|4|

Wanita itu membiarkan rambut panjangnya menjuntai bebas. Lesung pipi yang hanya ada di sisi kanan itu lekas muncul saat ia tersenyum. Bola matanya berbinar antusias. Ia segera berbalik dan mendekap sang kekasih dengan erat.

"Makasih, Mas," ucapnya.

Syahrul mengangguk dan membalas pelukan tersebut. "Sama-sama."

Rumah bergaya modern yang tak seberapa besar itu masih sepi perabotan. Hanya ada seperangkat kursi dan meja kecil di teras. Ruang tamu pun kosong. Warna biru muda pada tembok semakin teduh dibuatnya.

"Kita mulai hidup baru di sini ya, Din."

Dina mengiyakan dengan anggukan. Ia tak lagi sanggup menahan air matanya. Setelah menjalin hubungan bertahun-tahun, akhirnya masa ini datang. Bulan depan ia 'kan berganti status menjadi istri orang, yang tak lain adalah Syahrul-kekasihnya.

Laki-laki itu telah sabar menunggu Dina dari gelar sarjana, dokter, sampai spesialis. Meski pasang kerap datang, keduanya berhasil menyurutkan keadaan. Karakter Dina yang tenang dan kerap mengalah berpadu sempurna dengan watak Syahrul yang ambisius dan teguh pendirian.

"Iya, Mas."

Mata Dina terpejam saat Syahrul mengecup keningnya. Tangan wanita itu masih melingkar sempurna di pinggang sang kekasih. Ia pun mendongak saat Syahrul menyudahi aksinya. Sorot dari mata sipit itu membuat pipi bulat Dina bersemu.

Keduanya tenggelam dalam hening. Ditatapnya tembok sekeliling yang masih sepi noda. Bahkan bau cat pun masih samar tercium.

"Rumah ini 'kan menjadi saksi kehidupan kita dan anak-anak nanti, tanpa gangguan siapa pun."

☘️☘️☘️

Malam ini tak hanya bulan dan bintang yang bersinar. Lampu warna-warni dari panggung nan megah, menemani insan-insan yang melompat kegirangan. Agaknya mereka tak lagi peduli bahwa esok hari senin.

Every night, it's all the same
You're frozen by the phone
You wait, something's changed
You blame yourself every day
You'd do it again
Every night ....

There's something 'bout love
That breaks your heart
Whoa oh oh oh
It sets you free

There's something 'bout love
That tears you up
Whoa oh oh oh
You still believe

When the world falls down like the rain
It'll bring you to your knees
There's something 'bout love that breaks your heart
Whoa oh oh oh
But don't give up
There's something 'bout love ....

Nanda mulai keram. Kakinya lelah berdiri, menunggu sang kakak tercinta bercumbu dengan stik drum. Ia lekas mendengkus kala Dian merem melek, menikmati setiap sorak perempuan yang memanggil dan menyatakan cinta. Sungguh menjijikkan, batinnya.

Seperti biasa, Dian-lah yang memaksanya 'tuk turut serta di malam perpisahan ini. Kalau tidak, Nanda pasti memilih bergelut dengan kasur yang tak empuk-empuk amat. Dian lagi-lagi mengancam ini dan itu agar sang adik menurut. Setidaknya, kali ini ia membayar dengan PS model baru yang Nanda idamkan sejak bulan lalu.

"Ck, lulus SMA kayak gini?"

Nanda terus menggeleng. Tangannya masih setia terlipat di depan dada sejak setengah jam yang lalu. Ia dilanda bosan, lelah, kesal, dan semua hal buruk yang ada di dunia ini. Sialnya lagi, ia lupa membawa power bank. Dewa dan dewi keberuntungan memang lebih sayang dengan Dian.

"Sial!"

Ponsel mati, jam tangan tertinggal, kurang sial apa Nanda hari ini? Semua karena Dian yang terburu-buru menariknya. Nanda memilih mundur, meninggalkan hiruk pikuk yang membuat telinganya berdenging.

Berat! Semuanya berat. Matanya ngantuk, kakinya keram, tangannya lunglai. Huh, kasur ada di mana? Nanda ingin segera melompat dan berguling ke sana ke mari.

Nanda berjalan menuju pos satpam yang hanya dihuni dua orang, dengan TV kecil zaman dulu yang menayangkan siaran langsung pertandingan sepak bola. Nanda yakin mereka sama sekali tak mendengar perbincangan para komentator.

"Permisi, Pak. Saya boleh numpang duduk?"

Kedua laki-laki paruh baya itu tersentak. Suara Nanda cukup kencang, mengingat ia sedikit berteriak. Anak itu takut suaranya tak akan terdengar.

"Hah? Oh, iya, iya boleh. Silakan!"

Tanpa jeda, tanpa segan, Nanda lekas duduk di kursi kayu yang jauh lebih keras dari hati Dian. Tidak apa, asalkan betisnya dapat beristirahat sejenak. Embusan napas lega tak dapat ia tahan.

"Makasih ya, Pak."

Salah satu dari mereka mengangguk, "Nama Bapak Sukri, kamu siapa?"

"Nanda, Pak."

