Bab 8
.
.
.
.
.
.
"Pergi! Ngapain ke rumah saya!" Sentak Bambang di ambang pintu dengan sarung yang digulung khas bapack-bapack abis dari pos ronda. Padahal malam itu seharusnya sepi dan waktunya untuk beristirahat biasanya kalau di rumah-rumah kampung. Namun Dion, Ega, dan Firza malah datang dengan motor berisik mereka dan benar-benar mengetuk pintu rumah Pak Bambang malam-malam kelam. Ceilah..
"Saya cuma mau minta maaf Pak.." Sesal Dion.
"Gak! Tunggu aja di kantor polisi! Saya tuntut kamu!" Ancam Pak Bambang enggan melunak juga. Padahal Dion sudah berniat baik meminta maaf dengan hormat. Kedua tangannya ia letakkan berkaitan di depan, kepalanya bahkan sengaja menunduk kian dalam.
"Gak ada! Liat nih.. Saya bonyok gara-gara kamu!" Sentaknya yang malah mendapat kekehan kecil dari Ega. Jelas saja. Ternyata yang dapat pukulan telak adalah bagian bawah hidungnya hingga membuat bibir Bambang jontor bahkan kian bengkak malam itu. Kayaknya si Dion bener-bener gemas liat bibirnya si Bambang. Pikir Ega.
"Heh! Apa apaan kamu?! Kenapa malah ketawa?! Hah?! Mau saya laporin juga? Berani-beraninya kamu melecehkan saya yah!" Bambang kembali mengancam.
"Enggak Pak, maaf.." Ega ikut menunduk hormat di samping Dion saat itu juga.
"Jangan lapor polisi lah Pak, kita bisa bicarakan baik-baik. Bapak ini kan Bapak guru. Apa kata murid-murid nanti.." Firza mulai menolong dan menengahi mereka.
"Justru itu! Saya ingin memperlihatkan pada anak-anak didik saya kalau mendapat ketidakadilan memang harus begini! Apa yang salah dengan sikap saya coba?!" Bambang makin petantang petenteng merasa ada di atas angin.
"Artinya bapak juga mau ngajarin sama mereka kalau senior itu boleh melakukan apapun yang dia mau? Memperlakukan junior seenaknya, nyuruh seenaknya, sindir-sindir saya setiap hari karena saya masuk lewat orang dalam,.." Ucapan Dion sempat terjeda. "Boleh pak?" Lanjutnya lagi.
Bambang mulai gelagapan sendiri. Secara tak langsung sikapnya memang mengakui semua tuduhan Dion.
"Ya.. Gak berarti kamu pakai kekerasan kan?" Jelas. Bambang memang tak menyangkal semua tuduhan itu.
"Sekarang gini aja deh Pak, kalau bapak gak suka sama saya, itu hak Bapak. Kalau Bapak tidak mau bekerja dengan saya, itu pun gak masalah. Saya bisa berhenti. Tapi inget satu hal ya Pak, jangan mentang-mentang saya gak punya gelar apapun, anda bisa seenaknya sama saya. Dan kalaupun anda kekeuh mau laporkan saya, silahkan! Saya gak takut apapun! Saya gak punya posisi apapun untuk saya pertahankan nama baik Saya. Saya juga gak punya gelar ASN yang harus saya jaga baik-baik supaya tidak terdengar dinas. Mau berhubungan sama polisi, oke! Saya laporkan balik anda atas nama penyalahgunaan wewenang." Dion, Ega dan Firza sudah membahas ini sebelumnya. Mereka berdiskusi terlebih dahulu dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sebelum berangkat tadi.
Dan benar saja. Bambang makin kebingungan. Ternyata kapasitasnya benar-benar kalah hanya dengan mahasiswa yang bahkan gak sempat lulus itu. Lalu bukankah gelarnya pun bisa dipertanyakan jika seperti ini? Benar-benar gila hormat. Penulis yakin ada banyak Bambang-Bambang lain di luar sana yang kelakuannya lebih parah dari ini. Ya kan?
Duarrrr!!!
Kaget beneran sih. Tiba-tiba malah ada petir dan langsung hujan seketika itu juga.
"Ya udah lah.. Pulang aja pulang sana!" Ujar Bambang pada akhirnya.
"Tar dulu pak!" Ega menahan. "Masalahnya harus clear dulu." Tambahnya.
"Iya Pak, jadi gimana nih? Mau lapor polisi, atau kita selesai aja sampai sini?" Firza memberi tendangan akhir.
Seharusnya kesimpulan Bambang akan menjadi penyelesaian masalah. Meski tak siap juga jika harus berurusan dengan polisi, apa boleh buat? Dion terlanjur menggertak tadi.
