Special Chapter (Ranpo's birthday) - Mystery Novel


Edogawa Ranpo—pasti punya alasan tersendiri menggunakan nama tersebut sebagai nama penanya. Salah seorang penulis novel yang berkecimpung di genre misteri-detektif. Semasa hidupnya pernah menjabat sebagai ketua Perkumpulan Penulis Misteri Jepang yang pertama. Paling tidak suka disorot dan menjadi sangat berambisi apabila menemukan suatu kasus yang terjadi disekitarnya.

Tempat dan teman nongkrongnya pun bervariasi. Namun sebagian besar, ia sering terlihat bersama penulis dengan dua kepribadian bernama Nakajima Atsushi.

Hari itu tanggal 21 Oktober. Atsushi yang berkepribadian malu tiba-tiba menyarankan Ranpo untuk mengunjungi buku yang beberapa minggu ini telah dibuka sebagai tempat rekreasi. Buku tersebut memang dikhususkan untuk para sastrawan agar tidak terlalu stres karena terkurung di perpustakaan.

Rata-rata yang sering masuk ke buku itu adalah anggota Shirakabaha (dengan alasan ingin bersepeda), Buraiha (karena mereka kebetulan punya kenalan yang selalu mentraktir mereka), serta Shinshichō (alasannya sih karena Akutagawa sering kabur ke buku itu untuk menghindari mandi).
Karena sedang tidak ada kerjaan dan sepertinya Atsushi sedang dibutuhkan untuk pemurnian buku, Ranpo akhirnya memutuskan untuk pergi ke buku tersebut.

Tempat buku itu berada di ruangan yang sama dengan tempat pemurnian buku dilakukan. Jadi ia memutuskan untuk pergi bersama-sama dengan Atsushi ke sana. Dan selama perjalanan menuju ruangan tersebut, mereka banyak mengobrol tentang topik yang berhubungan dengan makanan (?).

Sesampainya disana, ternyata Ranpo menemukan anggota Buraiha yang sudah stand by. Terlihat bersiap untuk masuk ke dalam buku itu lagi. KetikA Ranpo mendekati mereka, kedatangannya langsung saja disambut dengan baik oleh orang-orang yang dijuluki para bajingan.

“Ah, Ranpo. Pertama kalinya masuk ke buku ya?” Ango yang cukup dekat dengan Ranpo menyapanya lebih dulu dengan ramah. Sedangkan yang disapa hanya mengangguk mengiyakan. “Itu benar sekali.”

“Mau ikut barengan?” tanya Dazai menawarkan yang langsung ditolak Ranpo dengan percaya diri. Alasannya adalah karena ia mendengar bahwa tempat dibuku itu berlatarkan Yokohama, jadi selama tempat itu masih berada di Jepang, Ranpo tidak masalah untuk berjalan sendiri.

Awalnya Dan ingin memberitahu bahwa di dalam buku itu, berjalan sendirian akan sangat berbahaya apalagi keberadaan port mafia di buku tersebut cukup meresahkan. Namun, Ango langsung membekap mulutnya.

“Justru jika sampai Ranpo mendengarnya, ia akan semakin semangat menerjang masalah yang seperti itu,” bisik Ango menjelaskan.
Akhirnya mereka pun masuk ke dalam buku tersebut sesaat sebuah cahaya terang menyoroti ke limanya.

Visualisasi sebuah kota pelabuhan langsung menyambut matanya. Ranpo sedikit terkejut dan takjub dengan pemandangan yang dapatkannya di buku ini. Ia mengangkat kepalanya dan menemukan langit pagi yang terlihat seperti tirai biru dengan sejumlah kapas putih yang menghiasinya. Jadi ini kah yang disebut-sebut oleh anggota Shirakabaha, Buraiha, Shinshichō tentang kota di masa depan? Kota sesudah perang dengan kemajuan teknologi yang cukup tinggi?

“Begitu, ya.” Gumamnya terkagum-kagum. Ranpo suka ini. Sangat menyukainya.

Yah, untuk saat ini, bersenang-senang di sebuah buku tanpa noda bukanlah hal yang salah, bukan?

***

“Ah, bagaimana ini?! Bukunya kenapa harus hilang di hari seperti ini? Padahal butuh waktu untuk membuatnya sebagai hadiah untuk Ranpo!” seru seorang pria dengan poni yang hampir menutupi setengah wajahnya panik.

