Special Chapter (Odasaku's Birthday) - Memory
“Itu dia, ayo kita foto bersama.” Seruan itu mengagetkan dirinya. Odasaku segera menatap ke samping dan menemukan sosok anak remaja berambut coklat gelombang yang terlihat bersemangat. Tak hanya itu, ia juga menemukan sosok pria berkacamata bulat yang sering membantunya untuk beradaptasi di buku tersebut. Pria berkacamata yang duduk di kursi paling ujung itu terlihat sedang menikmati jus tomat yang ada di tangannya.
“Sebagai sebuah kenangan.”
“Untuk mengenang apa?” tanya Odasaku pada remaja berambut coklat tersebut. Padahal niat awalnya adalah untuk menyimak saja. Namun, mulutnya secara tiba-tiba menanyakan hal semacam itu. Seolah-olah ia sedang menumpang di tubuh seseorang.
Odasaku akhirnya memilih untuk melihat-lihat ruangan yang ia tempati.
Bar yang bercahayakan lampu kuning, seorang bartender tua yang sedang mengelap gelas sebelum pada akhirnya meninggalkan mereka bertiga disini, serta dua orang yang bisa dipastikan adalah Dazai Osamu dan Sakaguchi Ango. Baju yang ia kenakan pun bukan baju sehari-harinya.
Lantas tubuh siapa yang sedang ditumpangi Odasaku?
“Kenangan bahwa kita pernah berkumpul disini.”
“Bukankah kita selalu minum di tempat ini?” Tubuh yang ia tumpangi kembali bertanya. Odasaku akhirnya memilih untuk mengikuti alur yang terjadi di mimpinya ini. Mungkin saja, mimpi ini akan menghiburnya sedikit dari rasa lelah karena kemarin harus membantu dalam mengalahkan noda di buku Miyoshi Tatsuji.
“Sesuai keinginan, tuan eksekutif.” Ango berkacamata bulat itu menarik keluar sebuah kamera dari tasnya. Seingatnya kemarin, Dazai coklat baru saja mengajari cara menggunakan kamera otomatis padanya dan seharusnya mereka menggunakan kamera yang sama. Mengapa Ango berkacamata bulat ini malah mengeluarkan kamera film model dulu?
Bahkan jika dilihat, cat hitam yang menempel mulai terkelupas.
Jangan-jangan...
“Ambil yang keren ya!” kata Dazai yang kembali membuyarkan lamunan Odasaku. “Fotokan aku dari sudut ini agar aku terlihat semakin gagah,” lanjutnya saat ia menaruh kedua kakinya di atas bangku, seperti cara duduk Dazai yang ia kenal saat berada di bar Lupin.
Ketika Dazai selesai diambil fotonya, remaja berambut coklat itu segera mengambil alih kamera untuk mengambil foto Ango. Walau Ango sempat mengatakan bahwa ia tidak perlu, ia malah tidak melakukan perlawanan saat diambil fotonya oleh Dazai coklat. Berlawanan sekali dengan temannya yang punya nama yang sama.
Cekrek! Suara jepretan yang mengarah padanya langsung membuat Odasaku panik. Namun, tubuh yang ia tumpangi hanya memberi reaksi “Eh?”, entah itu artinya kaget atau tidak terima. Odasaku juga bingung.
Ango kemudian mengambil alih kameranya dari Dazai dan pergi ke salah satu meja. Sepertinya sekarang, waktunya berfoto bersama.
“Kenapa tiba-tiba ingin berfoto?”
“Jika kita tidak berfoto bersama sekarang, aku merasa akan ada yang hilang di antara kita bertiga,” jawabnya Dazai tersenyum.
Ango kembali beberapa saat kemudian setelah mengatur kameranya dan duduk di samping Odasaku tanpa suara.
“Odasaku, lihat kameranya.”
Kata-kata itu kemudian diakhiri oleh visualisasi kegelapan tak berujung di mata Odasaku.
Visualisasi kegelapan yang ternyata membawanya ke memori menyedihkan dari sosok yang ia tumpangi tubuhnya.
Oda Sakunosuke, salah satu karakter dalam cerita itu.
.
“Kau baik-baik saja, Odasaku? Lukanya terbuka lagi?”
“Odasaku, kau berkeringat loh saat tidur. Mimpi buruk?”
“Aku baik-baik saja Dazai-kun. Aku hanya mimpi buruk, itu saja.” Odasaku menjelaskan kondisinya dengan tenang walau di wajahnya tercetak jelas bahwa ia syok berat karena mimpi yang baru saja ia dapatkan. Ekspresi wajahnya bagi anggota Buraiha minus Odasaku terlihat benar-benar mengkhawatirkan. Mereka jadi tidak enak jika harus menjalankan kejutan ulang tahun untuk Odasaku.
