#04 - Buraiha (2)
"Kamu..." Suara itu terdengar sedikit bergetar."...tidak meninggalkan Sakaguchi Ango temanmu, kan?"
.
.
.
Dazai merasa tubuhnya membeku kala kalimat yang terucap itu sampai ke gendang telinganya. Pria pemboros perban itu hanya bisa terdiam, sedangkan iris kecoklatan miliknya bergerak gelisah entah karena apa. Lalu Ango, yang sepertinya menyadari kepanikan Dazai hanya mendengus pelan lalu mendorong punggung Dazai agar terus berjalan. "Lupakan saja. Aku pasti membuatmu bingung, ya?"
"E-eh.." Dazai mengangguk dengan gerakan patah-patah sebelum pada akhirnya kembali melanjutkan perjalanannya. Beberapa saat kemudian, perjalanan bersama mereka harus berakhir ketika bertemu dengan jalan lain yang membelah diri dari jalan utama. Tim Atsushi memilih untuk terus maju ke depan, sedangkan tim Dazai memilih untuk melewati jalan baru itu.
.
"A-anu..." Suara gugup Atsushi yang terlepas lebih kencang dari biasanya membuat ketiga orang yang sedari tadi bertengkar itu menoleh kepada sang harimau putih. Atsushi yang sadar menjadi pusat perhatian memasang wajah panik lalu berbalik membelakangi ketiga pria yang sepertinya lebih tua darinya. "Se-sebaiknya kita fokus melakukan pencarian terlebih dahulu. Bukankah akan lebih baik memang seperti itu..?" Pertanyaan itu lantas membuat ketiga sastrawan itu saling berpandangan, terdiam sebentar, lalu pada akhirnya mengangguk secara bersamaan. "Baik!"
Dan mereka pun memulai pencarian dengan suasana yang lebih tenang dari sebelumnya.
.
"Apa tidak masalah membiarkan Dazai dan Shiga dalam satu kelompok?"
"Aku sebenarnya cukup khawatir soal itu, apalagi beberapa hari yang lalu mereka baru saja perang tabok-tabokan."
"Nah, kan..."
"Yah, berharap saja mereka tidak melanjutkannya dengan senjata..." Ango hanya menghela nafas pelan saat mendengar ucapan terakhir dari Odasaku yang kemungkinan besar bisa saja terjadi. Apalagi mereka ada di buku, malah tidak menutup kemungkinan mereka akan membuat masalah yang lebih besar lagi. Dan untuk saat ini, Ango berharap bahwa Musha ataupun Arishima datang tiba-tiba untuk menghentikan mulut Shiga yang hobi-nya mengkritik orang (terutama Dazai tentunya).
"Maaf memotong pembicaraan kalian. Tapi, apa boleh aku bertanya sesuatu..?"
Baik Odasaku dan Ango yang menoleh pada Dazai mengangguk bersamaan. Dazai yang ditatap begitu entah kenapa tiba-tiba jadi ciut sendiri. Terdapat jeda hening sebelum pada akhirnya Dazai memutuskan untuk buka suara. Hanya beberapa pertanyaan.
"Kalian itu sebenarnya siapa? Kenapa punya nama yang sama dengan kami?" tanya Dazai yang membuat Odasaku dan Ango terkejut. Bagaimana mengatakannya? Apa yang ditanyakan Dazai itu, terlalu tiba-tiba dan cukup sensitif untuk diketahui. Jadi Odasaku dan Ango bingung mau menjelaskan (menjawab) pertanyaan itu dari mana.
"Soal itu, bisakah kau menunggu jawabannya sebentar. Agak sulit untuk menjelaskannya karena memakan banyak waktu." Setelah mendengar penjelasan dari pria yang rambutnya terkepang itu, Dazai mau tak mau menyetujuinya. Bagaimana pun pelayanan klien lebih penting daripada rasa penasaran akan sosok sang klien. "Iya, tidak perlu dijawab jika kalian tidak bisa memberitahukannya..."
"Oi, perban. Umurmu berapa?" tanya Ango tiba-tiba. Tentu saja Dazai menjawabnya dengan cepat karena kaget diberi pertanyaan seperti itu. "Eh? Umurku 22 tahun..."
Ah, Dazai malah terlihat seperti Atsushi, melenceng dari sifat aslinya karena dua orang di depannya.
"22 tahun, ya?"
"Masih muda? Atau kita yang ketuaan?" Dazai memiringkan kepala kala mendengar pertanyaan dari Odasaku. Memangnya umur mereka itu berapa sampai-sampai salah satu dari mereka mengatakan kalau mereka ketuaan? Dan kalau pun lebih tua, kenapa wajah mereka masih rada glowing ya?
Ango mengamati sebentar Dazai, sedangkan Odasaku memasang wajah berpikir. Mereka menghabiskan tiga menit tanpa melakukan apapun, hingga pada akhirnya Odasaku menjentikkan jarinya dengan senyum lebar. Tentu saja hal itu sempat membuat Ango dan Dazai terlonjak kaget.
"Rasanya tidak sopan kalau kami tidak menjawab pertanyaan dari anak muda secerdas dirimu." Dazai tersipu mendengarnya. Bukan, bukan tersipu karena hal itu. Lebih tepatnya terharu(?) karena di bilang cerdas sama orang yang bernama Oda Sakunosuke tersebut. "Aku akan menjawabnya selama dalam pencarian. Bagaimana? Lebih hemat waktu kan?" Ango yang mendengarnya hanya mengangguk setuju. Sedangkan Odasaku mengangkat kedua tangannya ke atas dan ke bawah seperti gerakan robot, seolah ia baru saja mengatakan hal yang jenius.
