|1|

Kelam malam berhasil menguasai kamar berukuran 3x3. Hanya sedikit cahaya rembulan yang masuk lewat sela-sela gorden. Cukup untuk menyinari anak laki-laki yang berguling ke kanan dan kiri berkali-kali.

Tubuh Nanda yang gemetaran bermandikan keringat. Kaus tipisnya pun turut basah dibuatnya. Anak itu tak berhenti mengerutkan kening dan mencengkeram selimut.

"Ah ...."

Tangannya beralih meremas betis. Ia bahkan memukul area yang sama berulang kali. Degup jantungnya semakin terpacu hingga udara semakin sulit diraih. Dadanya sesak dan napasnya terengah-engah.

Air mulai menetes dari pelupuk, meski matanya masih terpejam. Ia pun meringkuk, memeluk lututnya erat-erat. Perlahan tubuhnya melemas, lelah karena bergelut terlalu lama.

Namun, Nanda masih menggigil. Getaran yang ia hasilkan berhasil mengusik lelap sang kakak yang ada di sampingnya. Dengan kantuk yang luar biasa, tubuh itu bergerak mendekat.

"Nda?" panggilnya lembut.

Tak ada respons yang berarti. Tubuh itu tetap miring ke kanan, membelakanginya. Nanda masih memeluk diri dengan gemetar yang sama. Spontan, Dian meletakkan punggung tangannya ke dahi sang adik. Panas, rasa yang ia rasakan kini menjalar ke bulu kuduk.

Ia menyibak selimut Nanda dan berjalan menuju lemari. Diambilnya kain panjang nan tipis yang disimpan di bagian paling bawah. Dian menutup tubuh kurus sang adik dengan kain tersebut, sesuai ajaran kakaknya-Dina.

"Nda," Dian mengusap punggung dan lengan Nanda, "mau minum dulu?" tawarnya.

Sang empunya nama menggeliat. Ia hanya menggeleng tanpa mengucap apa pun. Tak hanya dahinya yang panas, tenggorokan pun sama. Sensasi ini membuat matanya lengket dan lidah pun kelu.

Dian mengangguk lalu kembali berbaring. Dilihatnya punggung si bungsu yang semakin ringkih setiap harinya. Embusan napas panjang pun lolos begitu saja.

Mata laki-laki itu lekat menatap tubuh yang masih saja resah dalam lelapnya. Binarnya berubah sendu kala kembali menelan ludah. Bahkan bibir bagian dalamnya telah tergigit tanpa sadar.

Dian mendekatkan diri. Didekapnya tubuh Nanda dari belakang. Ia bahkan menenggelamkan wajahnya di punggung sang adik. Hawa panas itu sontak menyapa hingga membuatnya bergidik.

"Ng-ngapain sih, Mas?" kesal Nanda dengan suara seraknya. Sisa tenaganya ia pakai 'tuk menyingkirkan tangan Dian. Ia tak suka sensasi menggelikan yang hadir di area perutnya.

"Diem aja."

Bukannya menurut, Dian malah mengeratkan pelukannya. Ia bahkan mencium leher Nanda dan menjadikan tengkuk adiknya sebagai bantal. Ia tersenyum senang saat berhasil mengunci kedua tangan anak itu.

"Terserah."

Nanda pun mendengkus. Ia tak ingin mengalah, tetapi tubuhnya enggan berdebat. Matanya kembali terpejam sebelum kokok ayam mengusik waktunya.

Meski dingin, jawaban Nanda cukup menghangatkan. Dian mengangguk lalu mengucap, "Met mimpi."

☘️☘️☘️

Denting sendok dan garpu beradu dengan siaran radio yang diputar dengan volume sedang. Nasi putih, sayur bening, dan lauk pauk sederhana perlahan lenyap dari piring masing-masing. Ruang makan itu menyisakan satu tempat yang tak berpenghuni.

"Panggil adikmu, Yan," suruh Estu, sang ayah. Kakinya masih menyilang dengan secangkir kopi yang tinggal separuh. Matanya fokus mengabsen berita di koran pagi ini.

"Tadi malam Nanda sakit, Yah. Dian gak tega bangunin."

"Iya? Kok kamu gak bilang Mbak, sih?"

Alis sang sulung bertaut kesal. Seketika Dian menunduk, takut bila sang kakak kembali menerkam. Ia tahu bahwa hari ini Dina tengah mengalami sindrom pra haid. Salah langkah sedikit saja, ia bisa habis dibabat.

Wanita yang tengah berjuang dengan gelar spesialis anak itu beranjak dari duduknya. Namun, belum sampai kaki melangkah, sosok yang dicari sudah muncul. Dengan santai Nanda berjalan sembari menata dasi.

"Pagi," sapanya dengan nada seadanya.

Dina segera menghampiri kursi Nanda yang berada tepat di samping Dian. Ia menyentuh kening dan leher sang adik. Tak seberapa panas, batinnya.

Geli akan perlakuan tersebut, Nanda pun bergerak menjauh. "Mbak kenapa, deh?"

"Kata Dian kamu sakit."

"Enggak, kok," akunya dengan gelengan. Memang tadi malam rasa linu kembali menyerang sekujur tubuh, tetapi kini ia tak lagi merasakannya.

"Kalau kurang enak badan, istirahat di rumah aja, Nda." Umi--ibu mereka-- turut memberi saran.

"Nanda--"

"Kalau udah rapi gini berarti udah gak pa-pa, Bu. Iya 'kan, Nda?" potong Estu.

