Bagian Tiga Belas

"Simpen kandangnya di halaman belakang," suruh Pimtha pada Chimmy juga Cooky. Sedangkan lima buntut lainnya hanya melangkah mengikuti kedua temannya yang tengah menenteng dua kandang hewan peliharaan mereka.


Iya, Chimmy dan Cooky baru beli hewan peliharaan yang mereka minta waktu itu.

Chimmy beli anjing. Cooky beli kelinci.

Sedangkan Pimtha di dalam kamar tengah terduduk di atas meja rias dengan tatapan yang kosong.

Di kepala cantiknya, ia tengah memikirkan kejadian yang baru saja berlalu sekitar satu jam yang lalu.











"Aku mau yang ini saja," ucap Cooky sembari memberikan satu ekor kelinci pada Pimtha yang sedaritadi hanya menunggu di kursi dekat kasir. 

Pimtha pun mengangguk, namun saat ia akan melangkah menuju kasir dengan satu ekor kelinci plus kandangnya. Ia mengernyit saat Cooky melangkah dengan arah yang berlawanan dengannya. Terlebih, lelaki tersebut melangkah dengan terburu buru.

"Sebentar ya, Mas," Pimtha menyimpan kelinci beserta kandangnya di meja kasir. Ia pun mengejar lelaki berotot tersebut yang sudah melangkah keluar pet shop.

Langkah Pimtha terhenti saat melihat Cooky dengan Chimmy yang entah bagaimana ceritanya sudah berada di luar, padahal seingatnya, Chimmy tengah sibuk memilih anak anjing di dalam.

Tepat saat Pimtha akan menghampiri Cooky dan Chimmy yang tengah berbicara dengan seseorang yang menggunakan pakaian serba hitam, kakinya terhenti di udara begitu saja saat mendegar satu nama yang ia dengar. 





"Mengapa kau pergi, Van?" 






Dengan cepat, Pimtha memutar kembali arah langkahnya. Jika sebelumnya Pimtha melangkah tergesa karena mengejar Cooky, kini Pimtha kembali melangkah dengan tergesa karena ia tak ingin mengetahui pembicaraan mereka. 

Lebih tepatnya, menolak untuk mengetahui.









"Je, udah makan?" tanya Pimtha saat ia baru saja menyelesaikan cucian seprai kotor dari beberapa kamar.

Jessica menggeleng, "kan Mbak belum masak, jadi gue belum makan lah." 

Pimtha mendelik, "pemalesan lo," cibir Pimtha, ia pun melangkah menuju dapur. Dimana Jessica tengah bekerja.

"Sodara lo pada kemana, Mbak?" 

Pimtha menoleh ke arah halaman belakang, "di belakang ga ada emang?" tanya Pimtha balik.

Jessica lagi lagi menggelengkan kepalanya, "ga ada. Dari sore kalau ga salah udah pada bubar dari belakang," 

"Di kamar?" 

Lagi lagi, Jessica menggelengkan kepalanya. "Ga ada, kan tadi gue yang beresin kamar kamar. Di kamar mereka, kosong."

Dalam beberapa detik, Pimtha terdiam saat menyadari ke tujuh tamunya hilang. Namun, dengan cepat ia menyadari sesuatu.


Mungkin udah pulang kampung.


Dalam hati, Pimtha meyakinkan diri jika kapanpun ke tujuh sosok tersebut bisa pergi meninggalkannya. Dengan ataupun tanpa berpamitan.

Mungkin ini saatnya mereka kembali, setelah berhasil menemukan apa yang sempat hilang.

Lagi lagi, Pimtha meyakinkan diri sendiri jika hatinya tak merasakan sakit sedikitpun saat ini.

Tak merasakan hampa saat tak ada mereka yang biasanya merecoki dirinya saat tengah di dapur seperti sekarang ini.

Yakin. 

Pimtha yakin bahwa dirinya baik baik saja



"Sini, Mbak, biar gue aja yang iris bawangnya. Lo sampe nangis gitu," ucap Jessica sembari menahan tangan Pimtha yang tengah mengiris bawang.

Pimtha menoleh, lalu dengan cepat ia meraba pipinya yang ternyata sudah terdapat beberapa jejak air mata.

Pimtha memberikan pisau pada Jessica untuk melanjutkan kegiatan mengiris bawangnya.

Ia pun terkekeh, ternyata dirinya tidak baik baik saja. Sekeras apapun ia menyangkal rasa sakit kehilangan, sesakit apapun kisah masa lalunya. Tidak membuat ia kebal dengan rasa sakit karena kehilangan.

Tapi mungkin Jessica benar, ia menangis karena bawang yang ia iris. Bukan karena ke tujuh tamunya menghilang begitu saja.









