|3|

Kamu ngapain di situ?

Nunggu Tuan Muda kelar latihan.

Nanda mendengkus. Sudah dua jam ia duduk manis dengan kaki menyilang dan tangan terlipat di depan dada. Lehernya mulai pegal dan merindukan bantal. Berkali-kali ia menengok sang kakak yang masih asyik dengan stik drum.

Masih lama?

Nanda refleks mengangguk, meski lawan bicaranya kali ini tak dapat melihat. Ia buru-buru menepuk jidat dan mengetikkan balasan. Status online dan centang biru itu seakan menghantuinya.

Harusnya enggak. Cuma nyewa tiga jam.

Setidaknya Nanda tak sendiri. Ia sangat bersyukur karena Dian membawa power bank. Baterai 5% itu pun terselamatkan beserta rasa bosannya.

Sabar aja kalau gitu.

Iya, Kitty lagi ngapain?

Percakapan klasik ini tak dapat Nanda hindari. Ia tidak terbiasa mencari pembahasan dan kerap memilih menerima segala pertanyaan yang dilontarkan. Bila canggung telah mencekik, jurusnya hanya 'sedang apa' dan 'sudah makan atau belum'.

Main sama Melo.

Kucing baru lagi?

Iya. Besok kan masih libur, ke sini aja.

Nanda memandang layar ponsel dan kakaknya bergantian. Alisnya bertaut dan matanya memicing. Ia menelan ludah lalu menggaruk kening.

Sorry, besok nemenin Mas Dian latihan lagi. Acara perpisahan udah deket.

"Nda!"

Sang empunya nama tersentak. Ia lekas mendongak dan menatap Dian tak suka. Nada tinggi seperti ini adalah salah satu hal yang Nanda benci.

"Apa!" jawabnya ketus.

Dian terkikik dan menyatukan kedua tangannya. "Sorry, sorry, lupa. Boleh minta tolong, gak?"

"Emang kalau gak mau, kagak dipaksa?"

"Hehe," kekeh laki-laki yang tiga tahun lebih tua dari adiknya tersebut.

"Apa?"

Dian beranjak dari tempatnya dan menghampiri Nanda. "Beliin air mineral, lima sama kamu. Kalau sisa, boleh beli snack," ucapnya seraya memberikan selembar uang 20 ribu.

Dengan malas, Nanda meraihnya. "OK."

Anak yang sebentar lagi memasuki masa putih abu-abu itu keluar ruangan dengan seperangkat kekasihnya-ponsel, power bank, dan headset. Meski kesal karena lagi-lagi harus menjadi kacung, Nanda bersyukur bisa bergerak leluasa. Duduk selama itu menambah kakinya semakin lunglai.

Beruntunglah karena studio musik ini memiliki mini kafe. Ia tak perlu keluar area 'tuk sekadar mencari air. Baik Nanda maupun Dian sama-sama sering mengunjungi tempat ini. Maklum, keduanya belum memiliki alat musik sendiri di rumah.


"Aw!"

Tanpa sebab, Nanda tersungkur begitu saja. Lututnya menghantam dinginnya lantai dengan cukup keras. Ia segera mengaduh saat kedua betisnya mati rasa.

"Duh, sial!" umpatnya.

Lagi-lagi rasa lelah menguasai anak 15 tahun tersebut. Tubuh bagian bawahnya kehilangan sebagian daya. Ia lantas memukul kakinya bergantian, mulai dari paha sampai mata kaki.

"Ahh!!" rintih Nanda saat rasa linu menjalar melalui otot-ototnya.


Mart-nya pindah ke Hongkong?

Guratan pada dahi anak itu belum hilang saat ponselnya berbunyi. Nanda mendengkus dan mencabut power bank milik Dian. Ia melempar benda tersebut ke sembarang arah dengan napas yang menderu. Lorong yang sepi lalu lalang itu menjadi saksi kekesalannya.

Tanpa berlama-lama lagi, ia segera membalas pesan kakaknya.

Y

☘️☘️☘️

Jangan nekat masak! Panasin yang ada di kulkas aja. Ayah dan Ibu pulang malam, Mbak Dina juga.

Nanda mengangguk. Ia sama sekali tak menginterupsi saat Dian membaca pesan yang ada di pintu rumah dengan lantang. Alih-alih mengirim pesan lewat ponsel, orang tuanya memang lebih suka memakai metode jadul ini.

Si bungsu lekas masuk rumah mendahului kakaknya. Sejak dari studio, ia belum membuka mulut sama sekali. Dian yang melihat hal itu hanya menggaruk tengkuk dan menggeleng. Kadar kepekaannya hanya seruas jari, jauh dari kata layak.

Nanda benar-benar lelah. Bukannya naik ke lantai dua dan merebahkan diri di atas kasur, ia lebih memilih tengkurap di sofa ruang tamu. Aksi itu hanya bisa ia lakukan bila sang ayah tak ada di rumah.

"Ngapain di situ? Ke kamar sana," tegur Dian.

"Capek."

Dian mendekati adiknya dan duduk di sofa yang sama. "Banget?"

