#01 - Different (Dazai Osamu)

Seorang pria bersurai coklat sedang berjalan di atas bukit yang penuh hamparan rumput hijau sejauh mata memandang, menikmati pemandangan sore dimana ia dapat melihat semuanya dari bawah. Sebuah kurva lembut terukir dengan apik di bibir ranumnya, berkebalikan dengan matanya yang seolah tenggelam dalam lumpur hitam.

Dibalik tatapan kosong itu, ia diam-diam memerhatikan anak-anak yang bermain dengan riangnya—membuat dirinya seketika bernostalgia akan masa lalu yang selama ini ia pendam. Nama pria itu Dazai Osamu, berumur 22 tahun.

ーLalu, dibalik wajah suram khas pengangguran itu, ia sebenarnya seorang detektif swasta yang kerjaanya hanya merepotkan rekan kerjanya (apalagi jika itu adalah Kunikida Doppo).

Tiba-tiba pendengarannya menangkap suatu suara yang bisa dipastikan bukan milik anak-anak. Itu adalah suara tawa. Suara tawa yang begitu lepas seolah pemilik sedang bahagia. Ia mulai mengikuti sumber suara yang membuatnya penasaran sembari bertanya di dalam hati siapa gerangan pemilik tawa bahagia ini?

Tak lama, setelah beberapa saat berkeliling di daerah itu demi mencari siapa yang sedang tertawa (walau biasanya ia tak peduli karena suara tawa selalu membuat telinganya sakit), ia akhirnya menemukan sosok pria bersurai merah menyala dengan jubah aneh sedang duduk layaknya cacing kepanasan. Ahoge merahnya terus bergerak seolah mengatakan pria tersebut benar-benar bahagia. Dazai kemudian memutuskan untuk berjalan lebih dekat lalu duduk di sampingnya, membuat pria bersurai merah itu terkejut bukan main karena kedatangannya. “Anu... Maaf, kamu siapa?”

“Tidak sopan menanyakan nama seseorang jika kau sendiri belum menyebutkan namamu.”

“EEEHH?! Gomen, gomen... Aku begitu lancang, ya?” Ucap pria itu dengan panik, membuat Dazai berpikir kalau orang di sampingnya begitu mirip dengan junior harimaunya, Nakajima Atsushi.

“Namaku Dazai Osamu, salam kenal!”

“Dazai..?” tanyanya memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik. Jika nama pria itu Dazai dan namanya Dazai, lantas mereka harus memanggil satu sama lain seperti apa?

“Iya, namaku Da-za-i O-sa-mu. Dazai Osamu, lalu kau sendiri?”

“Kebetulan sekali aku punya nama yang sama denganmu. Jadi kita sebaiknya harus memanggil seperti apa?”

“Uwoo! Keren! Sebenarnya sih' Dazai Osamu hanya nama penaku. Soalnya, aku tidak terlalu menyukai nama asliku. Karena kau terlihat dewasa, bagaimana kalau kau kupanggil Dazai-san sedangkan kau memanggilku Dazai-kun?”

“Tidak buruk juga. Omong-omong, sedari tadi aku mendengar suara tawamu yang keras dan karena penasaran, aku memutuskan untuk mencarinya lalu akhirnya bertemu denganmu. Apa benar itu suara tawamu? Kenapa kau terdengar bahagia?” tanya Dazai yang langsung to the point sembari melirik kembarannya yang tiba-tiba wajahnya ikut memerah, semerah dengan rambutnya. Namun sesaat kemudian kembarannya berhasil mengendalikan diri. “Yaaah... Aku tadi memang tertawa sih. Tapi suara tawa itu masih belum sebanding dengan apa yang telah ku kutemukan saat ini. Apa... kau tidak masalah jika ku jadikan teman curhat?”

Dazai menggeleng pelan. “Tidak masalah, katakan saja.”

“Saat aku smp dulu, aku sangat suka membaca buku karya seseorang bahkan rela duduk berjam-jam demi membaca semua karya miliknya. Menurutku, cerita yang ia sampaikan begitu menakjubkan sampai-sampai aku memutuskan untuk ikut menulis cerita dengan harapan bisa bertemu dengannya. Namun sesaat sebelum ujian diadakan disekolah, aku mendengar bahwa penulis yang aku sukai meninggal karena bunuh diri. Tentu saja aku begitu kaget mendengar berita itu. Kau tahu, aku bahkan sampai mencoba bunuh diri loh sebelum ujian dimulai! Alhasil keluargaku marah-marah karena aksi nekatku...” ceritanya dengan semangat. Dazai bahkan sedikit khawatir jangan-jangan sang kembaran lupa bernapas saat sedang bercerita. Namun melihat wajah berbunga-bunga itu membuatnya sadar bahwa kembarannya baik-baik saja. “Lalu kau akhirnya menyadari bahwa bunuh diri itu salah?”

“Sebaliknya, aku malah semakin bersemangat untuk bunuh diri!” jawabnya cepat membuat Dazai sedikit syok mendengarnya. Ternyata mereka berdua juga memiliki kesamaan yang unik. “Dan kau berhasil?”

“Ya enggak-lah! Setiap kali aku bunuh diri, pasti ada saja yang menyelamatkanku! Menyebalkan sekali.” Dazai berambut merah itu mengembungkan pipi kesal, membuat Dazai berambut coklat di sampingnya sedikit iri karena tidak bisa se-ekspresif kembarannya. “Walau sempat berhenti, aku kembali melakukan bunuh diri saat duduk di bangku perkuliahan. Aku ingat sekali wanita yang pernah ku ajak bunuh diri!”

“Apa?! Kau bunuh diri dengan seorang wanita? Aku juga ingin tahu!”

