Aku juga nggak suka hujatan!"

Intinya seperti itu. Tapi? Tapi?

Aku salah. Nggak boleh, ya menjelekkan karya sendiri dan minder, lalu dipublish gitu?

Padahal aku bisa aja jadi anggota "Jalang comunity berani mati". Lalu nyombong ke medsos, bilang : "Lihat, nih! Karya gue bagus! Dibaca, ya! Pujiannya jangan lupa!"

Yang seperti itu juga salah, Nyul!!

Udah, ah! Nggak usah bacot panjang lebar! Kamu ini tetep aja kaum nyinyir aliran absurd terdampar di sungai upil. Karena kamu merendah artinya hina! Meninggi, artinya sombong!

Sana jadi setengah-setengah aja!!

Sudahlah...

"Karena hanya pohon berbuah manislah yang akan dilempari batu..."

Tapi kan bisa dipanjat? Kok malah dilempar? Nanti kena kepala benjol gimana?

Mbuh, lah Nyul! Karepmu!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top