|2|

"Meski ku bukan yang pertama di hatimu, tapi cintaku terbaik ...."

Nanda mendengkus. Lagi-lagi lelapnya terusik. Ia lelah berusaha menghindar dengan memalingkan wajah ke kiri dan kanan. Suara dari kembang kelasnya selalu berhasil membuat gendang telinga meronta.

Sepanjang lorong yang dihuni kelas sembilan sungguh gaduh. Maklum, mereka tak lagi memiliki mata pelajaran apa pun. Murid-murid dibiarkan mendalami materi sendiri sebelum ujian nasional minggu depan.

Tak ayal beberapa siswa memanfaatkan momen tersebut. Ada yang bertugas memutar lagu koplo lewat laptop, berjoget di depan kelas tanpa urat malu, dan berlagak memberi saweran. Kurang dari lima anak yang menyumbat telinga dengan headset dan membaca buku. Selebihnya memilih tidur seperti yang Nanda lakukan sekarang.

Namun, aksi-aksi itu tentu tidak mudah. Dendang dari speaker tak mengizinkan mereka 'tuk hidup dengan tenang. Siswa yang mengemas ruang kelas menjadi tempat karaoke itu seakan tak rela bila ada yang tak ikut meramaikan.

Nanda menggeleng lalu mengacak rambut. Raut wajahnya telah berubah merah padam. Dahinya kembali berkerut saat rasa linu menjalar dari betis ke pangkal paha. Anak itu spontan memijatnya berulang kali, berharap dapat sedikit mengurangi.

"Sskk ...."

Pemilik nama lengkap Ananda Wardha itu semakin mengerang. Dipukulnya area yang telah menyiksa selama beberapa minggu terakhir itu. Refleks, ia menggigit bibir bagian dalamnya hingga rasa anyir menyeruak di dalam mulut.

"F-Fer ...," panggilnya terbata. Susah payah Nanda menarik celana kawannya yang sibuk membaca komik.

"Fer ...." Suara anak itu kian habis, ditelan oleh rasa sakit yang kini menghantam dada. Sesak berhasil mengambil alih.

"Fer ...."

"Apa sih, N- Nda? Kamu kenapa?"

Feri lekas menutup bacaannya kala melihat sahabat semasa orok menenggelamkan wajah. Tubuh itu kian lemas sampai tangan pun terkulai begitu saja. Telapak tangannya seakan tersengat saat mengusap punggung pecinta musik tersebut. Panas sekali.

Bari turut menoleh saat suara Feri mulai panik. Ia segera beranjak dan menghampiri kedua kawannya tersebut. "Kenapa?"

Feri menggeleng. "Kakimu sakit lagi, ya? Atau cuma pusing? Sesek, gak?" tanyanya bertubi-tubi.

Deru napas Nanda semakin bergetar. Hawa panas di tenggorokannya membuat lidahnya kelu. Ia pun mengangguk sebagai jawaban.

"Ke UKS aja, ya?" tawar Bari.

Tanpa menunggu jawaban, Feri memundurkan bangkunya lalu berjongkok. Bari yang tentu peka lekas membantu Nanda untuk bangun. Bukan hal yang sulit bagi Feri 'tuk menggendong tubuh kurus sahabatnya.

"Kamu tidur aja gak apa-apa."

Nanda mengangguk. Ia kembali memejamkan mata dan meletakkan dagunya pada pundak Feri. Kebiasaan yang tercipta saat Dian melakukan hal yang sama.

Bari mengantongi headset Nanda dan komik Feri. Tak lupa ia membawa botol minum one piece favoritnya. Ia berlari-lari kecil mengikuti kedua sahabatnya dari belakang.

"Tunggu!"

☘️☘️☘️

Anak itu mengangguk kesekian kali. Bibir pucatnya masih kebiruan. Lingkaran hitam di bawah matanya juga masih terlihat jelas.

"Udah sana!"