Nama pria itu Edgar Allan Poe. Salah seorang anggota guild yang menganggap dirinya adalah lawan yang seimbang untuk seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah detektif terhebat sepanjang masa.

Ia sangat senang menulis karangan bertema misteri yang tentu mendukung dirinya dalam menguasai kemampuan khususnya dengan baik.

Banyak yang bilang cerita misteri miliknya benar-benar menakjubkan. Bahkan nona Allcot yang pemalu mengaku bahwa cerita misterinya begitu sulit untuk dipecahkan. Namun sayang, pernyataan itu dihancurkan seketika oleh kehebatan deduksi seorang detektif swasta bernama Edogawa Ranpo.

Baik, kembali ke narasi awal. Ia begitu panik karena hari ini, buku karangannya yang berisi kisah misteri harus segera diberikan pada rivalnya yang mengaku sebagai detektif terbaik sepanjang masa. Ia tentu saja punya alasan sendiri untuk memberikan buku yang telah dikerjakannya selama beberapa minggu.

Memangnya alasan macam apa lagi selain karena orang itu berulang tahun.

Padahal dua hari yang lalu ia sudah meminta rivalnya untuk bersiap-siap menerima hadiah tersebut, eh buku itu malah hilang entah ke mana.

“Gawat! Ranpo pasti akan kecewa padaku...” pundungnya yang masih setia mencari buku bersampul merah di tempat-tempat yang sebelumnya ia kunjungi. Entah karena terlalu fokus mencari dan panik sendiri, ia tanpa sengaja menabrak seseorang sampai keduanya jatuh terjungkal ke belakang.

Poe semakin panik.

“Astaga, maaf! Aku benar-benar menyesal!” ucapnya sembari berdiri dan berinisiatif mengulurkan tangannya untuk membantu pria yang ditabraknya berdiri. Namun, pria tersebut hanya bergeming di tempatnya sambil menatap tangan Poe yang menggantung di depannya.

Astaga, Poe benar-benar ceroboh sampai-sampai membuat orang di depannya hanya diam. Marah kah?

Sosok pria yang ditabrak Poe memakai baju yang cukup eksentrik dengan warna putih yang mendominasi seluruhnya. Bisa dibilang, pria didepannya terlihat seperti seorang pesulap karena topi tinggi berwarna putih yang menutupi rambut gelombangnya.

Setelah lama terdiam, pria eksentrik tersebut memutuskan untuk menerima bantuan Poe dan berdiri. Menepuk beberapa bagian tubuhnya yang sedikit kotor sebelum akhirnya secara tiba-tiba melemparkan pertanyaan yang tak terduga.

“Namamu siapa? Butuh bantuan?” Begitulah ia bertanya.

Eh? Sebagai pelaku dari sebuah kecerobohan, tentu saja Poe kaget diserang oleh dua pertanyaan seperti itu. Harusnya yang mengatakannya itu Poe bukan? Lantas mengapa orang ini?

Apakah dunia sedang mengalami fase dibalik? Tunggu-tunggu, Poe terlalu memikirkan yang aneh-aneh. Mari kembali pada pria eksentrik yang aneh itu.

“Kau bertanya padaku?” tanya Poe memastikan.

“Aku bisa melihatmu berdiri di depanku sekarang,”

“Namaku Edgar Allan Poe! Maaf karena telah menabrakmu!” serunya dengan nada tinggi, membuat orang itu jadi memalingkan wajahnya karena seruan Poe terdengar seperti tikus yang terjepit ban sepeda.

“Ah, tidak apa-apa. Kebetulan sekali aku sedang tidak ada kerjaan dan tanpa sengaja melihatmu. Lalu, sepertinya kau sedang mencari sesuatu. Mau ku bantu?” balas orang eksentrik itu sambil tersenyum setelah berhasil (menahan tawa) menenangkan dirinya.

“Apa tidak masalah seperti itu?” tanya Poe dengan malu-malu. Orang ini ternyata baik sekali.

“Tentu saja tidak masalah,” jawabnya dengan percaya diri, “aku sangat menyukai karyamu.”

“E-eh?”

“Ah, maaf. Aku sampai lupa mengenalkan diri. Namaku Hirai Tarou, salam kenal.” Ucapnya dengan nada antusias.

Jadi begitu.

Orang eksentrik itu ternyata punya nama yang unik. Poe jadi penasaran dengan kanji namanya. Lain kali jika mendapat kesempatan untuk bertemu dengan orang ini, ia akan memberanikan diri untuk menanyakan kanji namanya.

