#06 - The Sheep (Nakahara Chuuya)


Untuk beberapa alasan, Chuuya bangun lebih awal di hari liburnya tanpa memedulikan pertanyaan khawatir dari Kouyou, orang yang sudah ia anggap sebagai kakak sendiri serta yang menyuruhnya mengambil libur sementara. Bahkan ia sudah berangkat duluan sebelum beberapa mafiosis yang berjaga shift pulang. Kedua kaki miliknya menuntun pria bertubuh mungil itu menuju taman pelabuhan. Lalu ketika sampai, di belakang pagar pembatas yang bercat putih, ia menatap ke arah jauh ufuk timur yang samar mengradasikan warna yang senada dengan surai miliknya. Diantara kerasnya angin laut yang bertiup di pagi itu, ia mengumandangkan sebuah lagu dengan suara pelan.

Chuuya tidak terlalu tahu seperti apa lirik pastinya, tapi ia tetap berusaha menyanyikannya sampai habis. Intinya lagu itu pernah ia dengar saat masih menjadi anggota domba dulu. Kedua tangannya yang terbalut sarung tangan hitam kemudian bergulir menyentuh pagar besi, lalu tanpa sadar kedua tangan itu tergelincir hingga ia terpaksa menggunakan kemampuan khususnya agar ia tidak jatuh ke laut. Sungguh memalukan jika itu benar-benar terjadi.

Song of Goat, ya? Aku tak menyangka orang sepertimu menyukai hal-hal yang gagal seperti itu.”

“Aku paling tidak suka orang asing yang kerjanya hanya bisa mengomentari. Lagipula kau tahu tentang apa lagu itu, huh?”

“Oh, kau tersinggung atas komentarku? Kalau begitu aku minta maaf tuan...?” Orang asing itu sengaja menggantungkan ucapannya. Tanpa diberitahu pun, Chuuya sudah tahu orang itu sedang menanyakan namanya. Lalu ia pun memutuskan untuk menjawab. “Chuuya. Nakahara Chuuya dan aku berumur 22 tahun. Jangan salah paham dengan tinggiku.”

Terdengar kekehan kecil tak lama kemudian, diiringi langkah kaki yang mendekat. Baiklah, Chuuya memutuskan untuk segera pergi jika orang ini mengajaknya berbicara lagi.

“Aku meninggal diumur 30 tahun,” celetuk orang itu ketika ia sudah berdiri tepat di sampingnya. Chuuya tentu saja kaget dan segera mengalihkan seluruh atensinya pada orang terkait. Ia semakin terkejut kala mengetahui orang asing itu adalah seorang pria berambut pirang pendek dengan topi di atas kepalanya juga memiliki tinggi di bawahnya.

Kalau orang ini ketemu si pemboros perban, lebih parah lagi dong ejekannya, batin Chuuya yang entah mengatakannya karena kasihan melihat kependekan orang disampingnya atau mungkin kepercayaan dirinya yang naik setelah menyadari bahwa bukan hanya dia yang pendek di dunia ini.
“Jangan melihatku seperti itu juga dong. Santai saja. Oh ya, namaku juga Chuuya loh.”

“Tunggu sebentar! Kau sudah meninggal?!” tanya Chuuya yang ternyata baru ngeh karena sedari tadi membandingkan tinggi badannya dengan si rambut pirang. Sedangkan orang asing yang mengaku bernama Chuuya juga hanya dapat ber-sweatdrop. “Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan? Aku memang sudah pernah meninggal.”

“HA?!”

“Hoho~ Suaramu keras juga. Karena nama kita sama, bagaimana kalau aku memanggilmu Nakahara-kun saja?”

Chuuya seketika merengut kala mendengar sindiran halus tentang suara keras dari orang di sampingnya, beberapa saat kemudian berpikir sebentar lalu mengangguk pelan. “Baiklah, panggil saja sesukamu, Chuuya-san...”

“Etikamu bagus ya? Kalau aku tidak ada sopan-sopannya. Kau tahu, aku pernah dipenjara karena berkelahi dengan tiang listrik gara-gara mabuk loh.”