Lagi-lagi Nanda memamerkan lesung pipi yang lekas muncul, meski senyumnya tak terlalu lebar. Didorongnya Bari dan Feri untuk segera enyah dari hadapan. Raut kesal dari keduanya membuat Nanda kembali terkekeh.

"Beneran nih kita duluan gak apa-apa?" Feri tak henti memastikan.

Nanda mengangguk dengan garis bibir yang tampak seperti palung.

"Beneran? Ntar kalau kenapa-napa kayak tadi gimana?" Bari turut panik. Dengan gemas ia memegang tali ranselnya kuat-kuat.

"Lebay. Udah duluan aja. Mas Dian gak bakal lama, kok."

Feri mendengkus. "Ok, deh. Kalau ada apa-apa, calling aja ya, Beb."

"Najis!"

Feri menarik tas Bari sambil tertawa. "Haha, ayo!"

Bari melambaikan tangannya sebelum menaiki sepeda klasik milik keluarga Feri. Kedua anak itu lekas menghilang dari gerbang sekolah setelah perdebatan yang cukup panjang. Nanda pun berjalan menuju pos satpam yang sepi penghuni.

Anak itu tak henti mengecek ponsel. Sudah 15 menit berlalu, tetapi hidung mancung sang kakak tak segera terlihat. Tak biasanya Dian terlambat tanpa kabar seperti ini.

Lelah berdiri, Nanda pun luruh-duduk bersila tanpa alas. Entah ke mana perginya para satpam yang biasa menonton acara gosip di layar TV 11 inci. Ia tak berani menyelinap masuk tanpa mengantongi izin.

Tangan Nanda menengadah kala air hujan mulai turun. Meski kepala terlindung atap, percikan air yang menghantam bebatuan berhasil membasahi tubuhnya. Totalitas, ia pun menampung air tersebut dan memainkannya.

"Kok lama, ya?"

Nanda kembali bermonolog. Ponselnya sepi tanpa notifikasi. Pesan yang ia kirim juga tak dibalas. Khawatir terus merundungnya.

Hujan tidaklah deras. Namun, cukup untuk membuat siapa pun yang rela menerjang menjadi basah kuyup. Persis seperti yang Dian alami sekarang.

Laki-laki itu menghentikan mesin motornya dan berlari menuju tempat sang adik. Ia membuka helm dan melepas jaket. Tak lupa ia menanggalkan sepatu dan kaos kaki yang tak lagi nyaman dipakai.

"Tau hujan kenapa nekat?" tanya Nanda sambil mendongak.

"Baterai HP-ku habis," jawab Dian seraya memeras celana abu-abunya.

"Nyambungnya di mana?"

"Ya kan gak bisa ngasih tau kamu." Selesai dengan meras-memeras, Dian melipat celananya hingga setinggi lutut. "Udah lama nunggunya?"

"Lumayan."

"Mau nunggu reda atau--"

"Terjang aja."

"Tapi--"

"Tanggung."

Dian mendengkus. Bila Nanda terus menyela, itu tandanya ia tak mau dikalahkan. Sebagai kakak, ia pun menurut.

"Tunggu," Dian berlari menuju motornya dan membuka jok, "nih!" ucapnya seraya melempar jas hujan.

Nanda mengernyit bingung. "Lah kalau bawa kenapa gak dipakek?"

"Tanggung."

☘️☘️☘️

Gelak tawa memenuhi ruang tamu. Tiga gelas teh dan tiga cangkir kopi telah habis diteguk. Hanya dua toples camilan yang masih penuh tak tersentuh.

"Kami kembalikan lagi ke Nak Dina, Pak."

Estu kembali manggut-manggut. Senyumnya tak segera turun sejak maksud kedatangan Syahrul dan kedua orang tuanya disampaikan. Ia dan Umi memang telah menunggu hari ini.

"Pasti mau. Iya, 'kan, Din?" ucapnya menatap sang sulung.