Malah tambah syok lagi nanti dia.
“Dazai-kun..?” panggil Odasaku tiba-tiba. “Apa Dazai-kun menangis saat aku meninggal?”
Dan serta Ango langsung berekspresi terkejut ketika mendengar pertanyaan Odasaku yang seperti itu. Bagaimana pun, kematian Odasaku adalah sesuatu yang paling tidak ingin diingat oleh Dazai. Fakta itu tentu sudah cukup umum diketahui oleh beberapa orang di Toshokan.
Biasanya, orang-orang yang sering menanyakan bagaimana perasaan Dazai setelah ditinggal oleh Odasaku, langsung dikeroyok oleh mereka berdua. Lah, yang nanya si penyebab down-nya Dazai, mereka bisa apa? Mukul Odasaku gitu?
“Dazai-kun..?” Odasaku mulai menyadari kecerobohannya. Harusnya ia tidak langsung menanyakan hal sensitif seperti itu, jadi ia tak perlu melihat sosok Dazai yang tiba-tiba terdiam sembari menunduk dalam.
“Odasaku... Yang di depanku, Odasaku kan?”
Dazai memegang kedua tangan Odasaku, menggenggamnya sangat erat lalu memeluk pria berambut coklat di hadapannya.
Di Buraiha, anggota yang paling disayangi dan dihormati oleh Dazai adalah Odasaku.
Wajar jika Dazai sampai meminta perhatian lebih dari pria tersebut.
Wajar jika Dazai bertingkah seperti anak kecil, apalagi jika itu di hadapan Odasaku. Wajar kalau Dazai merasa terpukul setelah kehilangan sosok itu.
Wajar kalau ia menangis di pelukan Odasaku sekarang. Wajar kan?
“Dazai-kun. Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu.” Odasaku membalas pelukan itu dengan erat, merasa sangat bersalah karena telah membuat Dazai menjadi kacau seperti ini.
Jika saja mereka bisa mendengar kata hati Odasaku yang sedang menyalahkan diri sendiri, bisa dipastikan ketiganya akan menentang hal itu dan mulai mengatakan kebaikan dan pengorbanan yang dilakukan Odasaku.
Untuk saat ini, Odasaku ingin menyalahkan dirinya, tanpa diketahui oleh teman-temannya. Sekali saja, ia ingin kembali menyalahkan dirinya.
“Tenang saja, Dazai-kun. Ini aku, Odasaku si penyuka kare.”
***
“Selamat pagi, Odasaku-san—aku harap kedatanganku tidak mengganggumu...” sapa seseorang ramah di tengah derasnya hujan yang mengguyur di kota itu.
27 Oktober, sekitar pukul tujuh pagi. Sosok ramah penyuka kare yang sering dipanggil—Odasaku itu memutuskan untuk mengunjungi pria yang pernah hidup di buku ini.
Sebenarnya ia sudah lama berdiri di sana. Hanya saja, Odasaku sedang tidak punya niatan untuk sekedar berbicara sebelumnya. Lidahnya terasa kelu setiap kali melihat nama yang tertera di batu nisan yang bertengger manis di depan makam seseorang.
Ia juga tidak tahu perasaan apa itu hingga membuatnya seperti itu. Jadi mau tak mau, ia harus membiasakannya jika suatu hari harus datang ke tempat ini lagi.
“Hei Odasaku-san. Aku tidak suka caramu meninggalkan mereka walau kuakui, itu berhasil membuat mereka tetap hidup untuk beberapa tahun ke depan.” Komentarnya dengan nada yang semakin mengecil seiring kata-kata itu berakhir.
Setelah pertemuan terakhir mereka, ia tidak pernah melihat orang itu lagi. Padahal masih banyak yang ingin ia tanyakan dan sampaikan pada sosok itu. Ia masih ingin mengenal sosok pria berambut merah yang bernama Oda Sakunosuke itu.
Yang sering dipanggil dengan nama Odasaku. Yang punya nama yang sama dengan dirinya.
Sama seperti Dazai berambut coklat, ia juga punya pertanyaan tentang hubungan mereka bertiga. Ia menginginkan jawabannya.
Namun bukan jawaban yang seperti itu.
Mimpi yang ternyata merupakan memori terakhir dari Odasaku berambut merah bukanlah jawaban yang ingin ia lihat.
Pemandangan mengerikan yang membuat Odasaku berteriak sampai tenggorokannya terasa sakit.
Dikhianati oleh teman, digunakan oleh atasannya agar mendapatkan sebuah surat dari pemerintah, kehilangan anak-anak yang telah ia rawat sepenuh hati...