Nanda mengangguk mengiyakan. Ia menenggelamkan wajah, menghindari tatapan Dian yang mengabsen tubuhnya dari ujung rambut sampai kaki. Susah payah Nanda menahan air matanya yang berkumpul di pelupuk. Ia menggigit bibir bawahnya sebagai pelampiasan.

"Mau Mas gendong aja, gak? Daripada ketiduran di sini terus ketahuan Ayah," ucap Dian seraya memijat kaki adiknya. Sensasi hangat yang menyapa semakin membuatnya khawatir.

Nanda memalingkan wajahnya ke kanan lalu menarik napas dalam-dalam. Ia mengembuskannya perlahan sebelum menghadap ke kakaknya. Anak itu merentangkan tangannya, menerima tawaran tersebut.

"Dasar!"

Dian memukul kening Nanda menggunakan telapak tangannya. Ia lekas mengusapnya sebagai permohonan maaf. Sorot sinis dari sang adik membuatnya terkekeh lalu berbalik. Dian segera berjongkok dan menggendong Nanda sesuai ajakannya.

Meski lahir lebih dulu, tinggi badan Nanda sudah setara dengan kedua kakaknya. Hanya tubuh kurusnya yang membedakan. Hal itulah yang membuat Dian mau merelakan punggungnya 'tuk membawa sang adik. Sebagai kakak, ia telah terbiasa.

"Abis ini mandi dulu baru makan."

"Hem."

"Mau di bawah atau di kamar?"

"Hem."

Alis Dian bertaut bingung. " 'Hem' gimana?"

Hening, tak lagi ada kata 'hem' yang terucap. Penasaran, Dian pun menoleh. Ia mendengkus kala kedua mata Nanda telah terpejam rapat.

"Bocah!"

☘️☘️☘️

Laki-laki itu masih menatap sinis. Anak yang berlindung di belakang sang kekasihlah sasarannya. Rasa kesal selalu datang saat waktunya habis terbuang untuk menunggu. Tak sekali dua kali hal ini terjadi dan Syahrul mulai muak.

"Kok telat? Aku udah di sini dari setengah jam yang lalu, Din!"

"Maaf, Mas. Dina harus jemput Nanda dulu. Dian lagi tes di kampus," terangnya seraya menarik kursi. Ia duduk tepat di depan Syahrul dan menggenggam tangannya erat.

Mendengar namanya disebut, Nanda semakin beringsut. Pekat kelam dari manik calon iparnya itu selalu sukses membuatnya bergidik. Kepalanya tak kuasa 'tuk mendongak. Tanpa sadar, kaki Nanda terus bergetar mengentak bumi.

"Terus kenapa diajak ke sini? Kita mau kencan, bukan ngasuh anak."

Dina menghela napas panjang. "Mas yang nyuruh aku buru-buru. Mana sempat kalau harus balik ke rumah. Arah pulang dan ke sini itu beda, lupa?"

Syahrul menyandarkan tubuhnya pada kursi kafe. Ia melepas genggaman Dina dan melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan kaki yang menyilang, ia melirik sosok Nanda yang masih berdiri di tempatnya.

"Ya udah, kita antar dia pulang dulu. Baru jalan lagi."

Dina menggeleng tak setuju. "Kelamaan, Mas. Lagian kenapa sih kalau Nanda ikut? Dia anaknya diem, kok."

"Aku gak suka, Din. Kamu tau itu."

"Tapi--"

"Nda!"

"Nda!"

"Nda!"

"Hah?"

"Kamu kenapa?"

Nanda berkedip cepat lalu menggeleng. Ia lekas mengusap wajah dan menyingkirkan rambut yang menutupinya. Ia menatap raut khawatir Dian lekat-lekat. Sial, memori menyebalkan itu hadir tanpa izin di mimpinya. Ia lekas bangkit dan bersandar pada bantal yang disusun kakaknya.

"Kamu kenapa?" tanya Dian lagi sembari meletakkan punggung tangannya di dahi Nanda. "Anget."

Dengan cepat sang adik menepis. "Gak apa-apa."

Dian mencebik tak percaya. Kalimat itu bak semboyan yang selalu terucap dari mulut Nanda. Tentu saat keadaan sedang menunjukkan kebalikannya.

Bagaimana bukan? Tubuh anak itu basah oleh keringatnya sendiri. Meski tak seberapa pucat, rona putih yang ada di rautnya tetap berkata lain. Mata merah nan berair itu semakin menguatkan firasat Dian. Adiknya tidaklah baik-baik saja.

"Tadi Mas denger nama Mbak Dina. Kamu mimpi apa?"

Nanda terkejut dalam diam. Matanya liar mengedar ke penjuru kamar, asal tak beradu dengan milik kakaknya. Ia menelan ludah saat otaknya tak segera menemukan jawaban.

"Hem?" Dian tak menyerah.

"Nanda ...." Lidah anak itu benar-benar kelu. "Mimpi pernikahan Mbak aja kok, Mas."

"Bener?" Dian masih tak percaya.

"I-iya."

Semua ini hanya kembang tidur, tak perlu dibesar-besarkan. Seperti biasa, Nanda baik-baik saja.

☘️☘️☘️
ODOC Batch 2 Day 3
22 Mei 2020


Jangan lupa senyum 😊

And, happy birthday to P'Pluem (cast Bari)

See you tomorrow 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top