Dina bergeming. Tak ada jawaban selain senyuman. Pipinya yang juga berlubang lekas berubah warna. Rona merah jambu yang tercipta turut membuat Syahrul salah tingkah.

Melihat hal tersebut, Umi pun menggoda, "Nah, jadi malu-malu, 'kan?"

"Ibu!" kesal Dina manja. Ia tak sanggup membalas mata Syahrul yang tak henti menatapnya. Meski telah menjalin hubungan semasa kuliah, ia masih saja terpesona dengan manik cokelat tersebut.

"Tepatnya kami ngikut Pak Estu dan Bu Umi saja. Kalau bisa saat libur sekolah, mengingat kami berdua sama-sama PNS."

Estu mengiyakan saran calon besannya. "Iya, Pak. Sebaiknya menunggu Dina disumpah dulu."

Suara pintu yang terbuka membuat seluruh penghuni ruang tamu itu menoleh kompak. Dua anak laki-laki yang berbeda almamater itu berdiri di ambang pintu tanpa alas kaki. Mulut mereka menganga dengan tubuh basah kuyup. Tetes demi tetes dari seragam pun mulai mengotori lantai.

"Astaga, Dian, Nanda!"

Umi tergopoh-gopoh menghampiri kedua putranya. Ia lekas memukul pantat mereka bergantian. Wanita separuh abad itu tertawa kecil sambil mencubit pinggang Dian. Ringisan dari laki-laki itu tak ia indahkan sedikit pun. Matanya terlalu fokus menatap para tamu yang tak mengalihkan pandangan.

"Permisi dulu, ya, Pak Bahri, Bu Sinta, dan Nak Syahrul."

Ibu tiga anak itu menarik baju kedua putranya. Dian yang terkenal dengan sopan santun tingkat tinggi itu masih sempat menyatukan kedua tangan dan membungkuk-memberi salam. Berbeda dengan Nanda yang terus menunduk, menghindari tatapan sang ayah, kakak, dan calon keluarga barunya.

Umi menjewer anak-anaknya setelah sampai di kamar. Dengan kesal, ia mengambil alih dua sepatu yang sejak tadi Nanda pegang. Wanita bertubuh sedang itu lekas bertolak pinggang dan menatap Dian dan Nanda bergantian.

"Kenapa mandi hujan?"

Dian dan Nanda duduk di atas lantai dan menutup mulut.

"Kenapa mandi hujan?" Umi kembali bertanya dengan nada yang semakin ditekan.

"Bi--"

"Biar cepet nyampek rumah, Bu," jawab Dian mendahului adiknya.

Umi mendengkus. "Malu sama tamu, ngerti?"

"Maaf, Bu," lirih kedua anak itu bersamaan.

"Sekarang cepat mandi. Terus makan di dapur. Jangan lupa minum air hangat. Biar gak masuk angin."

Baik Dian dan Nanda mengangguk dalam tunduk. Umi pun enyah dengan tangan masih berada di pinggang. Ia bahkan menutup pintu dengan kencang.

"Hah ...," hela Dian. "Hampir aja."

Nanda menoyor dahi kakaknya. "Hampir, Bapakmu!"

"Bapakku juga bapakmu!"

"Bodo!"

Nanda lekas beranjak dan mengeluarkan bukunya dari tas. Ia segera menggantung ransel kesayangannya itu di dekat jendela. Tak lupa ia mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi.

Sang kakak tak kalah kreatif. Ia menanggalkan seragam begitu saja dan melemparnya ke dalam keranjang. Tanpa permisi, Dian membuka pintu dan bergabung dengan adiknya.

"Mas Dian ngapain ke sini?" heran Nanda saat kakaknya masuk dengan balutan pakaian dalam.

"Ya, mandilah."

Nanda berdecak, "Ck, aku duluan."

"Barengan aja."

"Ih!"

"Diem!"

Hah ....

☘️☘️☘️

ODOC Batch 2 Day 2
21 Mei 2020

Kesayangan siapa, nih?

😝😝😝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top