"Makan yang rapih dong, Jess, astaga," geram Pimtha saat melihat cara makan teman slash karyawan slash adiknya tersebut masih belum berubah.

Geragas. Berantakan.

"Pantes lo jomblo seumur hidup, makan aja udah kaya kuli bangunan." 

Dengan cepat Jessica menelan makanannya, "halah. Lo aja yang bisa masak, punya usaha sendiri, masih jomblo karatan juga," balas Jessica, yang merasa memiliki kekuatan setelah menelan makanannya.

"Lo anak bawang ga bakal ngerti, ya, kenapa gue ngejomblo sampe sekarang." bantah Pimtha.

"Coba sebutin alasannya apa? Gue sebagai anak bawang mau tahu," balas Jessica sembari kembali menyuapkan makannya ke dalam mulutnya.

Pimtha menyimpan alat makannya, lalu menopang dagu. Bersiap memberikan jawaban pada si anak bawang tersebut.

"Diri gue tuh, terlalu berharga buat dimiliki seseorang." 

Jessica tersedak makanan yang tengah ia kunyah, dengan susah payah ia meloloskan makanan yang tersangkut.

"Coba kalau ngomong tuh dipikirin dulu, Mbak!" omel Jessica.

Pimtha mendelik, "ya emang diri gue berharga ko! Lebih dari apapun," balasnya, "gue ga mau, ya, orang lain dengan mudahnya nyakitin dan rusak diri gue." lanjutnya.

"Tapi kan, Mbak, dimana mana kalau pasangan tuh, saling sayang."

"Halah, lagu lama," cibir Pimtha. "Hidup tuh, seimbang Jess. Ada bahagia, ada sedih. Ada senang, ada susah. Ditambah, bentuk kasih sayang setiap orang kan beda."

Jessica yang memang hanya anak bawang, mengernyit bingung. "Gimana maksudnya? Coba jelasin, ini otak gue bentar lagi nyampe kayanya sama pembahasan kita."

Pimtha terkekeh, baru sadar kalau yang dia ajak ngobrok itu bocah enam belas tahun yang baru aja naik kelas jadi murid kelas dua SMA.

"Intinya, manusia tuh ga selalu sama. Isi kepala manusia juga beda beda, kan."

Jessica hanya menganggukan kepalanya.

"Udah lah, lo makan aja yang banyak," ucap Pimtha mengakhiri obrolannya, "abisin tuh lauknya, otak lo butuh banyak makanan yang bergizi biar berkembang."

Jessica mencebik, lalu kembali melanjutkan makannya yang sempat terjeda beberapa menit.







"Ini buat, Mbakku tersayang," Alex memberikan satu paperbag pada Pimtha. Yang jelas saja langsung Pimtha terima dan ia keluarkan isinya.

Melihat isi dari paperbag tersebut adalah sebuah dekorasi, Pimtha langsung saja memeluk Alex.

"Makasih, lho. Lo tahu aja gue lagi hobi nyari dekorasi lucu lucu kaya gini." ucap Pimtha, lalu melepaskan pelukannya.

"Gimana bisa ga tahu, ruangan ini aja penuh sama dekorasi unyu lo, Mbak." 

Pimtha tersenyum lebar, lalu melangkahkan kakinya menuju kamarnya untuk menyimpan pajangan yang di berikan oleh Alex.


"Mbak! Di depan ada temen gue, mau nginep semalem disini." 

Pimtha kembali ke ruangan karyawan yang hanya terhalang oleh dinding bercat biru tersebut.

"Tumben bawa temen," ucap Pimtha pada Alex yang tengah merapihkan isi ranselnya di tempat yang memang dikhususkan untuknya. "Ga balik dulu, lo?" 

"Kagak, lah!" tegasnya, "gue kan cuma libur sehari, jadi gue langsung kesini. Itu juga kenapa gue bawa temen, kasian kalau dia langsung balik. Jauh rumahnya," lanjutnya.

Pimtha hanya menganggukan kepalanya, "yaudah, suruh tidur di kamar pojok aja."

Kamar pojok itu kamar yang berhadapan langsung dengan kamar yang ditempati warga BT21. Kamar tersebut di khususkan untuk Jessica dan Alex.


JANGAN MIKIR YANG MACEM MACEM!! 


Jessica dan Alex sering tidur di hostel waktu mereka malas pulang. Terlebih, Alex yang sering jaga malam, paginya dia pasti tidur di kamar itu.



Jadi, pikiran kotornya, mohon dibersihkan ya para penghuni Bumi… 



"Lo yang anter lah, Mbak. Gue mau mandi dulu." 

Udah pernah bilang, kan, kalau dua karyawan hostel itu tipikal manusia ga tahu diri? Iya, ini salah satu contohnya.