"Kok koyok jenenge arek wedok," celetuk laki-laki yang menatap TV sambil menyeduh kopi.

"Bapak itu namanya Darwin. Dia bilang, namamu kayak perempuan."

"Hehe, saya paham kok, Pak. Sebenarnya dulu panggilan saya Wardha, tapi sejak TK diganti Nanda."

"Lah kenapa?" tanya Pak Darwin penasaran, tetapi matanya tak mau berpisah dari layar 10 inci tersebut.

"Sakit, Pak."

Entah kepercayaan apa yang diyakini orang zaman dulu. Nanda hanya diberi tahu bahwa mengganti nama dapat menyembuhkan. Aneh memang. Namun, ia sempat berpikir untuk kembali mengganti nama agar siksaan yang menerpa akhir-akhir ini segera enyah.

Waktu itu Nanda masih kecil. Tak dapat berprotes, tak niat bertanya, sangat polos dan super pasrah. Sampai suatu ketika ia sadar, hanya dia yang dipanggil demikian. Padahal kedua kakaknya memiliki awalan yang sama-Ananda.

"Terus kamu ngapain di sini?" tanya Pak Sukri.

"Nunggu kakak saya. Biasanya acara kayak gini selesai jam berapa ya, Pak?"

"Paling sejam lagi. Kalau bukan panitia ya langsung pulang."

Nanda spontan menengok jam dinding. Pukul 23.45, ia spontan mengembuskan napas panjang. Paket komplit sekali kesialannya hari ini.

Melihat Nanda terdiam, Pak Sukri bertanya, "Kelas berapa kamu, Nak?"

"Mau lulus SMP, Pak."

"Oo, lanjut ke mana?"

"Di sini," Nanda melirik sisi kiri dan kanan, "Pak, boleh saya numpang tidur?"

"Boleh, boleh. Sebentar!"

Pak Sukri bergegas mengambil bantal tak berbaju dan memberikannya pada Nanda. Anak itu dengan senang hati menerima, walau sebenarnya sedikit tak yakin dengan penampakan bantal tersebut. Lagi-lagi tidak apa-apa, lebih baik daripada tidak sama sekali.

☘️☘️☘️

"Permainan mantab, Bro! Halus, kaya pipi Rona."

Soni kembali dengan pikiran kotornya. Dian tentu tak melewatkan kesempatan untuk memukul kepala sahabatnya. Sontak ketiga kawan band-nya yang lain tertawa.

"Masukin otakmu ke mesin cuci sana! Kotor kok gak ilang-ilang," seru Dian.

"Sekalian pakek pemutih, biar berseri."

"Tuyul!" Soni menendang kaki Bram, vokalis utama mereka.

"Udah, udah. Aku mau balik. Kasihan Nanda, terlantar dari tadi."

"Hah? Nanda ikut ke sini? Wah, parah kau, Yan."

Dian hanya tertawa. Ia bergegas meninggalkan teman-temannya. Mereka masih asyik melayani foto bersama, menikmati kepopuleran.

"Yan! Aku ikut! Dasar kutu kebo!"

"Ayo!"

Mata Dian berselancar dari sudut kiri ke sudut kanan, mencari batang hidung Nanda yang tak seberapa mancung. Di mana adik tengil kesayangannya itu? Nanda tak mungkin pulang tanpa Dian.

"Mana?" tanya Soni ogah-ogahan.

"Gak tahu."

"Lah, telpon gih!"

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, hanya itu yang Dian dengar. Sial! Rasa khawatir mulai merasuki tubuhnya. Dian mulai menggigit bibir bawahnya.

"Gak aktif, Son," paniknya.

"Ponselnya mati kali."

Kaki Dian mulai bergetar dan mengentak-entak. "Tai! Main ke mana anak ini?"

Dian bergegas ke tempat parkir, barangkali adiknya sudah menunggu dengan manis. Namun, hanya sepi yang menyapa. Nanda tidak ada di sana. Dian mulai uring-uringan. Soni yang tak tahu menahu jadi ikut bingung.

"Ayo nanya ke satpam," ajaknya.

Tanpa suara, Dian lekas mengikuti saran Soni. Betapa berbunga hatinya saat melihat sepatu Nanda di ambang pintu. Ia menambah kecepatan sampai lupa mengetuk pintu.

"Nda!"

Pak Sukri dan Pak Darwin harus kembali tersentak. Tak adik, tak kakak, suka sekali mengejutkan orang tua. Pak Sukri mengelus dadanya pelan, kepalanya menggeleng melihat betapa sopan sikap Dian saat masuk kawasannya.

"Maaf, Pak!" Soni mengambil alih kalimat yang harusnya diucapkan Dian.

"Gak pa-pa. Cepat pulang sana! Hampir tengah malam."

Soni mengangguk. Ia menepuk pundak Dian dan mengajaknya untuk pulang. Hanya mimik, tanpa suara. Laki-laki itu mengiyakan dan menggendong adiknya. Bukan hal baru yang ia lakukan.

"Kami permisi, Pak!"

☘️☘️☘️

ODOC Batch 2 Day 4
23 Mei 2020


Kecup jauh 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top