“Kalau begitu, ayo kita mulai mencarinya!” ucapnya yang langsung membuyarkan lamunan Poe.

Dengan ragu, Poe akhirnya menyetujui orang yang bernama Hirai Tarou itu membantunya.
Mereka lalu memulai pencarian buku bersampul merah yang hilang itu, menuju tempat-tempat yang pernah disinggahi dan kemungkinan tertinggalnya buku itu. Mulai dari kereta api, tempat penitipan barang, halte bus, bawah jembatan, sampai di daerah berjarak sekitar 10 km dari gedung port mafia.

Namun di tempat-tempat tersebut, mereka sama sekali tak menemukannya.

Selama dalam perjalanan pula, mereka terkadang membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan karangan-karangan misteri. Poe tidak pernah menyangka bahwa orang yang tengah membantunya adalah seorang penulis novel misteri.

Saat istirahat di sebuah kafe, Hirai memberikan buku bersampul birunya berjudul “Pembunuhan di Bukit D” dan ternyata bukunya sangat bagus dan enak dibaca.

Mungkin ia tidak akan berhenti membaca jika saja Hirai tidak secara tiba-tiba mengusulkan ide untuk melaporkannya pada kenalan Poe atau polisi.

Akhirnya Poe memutuskan untuk menelepon para anggota guild dan ternyata Lucy, anggota ke-tiga yang ia telepon mengatakan bahwa kemarin Poe meninggalkan sebuah buku bersampul merah di kafe Uzumaki.

“Seandainya saja aku bisa meminjam buku ini.”

Orang yang bernama Hirai Tarou merasa tubuhnya membeku kala mendengar kalimat tersebut ditujukan khusus untuk dirinya. Hirai Tarou sempat terdiam beberapa saat, masih tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Poe yang menyadari kegelisahan Hirai Tarou segera menggeleng panik dan mengembalikan buku tersebut pada pemiliknya.

Harusnya ia sadar bahwa dirinya sudah kelewatan dengan Hirai. Benar-benar bodoh.

“Lu-lupakan saja permintaan konyolku. Maaf!”

“Tidak apa-apa. Aku sebenarnya bisa saja mengizinkannya...” Hirai beberapa kali menganggukkan kepalanya. “... tapi aku harus bertanya lebih dulu pada direktur. Jika ia mengizinkan, aku pasti akan meminjamkannya padamu.” Lanjutnya sembari memasang senyum hangat.

Poe jadi kagum sendiri dengan ke-eleganan pria di depannya. Suara lembutnya, cara dia melakukan sesuatu, ekspresi wajah bahkan tawanya yang sangat sopan. Menakjubkan. Benar-benar mirip dengan orang-orang Eropa kelas atas.

Apa benar orang orang ini orang Jepang? Kalau memang benar, mungkinkah salah satu orang tuanya merupakan keturunan Eropa?

“Terima kasih banyak, Hirai-san.” Balas Poe yang kini terlihat bersemangat dari sebelumnya. Hirai kembali menyimpan bukunya lalu meminta izin untuk segera pergi, membiarkan Poe tertegun sebentar dalam lamunannya.

“Oi, Ranpo. Kupikir kau harus dipanggilkan Atsushi agar mau pulang.”

Poe kembali panik kala mendengar nama Ranpo disebut. Ia segera mengalihkan seluruh atensinya pada sumber suara dan menemukan sosok pria tinggi jangkung dengan kacamata yang tengah melambai pada Hirai Tarou.

Poe mulai bingung.

“Maaf, Ango. Anda tidak bisa menyamakan saya dengan Akutagawa-sensei.”

“Berhenti bicara formal seperti itu. Bisakah kau berhenti memakai bahasa formal padaku, Ranpo?”

Kepanikan mulai tumbuh di kepalanya kala Poe mulai mengerti situasinya.

“Fufu, akan saya usahakan. Sebaiknya kita kembali karena sepertinya, Dazai-san telah menunggu kita berdua.”

“Iya, iya. Penulis novel misteri terhebat, Edogawa Ranpo. Selamat ulang tahun btw..” ucap Ango yang mulai berjalan duluan, meninggalkan Ranpo sebentar yang sedang memberikan senyumnya pada Poe sebelum beranjak pergi.

“Terima kasih, Ango.”

.

.

.

.

“Omong-omong, btw itu apaan?”

***

Dah lah.

Maaf ini chapter minim dialog gegara saya ngebut semalam.

Sekian dari saya, terima kasih^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top