"Masih gue maklumin, Lex. Belum aja elu gue pecat nanti," omel Pimtha sebelum keluar dari ruangan tersebut dan menghampiri teman Alex yang katanya ada di sofa ruang tunggu.



Tepat saat Pimtha sudah sampai di area depan Hostel, Pimtha ingat sesuatu.

"Gue kan ga tahu namanya," gumam gadis bersurai hitam tersebut. Ia pun berniat untuk kembali memutar arah langkahnya, jika saja tak mendengar seseorang menyerukan namanya dengan lembut.

Pimtha menoleh, lalu terpanah dengan pemandangan yang ada di hadapannya.

Semoga bukan warga BT21 lagi. Semoga bukan alien lagi, ya Tuhan. Rapal Pimtha dalam hati



"Pimtha?" 

Sang empu nama mengerjap, lalu tersenyum manis. "Temennya, Alex?" 

Lelaki tersebut mengangguk, tak lupa dengan senyumammya yang berhasil melahirkan sepasang dimple di pipinya.

Melihat dimple tersebut, membuat Pimtha kembali mengingat lelaki jangkung berdimple yang hobi tidur di sofa.

SADAR PIMTHA! DI DEPAN LO INI DIMPLENYA LEBIH DALEM! KOYA MAH APA, CUMA SERBUK BUMBU MI INSTAN DOANG! 


"Jaehyun," lelaki berdimple tersebut mengulurkan tangannya. Yang tentu saja dibalas oleh Pimtha, "Pimtha."

Merasa canggung, Jaehyun pun melepas genggaman tangannya. "Sorry kalau lo pikir gue ga sopan, tapi kata Alex, kita seumuran. Jadi tadi gue panggil nama lo doang."

Pimtha mengangguk anggukan kepalanya, "oh, iya gapapa ko, Jae. Alex aja sering ga sopan sama gue," jawabnya dengan diakhiri kekehan.

"Ayo, kita ke kamar," ucap Pimtha. Namun, sedetik kemudian ia sadar dengan apa yang diucapkannya, ia pun mengibas ngibaskan kedua lengannya ke arah Jaehyun.

"Bukan.. Bukan.. Maksud gue, gue anter ke kamar yang mau lo pake," jelasnya dengan terbata bata. Sedangkan Jaehyun sendiri sudah terkekeh melihat tingkah Pimtha yang menurutnya lucu.

"Santai aja, Tha," ujar Jaehyun, lalu ia mulai meraih tas ransel beserta satu paperbagnya. Melihat Jaehyun yang sudah siap, Pimtha pun mulai melangkah dengan kepala yang menunduk.

Masih malu soalnya… 























"Ini kamarnya, maaf kalau sempit." ucap Pimtha, mempersilahkan Jaehyun untuk masuk ke kamar bercat hijau dengan corak abstrak lainnya.

Iya. Jessica dan Alex yang mengecat kamar tersebut, Jessica yang kekeuh mau kamar bercat hijau pun harus pasrah saat Alex menyipratkan asal warna cat lainnya ke dinding.

Membuat warna hijaunya jadi tertimpa bercak cat berwarna hitam, biru, putih, bahkan sampai warna pink pun ada.

"Ranjangnya cuma satu?" 

Pimtha ikut masuk ke dalam kamar dengan pintu yang jelas terbuka lebar. Gadis tersebut mengangguk, membenarkan apa yang dilihat oleh lelaki tersebut.

"Ini kamarnya Alex, sama Jessica. Jadi, ya, ranjangnya cuma satu." jelas Pimtha, memberitahu mengapa kamar tersebut hanya memiliki satu ranjang berukuran king size. Sama seperti yang ada di kamarnya.

Jaehyun mengangguk mengerti, ia menyimpan ranselnya di atas kursi. Lalu paperbag yang ia bawa sedaritadi, ia berikan pada Pimtha yang tengah menatap lurus pada jendela yang menghadap langsung ke arah jalanan.

"Buat lo." 

Pimtha mengerjap, lalu menatap paperbag yang diangsurkan oleh Jaehyun. "Buat gue?" 

Jaehyun mengangguk, "hadiah," ucapnya. "Karena udah jagain Cooky dengan baik selama di Bumi."








A/n : MAS JAHE, INGAT.. INI LAPAK WARGA BT21.. 

JANGAN SABOTASE TERLALU LAMA YA, SAYANGKU 💜


Jadi, ya gitu.. 

Sekalinya muncul, wordnya panjang, ceritanya makin ga jelas. HeHeHeHeHe… 


Jangan lupa vommentnya, Para Penghuni Bumiku sayang 💜💜






Ini foto warga BT21 yang hilang, barang kali liat di pinggir jalan atau ditempat tempat yang tak terduga.

Mohon kabarin polisi setempat, soalnya Mbak Pim udah nyerah aja ngurus mereka.


2020 - 06 - 03

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top