Chuuya menutup mulutnya. Walaupun ia tidak mengeluarkannya, bisa dipastikan pipinya memerah karena menahan tawa. Padahal awalnya dia akan segera pergi jika pria bersurai pirang itu mengajaknya mengobrol lagi. Entahlah, untuk saat ini Chuuya merasa nyaman dengan pria yang punya nama identik dengan dirinya.

Sekali lagi Chuuya memerhatikan kembali pria disampingnya. Mungkin dari belakang orang-orang tidak akan percaya kalau dia berumur 30 tahun, atau kemungkinan terburuknya si Chuuya-san ini sudah dianggap perempun. Tapi jujur saja, Chuuya dapat merasakan dengan kuat karisma yang dipancarkan dari wajah tegas itu.

Detik itu juga, Chuuya langsung kagum dengan orang yang berdiri disampingnya.

Orang kaya kah?

“Nakahara-kun, memang sih tidak sopan jika menjadikan orang asing sebagai teman curhat. Tapi, setidaknya aku bisa mendengarkan apa yang mengganggumu.” Suara Chuuya-san tiba-tiba memecah keheningan yang sempat terjadi di antara mereka berdua. Saat Chuuya melihat sekali lagi ke wajah yang dikaguminya itu, ia melihat sorot kekhawatiran yang terukir dengan jelas di kedua mata berwarna crimson terang tersebut.

“Ah, soal itu...”

“Haha! Lupakan saja apa yang kukatakan tadi. Omong-omong topimu bagus! Beli dimana?” tanya Chuuya berambut pirang dengan antusias. Terdapat jeda sebelum ekspresi di wajahnya tersebut berubah menjadi cerah. Ia lalu mengulurkan salah satu tangannya. “Lihat dong.”

Chuuya tersenyum kikuk sembari melepaskan topinya. Ia memberikan topi hitam berpita merah itu kepada kembarannya(?) yang langsung disambut oleh Chuuya berambut kuning dengan senang hati.

“Sebenarnya ada banyak hal yang kupikirkan akhir-akhir ini. Entah itu pekerjaan, kehidupanku dan juga hubunganku dengan seseorang...”

“Pasti berat untukmu, ya.” Wajahnya yang semula ramah berubah kembali menjadi wajah khawatir. “Memikirkan ketiga hal secara bersamaan itu berat. Tapi, bagaimana kalau kau memikirkannya satu-satu saja? Bukankah hal itu jadi lebih mudah dan pikiranmu tidak terlalu terbebani?”

Chuuya mengeluh sedikit lalu menundukkan kepalanya dalam, sebelum pada akhirnya membalas, “Kadang aku benci untuk mengatakannya, tapi jujur saja....

Aku takut mati...”

“Wajar 'bukan? Faktanya kematian itu begitu dekat dengan manusia. Ketika dalam perjalanan, ketika kau makan, ketika kau tidur, ketika kau sedang melakukan aktivitas sehari-harimu, bahkan berdiri tanpa kerjaan sekalipun, kematian tak akan lepas dari manusia. Karena menurutku, kematian adalah bagian dari hidup, dan selamanya akan terus begitu...”

“Kau benar. Tapi tetap saja itu menakutkan. Aku tidak ingin pergi dari dunia ini...” balas Chuuya lesu. Hening seketika kembali menyebar diantara keduanya. Lalu, secara tiba-tiba Chuuya bergerak cepat menangkap sesuatu yang terlempar ke arahnya. Sebuah gelas kecil yang terbuat dari porselen yang sangat tua. Chuuya menatap heran pria yang juga sedang memegang gelas yang sama. Topinya juga sudah kembali menutupi rambut jingganya.

“Apa ini?” tanyanya polos.

“Kalau dilihat-lihat, kau tidak sebodoh itu untuk menanyakan hal itu.” balas Chuuya berambut pirang dengam santai. Chuuya semakin kebingungan. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu kembali membuka suara. “Untuk apa?”