Lalu meninggalkan teman-temannya berserta mimpi besar itu di dunia ini.
“Memalukan, bukan? Padahal tadi malam aku sudah bilang pada diriku sendiri untuk mengunjungimu tanpa alasan. Tapi nyatanya, aku datang kemari hanya untuk protes soal keputusanmu itu...” Odasaku sedikit membungkuk ketika memberikan bunga higanbana di depan batu nisan yang bertuliskan nama “S. Oda”.
“Tidakkah kau merasa bersalah telah meninggalkan Dazai-san dan Ango-san disini? Memangnya kenapa kalau seorang pembunuh ingin jadi penulis? Apa yang salah dengan itu? Kau tidak perlu syarat untuk menulis karena menulis adalah bagian dari hidup itu sendiri bukan?”
—Tapi kenapa?!
“Kenapa kau memilih untuk menyerah, Odasaku-san?!” Teriak Odasaku coklat pada akhirnya sambil mengusap wajahnya kasar. Persetan jika ada yang mengatakan ia gila karena berteriak di depan makam yang bahkan orangnya belum ia kenal dengan baik. Untuk saat ini, Odasaku hanya ingin menyalahkan dirinya.
Hanya untuk kali ini saja, ia ingin menyesali keputusannya untuk menyembunyikan segala sesuatu dari teman-temannya.
Langkah kaki yang menginjak becek tiba-tiba ditangkap oleh indra pendengarannya. Ingin saja Odasaku menoleh. Namun entah kenapa, ia merasa ada sebuah kekuatan magis yang membuatnya berdiri di sana tanpa menoleh lebih lama.
Beberapa saat kemudian, rintikan hujan yang sedari tadi membuat kepalanya sakit berhenti. Seolah ada yang melindungi dirinya di atas sana. Odasaku mengintip ke atas dan melihat payung hitam besar yang melindungi kepalanya.
Odasaku lalu menolehkan kepalanya ke samping dan menemukan salah seorang teman dekat Buraiha. Seorang teman yang selalu melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya, teman yang selalu ingin berkelahi walau pada akhirnya dia pasti kalah, teman paling sensitif yang sepertinya sangat mengetahui sosok dibalik senyuman Dazai merah, teman yang ikut melindungi dan membela Buraiha walau ia tahu bukan bagian dari mereka.
Nakahara Chuuya, seorang penyair Jepang terkenal yang aktif selama periode awal Shouwa.
Odasaku selalu menyayangkan nasib yang harus diterima oleh pria itu, bahkan di sisa hari terakhir ia hidup. Kehilangan seorang anak yang sangat dicintainya lalu hampir gila karena hal itu, lalu terkena penyakit paru-paru setelah berhasil mengalahkan rasa syok akan kematian putrinya. Bahkan seorang pria yang di penjara karena memukul tiang listrik sekalipun, masih memiliki hati selembut itu.
“Kau tidak bisa menyalahkan orang yang telah mati. Percuma saja.” Kata Chuuya dengan nada tenang sembari beberapa kali memukul bahu Odasaku.
Jika boleh jujur, pukulan di pundak itu berhasil menetralisir rasa sakit yang menerjang di dadanya. Pukulan itu kemudian berhenti bersamaan dengan Chuuya yang ikut membisu.
Benar, Chuuya sedang memberikan pilihan padanya.
Ah, seandainya saja ia tidak sependek dan se-agresif itu, ia pasti lebih populer dari Dazai saat masih hidup.
“Terima kasih sudah menemaniku, Chuuya. Aku memang sedang membutuhkan dorongan seseorang selain Buraiha.”
“Aku tahu kok. Itu sebabnya aku mengikutimu dari pagi.” Ujar Chuuya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sebuah seringaian yang muncul sedetik kemudian setelah ia mengaku bahwa telah mengikuti pria berambut coklat tersebut, malah terlihat seperti senyuman kekhawatiran untuknya bagi Odasaku.
“Aku tidak ingin pulang untuk saat ini...”
“Wah, kebetulan sekali aku dapat ajakan ke bar Lupin oleh pria berkacamata bulat di mobil hitam itu. Tertarik?”
Odasaku tertawa sebelum akhirnya mengangguk setuju. “Ayo kita kesana, teman yang meninggal 10 tahun sebelumku.”
“Lelucunmu itu tidak lucu, tahu!”
***
Aghu ga ngerti, aghu ga paham T T
Intinya chapter ini sempat berdebu karena belum ke sentuh sejak selesai dibuat. Niatnya mau update di hari senin lalu, tapi ya gitu. Sepertinya guru-guru di sekolahku agak agresif dalam memberikan tugas.
Sore jya, Babay!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top