Anak itu mengangguk. Secepat kilat ia memamerkan senyum lebarnya. Lesung pipi sedalam samudra itu seolah berkata bahwa ia baik-baik saja.

Dina menghela napas pasrah. Diusapnya punggung si bungsu sebelum kembali duduk dan menyelesaikan santapannya. Dian pun sama. Hanya melirik sekilas lalu melanjutkan sarapannya.

Suasana kembali seperti semula. Tak ada suara insan yang menginterupsi. Semua diambil alih oleh denting alat makan yang berpadu dengan lagu jadul dari saluran radio keluarga.

"Asalamualaikum!"

Beberapa dari mereka refleks menoleh ke sumber suara. Meski tak terlihat, hal itu sudah menjadi kebiasaan. Dina yang telah hafal dengan suara itu lekas meneguk segelas air hangat yang disediakan Umi.

"Kamu mau bareng Mbak sama Mas Syahrul gak?" tawar wanita seperempat abad itu pada adik terakhirnya.

Nanda menelan ludah. Ia melirik ruang tamu yang tak menampakkan siapa pun, lalu menoleh ke arah Dian. Ia menarik napas lalu mengembuskannya dengan mata tertutup.

Anak itu menggeleng. "Sama Mas Dian aja."

Pemilik nama yang disebut itu bersorak riang. Ia menyeringai pada sang kakak karena telah memenangkan hati Nanda. Dina berdecih dan kembali mengusap rambut sang adik.

"Beneran? Enak naik mobil daripada motor," ajaknya sekali lagi.

Nanda mengangguk dengan senyum yang dipaksakan, "Iya, beneran. Udah sana! Kasian Mas Syahrul nunggu."

"Okelah."

☘️☘️☘️

Nanda menyerahkan helm hitam super sempit pada pemiliknya. Ia refleks mengusap telinga yang memerah dan terasa perih. Benda itu tak lagi muat untuknya.

"Inget, kalau udah pulang dan Mas belum ke sini, tunggu aja. Duduk diem di pos satpam. Jangan ke mana-mana, apalagi main sama duo Riri. Paham?"

Nanda mendengkus lalu berbalik badan tanpa mengiyakan. Namun, tentu ia tak bisa lolos begitu saja. Tangan Dian kuat menahannya dan menarik kembali ke tempat.

"Jawab dulu."

Nanda mengangguk malas.

"Yang bener, dong."

"Iya, Mas."

"Jangan iya-iya aja, tapi--"

"Hah ... serah."

Nanda menarik tangannya dari Dian dan melenggang begitu saja. Sang kakak hanya mengembuskan napas dan tertawa kecil. Di usia pubertas seperti ini, tentu adiknya 'kan semakin menyebalkan dan susah diatur.

Dian lekas menjalankan motor dan enyah dari tempat ia menempuh menengah pertama. Sudah menjadi turun temurun bahwa seorang adik 'kan mengikuti jejak pendidikan kakaknya. Dari SD hingga SMP, Nanda bersekolah di tempat yang sama dengan Dian dan Dina.

Anak itu melangkah gontai. Ditendangnya kerikil kecil tak berdosa di sekitar kakinya. Padahal hari tak lagi pagi, tetapi tampaknya petugas kebersihan belum menyapu lantai.

"My darling!"

Suara lantang dari belakang itu cukup membuat Nanda tersentak. Ia segera menutup telinga dan mempercepat langkah. Derap kaki yang semakin mendekat itu membuatnya panas dingin.

"Baby!"

Lemas pada tubuhnya ia paksa 'tuk terus berlari. Tubuhnya bergidik kala suara itu berganti nada dan intonasi. Sesekali Nanda melirik jendela, memastikan jarak antara mereka tidaklah dekat.

"Got you!"

Namun nahas, dua anak laki-laki yang tak lebih tinggi darinya itu berhasil memeluk dari belakang. Tangan Nanda refleks mendorong kala keduanya kembali mendekap bak teletubbies. Rasa risi yang menderanya semakin memberontak saat Bari dan Feri menyandarkan kepalanya pada bahu Nanda.

"Duh, lepas! Hih!" geli Nanda.

"Ogah."

"Gak mau."

Nanda menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Bar, Fer, gak kerasa emang kalau badanku panas?"

Kedua sahabat itu sama-sama mengangguk.

"Lihat, merah 'kan?" ujar Nanda seraya menunjukkan ruam yang ada di lengan kanannya. Susah payah ia menaikkan lengan seragamnya agar dapat terlihat.

Lagi-lagi, kedua anak itu mengangguk polos.

"Nah, aku lagi sakit kulit dan ini ...." Nanda menjeda kalimatnya dan mulai berbisik, "menular."

"Hah!!"

Bari dan Feri melepaskan pelukannya dan mendorong tubuh Nanda jauh ke depan. Mereka spontan mengusap kedua tangan bergantian dengan dahi yang berkerut. Nanda terkekeh puas dan melanjutkan langkah.

"Resek, Nda!" seru Feri.

Sang empunya nama menoleh dan menjulurkan lidah. Ia tersenyum puas seraya menaikkan ransel navy favoritnya. Anak itu kembali menghadap depan dan menyusuri lorong khusus hunian kelas sembilan tersebut.

Lesung pipi Nanda lekas menghilang saat lengan kanannya terekspos. Ia lekat menatap ruam merah yang lama kelamaan membuatnya ngeri sendiri. Tangan kirinya terangkat 'tuk mengusap perlahan lalu kembali menutupnya.

"Aku gak apa-apa."

☘️☘️☘️

ODOC BATCH 2 Day 1
20 Mei 2020


Senyum dulu, Kakak.
😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top