"Boleh saja..." gumam Dazai sambil tersenyum gugup. Mereka akhirnya kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari orang yang hilang di hutan ini.
"Jika kau bertanya kami itu siapa, maka akan kujawab bahwa kami itu adalah seorang penulis yang dihidupkan kembali entah bagaimana caranya oleh seorang batu. Tunggu... Seekor atau suatu batu, ya? Ah, intinya begitu, sih." Dazai mengangguk pelan saat mendengar penjelasan Odasaku sembari tetap memertahankam keterampilan pencariannya. Walaupun ceritanya tidak bisa diterima, tapi Dazai percaya-percaya saja akan hal itu. Kemudian yang jadi pertanyaan baru, mereka ini dihidupkan dengan tubuh atau tidak?
"Lalu, soal kami itu arwah atau bukan, agak sulit juga menjelaskannya. Intinya disini kami memiliki tubuh, tapi saat kembali ke toshokan, atau bisa dibilang markas penulis, kami hanyalah sebuah jiwa tanpa tubuh," ucap Ango seolah membaca pikiran Dazai.
"Dan kenapa kita punya nama yang sama.. Entahlah, mungkin hanya sebuah kebetulan nama kita sama. Takdir itu lucu bukan? Memainkan kita layaknya boneka. Padahal kita ini manusia..." Sambung Odasaku sembari mengangkat kedua tangannya ke belakang kepalanya. Dazai mengangguk meng-iyakan perkataan tersebut.
Ango tiba-tiba menguap dengan lebar hingga air mata tergenang kecil di sudut matanya. Ia mengusapnya sedikit lalu kembali menguap. Membuat Dazai jadi ingin bertanya mengapa Ango ini bisa dengan tidak elitnya menguap begitu saja.
"Sakaguchi-san apa kau mengantuk?" Ango hanya menghela nafas pelan dengan posisi membelakangi Dazai dan Odasaku. Tidak menjawab ya ataupun menoleh. Dazai kembali melontarkan pertanyaan, kali ini dengan sedikit hati-hati.
"Atau jangan-jangan Sakaguchi-san sakit?" Dengan heboh Dazai beperban itu menyimpulkan. Sebenarnya ia tahu pria berambut biru tua itu baik-baik saja, hanya ingin menyimpulkan saja sih.
Plak!--
Dazai kaget begitu pula Ango. Pasalnya Odasaku tiba-tiba menepuk kedua pipi Ango dengan wajah kelewat panik.
"Ango! Kalau sakit bilang! Tidak perlu menyembunyikannya!"
"Yang harusnya mengatakan itu aku dan Dazai, oi! Yang paling suka menyimpan rahasia 'kan kamu sendiri!" ujar Ango sembari memicingkan matanya. Sedangkan yang ditatap hanya memasang tawa ringan.
"Ah, maafkan aku kalau begitu," balas Odasaku yang langsung mengatupkan kedua tangannya dan menunduk kecil, meminta maaf karena selalu menyembunyikan sesuatu dari anggota buraiha dan menepuk kedua pipi Ango dengan keras.
"Omong-omong, Dazai-san, kau suka bunuh diri?" tanya Odasaku dengan wajah penasaran dan langsung disambut anggukan antusias dari pria berambut brunette tersebut. "Uwaa! Hobimu sama menyeramkannya dengan Dazai-kun ya..."
"Aku-"
Belum selesai Dazai berucap, tiba-tiba tanah yang dipijakinya amblas ke bawa begitu saja. Odasaku yang punya refleks bagus di antara anggota buraiha segera berlari menangkap Dazai dengan tangan kirinya, sedangkan tangan satunya mengeluarkan salah satu pisaunya yang untungnya berhasil menancap kuat di tanah longsor tersebut.
Ango yang melihat itu panik dan langsung berlari ke arah mereka berdua yang terjebak di tanah longsor. Oh tidak! Bukan tanah longsor biasa! Ango membatin.
"Odasaku, Dazai-san, bertahanlah! Aku akan mencari bantuan!" seru Ango sambil mundur beberapa langkah kala menyadari kondisi tanah di daerah itu cukup rapuh.
Seperti kata batin Ango, kejadian ini bukan tanah longsor biasa. Masalahnya ini kaki gunung, dan bisa-bisanya ada tanah yang tiba-tiba longsor dan menghasilkan lubang cukup besar dan dalam. Kemungkinan karena aktivitas bawah tanah sehingga akar pohon sekalipun tidak bisa mempertahankannya.
"Naa, Dazai-san. Jika aku melepaskan peganganku dari pisau, apa itu termasuk bunuh diri?" tanya Odasaku dengan tenang. Sedangkan Ango dan Dazai dibuat tercengang oleh pertanyaan itu.
"Oi! Yang benar saja Odasaku!"
"Ku-kurasa begitu. Tapi bunuh dirinya jangan sekarang, Oda-san!"
Odasaku menggedikkan bahu geli lalu kembali berucap, "Kalau begitu, Ango, cepat panggilkan bantuan. Tanganku lagi licin soalnya..."
.
Sebesar-besarnya saya minta maaf atas keterlambatan dalam meng-up buku ini! *tunduk 90°
Tak hanya itu ceritanya makin ga jelas ya? Maaf maaf! Selanjutnya diusahakan agar ceritanya lebih menarik dan mudah dicerna.
Tetap stay tune, ya!
Jangan lupa vote dan kalau perlu dikritik aja sekalian. Soalnya author masih amatiran dan ga seniat para penulis di luar sana!
Bye~
一cyclone_nesa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top