“Kemarikan gelasmu.” Chuuya pun mematuhinya sedangkan Chuuya yang lebih pendek darinya itu menuangkan botol berisi sake yang entah didapatkannya dari mana.

“Memang tidak semahal seperti yang kau bayangkan sih. Aku pun awalnya kecewa karena mereka hanya bisa menyajikan sake ini. Tapi untungnya ini cocok diminum dimana saja dan tidak akan membuatmu mabuk parah walau kau meminumnya satu botol.”

“Dalam rangka apa?” Chuuya berambut pirang itu mengangkat salah satu alisnya, beberapa saat kemudian menggendikkan kedua bahunya lalu menuangkan botol sakenya pada gelas yang ia pegang. “Entahlah. Pikirkan saja sendiri kenapa aku berbaik hati memberikanmu sake-ku,” jawabnya setelah meneguk habis sakenya. Pernyataan itu membuat Chuuya kembali menunduk.

“Apakah... yang bukan manusia sepertiku boleh hidup?” Chuuya memilih melemparkan pertanyaan kembali. Lawan bicaranya menatapnya bingung. “Aneh rasanya kau menanyakan itu padaku. Padahal kan kalau di perpustakaan aku hanyalah seorang arwah...”

“Tapi karena sebelumnya aku sudah menawarkan diri untuk menjadi teman curhat, ku rasa aku punya jawabannya...”

Chuuya langsung menatapnya dengan penasaran. “Apa boleh?”

“Tentu saja kau boleh hidup. Makhluk hidup itu diciptakan untuk hidup dan mati. Jadi, jika kau takut mati, bukankah itu sudah menjawab pertanyaanmu tentang boleh atau tidak makhluk yang bukan manusia sepertimu hidup?”

Chuuya mengerjapkan matanya lagi, lalu meminum sake yang ada di gelasnya. Membiarkan dirinya dan sisi lain miliknya bergaduh sebentar, lalu bergumam pelan, “Lantas kau itu apa, Chuuya-san?”

Chuuya dengan surai pirang itu tersenyum lalu menatap ke arah matahari yang sudah menampakkan diri diujung cakrawala. Tertawa pelan sambil menggendikkan bahu tanda tak tahu.

.

.

.

“Entahlah. Mungkin saja aku hanyalah orang mati yang hidup kembali, demi menyelamatkan peradaban.”

***

Okee,

Chuuya-nya out of character T^T

Maafkan saya yang asal buat dan jadi. Maaf atas ketidaknyamanan ini. Saya juga masih kurang tahu soal kepribadian Chuuya BunAl yang kemungkinan (besar) melenceng (jauh). Tapi intinya dari beberapa artikel yang ku dapat, bisa disimpulkan bahwa Chuuya, si penyair song of goat itu sosok yang sangat pengertian namun sayang seribu sayang tertutupi oleh sifat bar-barnya.

Kalau kalian baca dari beberapa artikel resensi buku tentang Dazai Osamu: Novel, kebanyakan bilang kalau Chuuya sama Dazai itu hubungannya disalahpahami sama teman-temannya (bukan gai ya, mereka berdua itu straight. Buktinya istrinya pada cantik-cantik). Maksudnya ntu, Chuuya sebenarnya itu salah satu orang yang paling mengerti seorang Dazai Osamu walau ia bukan salah satu anggota Buraiha.

Namun, dikarenakan Dazai yang selalu terlihat ketakutan tiap kali di dekat Chuuya bahkan walau Chuuya tidak melakukan apa-apa, nah si Ango terlebih Dan ini sering salah paham dan selalu mengintimidasi Chuuya yang sebenarnya punya niat ngebantu meringankan bebannya Dazai.

Jadi gitu deh.

Oke mungkin segitu aja.

Oh iya, makasih juga buat blackandmoonlit yang memberikan beberapa ide dari pembuatan chapter ke depan, termasuk chapter ini (walau sebenarnya chapter ini ga ada hubungannya sama Akutagawa dan Dazai). Makasih banyak ya!

Sampai jumpa lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top