“Eh?! Kau juga suka bunuh diri?” tanya Dazai merah dengan mata berbinar. Ia lalu menepuk dadanya, menyombongkan diri atas pencapaian yang tidak bisa disebut pencapaian itu. Dazai mengangguk pelan men-iyakan. Lagi-lagi ia iri dengan kembarannya.

“Kau tahu, saat itu kami bersiap bunuh diri, lalu paginya aku tersadar di rumah sakit dan dipenjara atas tuduhan membunuh wanita yang ku ajak bunuh diri. Padahal kan bukan aku yang bunuh, dia sendiri yang mau bunuh diri bersamaku.”

“Parah! Kau sampai di penjara?”

“Iya! Beruntung aku keluar dengan cepat dari penjara karena keluargaku, dan pulangnya malah dimarahin.” Balasnya dengan polos. Ahoge-nya juga beberapa kali melakukan pose yang lucu. Kalau ini mah, lebih lucuan dia daripada Atsushi TwT, batin Dazai coklat yang kembali menyuarakan isi perasaan irinya lagi. Iri karena orang di sampingnya begitu imut layaknya kayu manis.

Nee, apa kau masih bunuh diri?” tanya Dazai coklat yang langsung disambut gelengan Dazai merah. “Aku sudah tidak melakukannya lagi. Soalnya selain bunuh diri itu menyakitkan, aku harus berjuang di kehidupan kedua ini! Jika di kehidupan pertamaku aku tidak bisa menyelamatkan penulis kesukaanku dan Odasaku, serta memilih meninggalkan Ango dan yang lainnya, di kehidupan baru ini aku harus bisa menjaga mereka semua dan ikut bertarung demi karya literatur!”

Dazai coklat yang mendengarnya tercengang dalam hati. Pasalnya saat mendengar nama Odasaku dan Ango, hatinya bergetar hebat tanpa sebab. Tak hanya itu, ia semakin tak percaya dengan kehidupan kedua yang dimaksud Dazai merah. Apakah artinya kembarannya sudah pernah merasakan yang namanya bunuh diri bersama? Apakah yang sedang berbicara dengan nya ini adalah arwah atau sejenisnya?

Lalu, seolah tahu apa yang dipikirkan Dazai coklat, si Dazai merah hanya tertawa lalu memukul bahu kembarannya beberapa kali. “Aku sudah pernah bunuh diri kok!” celetuknya sembari bangkit dari duduknya. “Dengan wanita cantik pula. Tapi kusarankan kau jangan ikut-ikutan bunuh diri... “

“Tapi kau..?” Dazai coklat tiba-tiba terdiam kala mendapat sorot dingin dari mata keemasan yang sedang menatapnya. Tubuhnya bergetar pelan. Bukan, dia tidak ketakutan atau pun kedinginan. Hanya saja, mata itu terlihat lebih menyedihkan dari pada miliknya. “Seorang pengkritik yang hobi menghina bukuku pernah berkata padaku, walau pun pada akhirnya kau bahagia karena telah berhasil bunuh diri, apakah kau pernah berpikir bahwa kepergianmu juga membuat orang yang ditinggalkan ikut bahagia?

Dazai coklat tersentak. Kembarannya melanjutkan, “Dazai-san, jika kau masih diberikan kesempatan kedua untuk bertemu lagi dengan teman-temanmu, mungkin kau akan mendapatkan jawabannya. Tapi jika tidak, pertimbangkan lagi soal rencana bunuh dirimu.”

“Kau tidak bisa menyuruhku...” balas Dazai coklat yang ikut berdiri. Ia lalu mencengkeram kerah kembarannya dengan emosi. “Jika benar kau sudah mati, maka orang mati sepertimu tidak punya hak untuk menyuruhku tidak bunuh diri! Kau adalah kau! Aku adalah aku! Pada dasarnya kita berbeda jadi jangan samakan aku dengan dirimu!”

“Aku tidak mengatakan kalau kita sama,” ucap Dazai merah dengan wajah dingin. “Aku hanya ingin memberi saran. Aku menyesal telah meninggalkan Dan Kazuo dan Sakaguchi Ango. Aku membenci diriku karena aku hanya bisa membuat pidato emosional yang berisi tuduhan-tuduhan tak berdasar pada musuh Odasaku saat kematiannya. Aku ingin mati karena aku adalah manusia yang gagal. Karena itu, aku tidak mau kau juga menyesal dan merasa bersalah sama sepertiku.”

“Diam kau! Jangan bawa-bawa nama Odasaku!”

“Kenapa? Kau juga tidak bisa berbuat apa-apa saat kematian Odasaku, ya?” tanya Dazai merah sedikit sarkas sembari menepis tangan berperban milik kembarannya. “Pikirkan sekali lagi daripada harus menyesal di kemudian hari...”

Usai berkata seperti itu, Dazai merah mulai beranjak pergi dari tempat dan orang yang membuat kepalanya panas. Ia kembali teringat akan Shiga, si pengkritik yang telah mengatainya kepala batu. Apakah ia sama dengan kembarannya yang keras kepala? Mungkin lebih parah.

“Dazai-kun” Suara itu seketika membuat Dazai merah menghentikan langkahnya tanpa berniat untuk menatap kembali pria yang lebih tinggi darinya.

“Siapa nama penulis kesukaanmu itu?”

Dazai merah tertawa pelan lalu melanjutkan langkahnya. “Kuakui kita punya kemiripan dan kau orang yang menarik Dazai-san...”

“Namanya ya..?” gumam Dazai merah.
.

.

.

.

.

“Namanya Akutagawa Ryuunosuke...”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top