"Ya udah sana pulang! Kita lupain aja. Kamu mau keluar dari sekolah juga kan?" Ujar Bambang.
Oke! Artinya masalah selesai.
"Bapak gak akan lanjut polisi nih?" Tanya Ega memastikan.
"Gak!" Bambang masih dengan muka masam lalu tanpa basa-basi malah kembali ke dalam rumahnya dan menutup rapat-rapat pintu itu.
Brengsek sih tingkahnya. Tapi yang penting permasalahan ini selesai.
"BJir hujan?" Firza kembali mengeluh. Malam-malam begini ternyata malah harus hujan-hujanan.
"Dah lah.. Yang penting beres." Dion merangkul pundak Firza dan benar-benar bersyukur karena punya teman-teman baik seperti mereka.
"Neduh dulu kali. Masa ujan-ujanan?" Ega menahan.
"Masa diem di sini? Lu gimana si? Yok ah! Jan manja!" Dion akhirnya menerobos hujan dan mau tak mau diikuti Firza yang langsung naik ke atas motornya. Tak ada pilihan lain, Ega pun akhirnya mengikuti.
"Dingin jir!" Firza malah bersembunyi di balik punggung Dion ketika sang pengemudi jelas terciprat air hujan yang deras itu.
Baru setengah perjalanan, Dion akhirnya menepi. Gak bisa memang. Hujan deras kayak begini kalau di lanjut bisa-bisa malah kecelakaan. Apalagi pandangan Dion pasti terhalang air hujan karena memang helm yang ia pakai tak memakai kaca. Tambah lagi, lampu-lampu sorot itu malah membuat matanya makin buram.
"Kenapa berhenti si? Tanggung udah basah kuyup gini?" Ega kesal sendiri meski ikut turun dari motornya menghampiri Dion dan Firza yang sudah menepi di sebuah warung pinggir jalan.
"Hujannya gede jir! Gak keliatan gue." Jawab Dion sambil bergetar kedinginan.
"Gue aja yang bawa Yon!" Tawar Firza. Dion langsung memberikan kunci motornya pada Firza.
"Tar nunggu kecilan dikit. Bahaya.." Meski begitu, Dion masih menahan.
Beberapa saat menunggu, nyatanya hujan tak kunjung reda. Mereka malah melihat sebuah mobil kol buntung mogok di depan sana. Beberapa klakson mulai bersahutan. Tanpa pikir panjang, Dion langsung turun untuk ikut membantu mendorong. Tentu Firza dan Ega pun turut serta.
Entah harus sampai mana kejadian random harus mereka alami karena berteman dengan Dion. Tapi yang jelas, jika gak ada Dion, pasti gak asik.
.
.
.
.
.
.
Plakk!
Bukan ke kosan Firza lagi karena terlalu jauh dari rumah si kamvret Bambang itu, mereka malah pulang ke rumah Dion tepat jam 11 malam. Namun bukannya disambut dengan selimut hangat, Dion malah mendapat tamparan keras dari Cici. Padahal mereka semua basah kuyup.
"Bu.." Ibrahim mencoba menahan meski sebenarnya tak ada kata-kata apapun yang keluar dari mulut Cici saat itu. Bahkan setelah menampar Dion, Cici malah menangis.
Melihat keadaan itu, Selin bergegas mengambil beberapa handuk kering untuk sang kakak dan kedua temannya.
"Maaf Bu.." Dion benar-benar menyesal. Jika sikap ibu seperti ini, artinya dia sudah mendengar kabar tentang apa yang terjadi di sekolah.
"Kamu kenapa sih Yon?" Cici mulai bersuara. "Bisa gak sih normal aja kayak yang lain? Kamu kuliah engga. Kerja gak becus. Berhubungan baik sama orang juga gak bisa, mau kamu apa? Kamu mau jadi apa?" Ibu mulai mempertanyakan. Benarkah mempertanyakan? Bukankah ibu tau setiap detil alasan Dion tentang semua yang ia lakukan selama ini? Kenapa semua orang masih juga mempertanyakan? Apa memang langkah yang dia ambil memang selalu salah selama ini?
"Udah Bu.. Dion, ke kamar kamu aja! Sana.. Sana.." Ibrahim menengahi. Ega dan Firza paham dan akhirnya menurut saja. Selin kembali dengan tiga handuk yang langsung ia berikan pada Ega dan Firza.
Lalu Dion..
"Aku juga gak tau Bu.." Dion kini makin menunduk dengan bahu bergetar. Padahal semua orang hampir bubar kala itu. Namun mendengar jawaban menggetarkan dari Dion, semua kembali terpaku. "Aku bisa jadi apa memangnya?" Kini ia mengangkat wajahnya lalu menatap wajah sang ibu dengan air mata yang sudah berderai sejak tadi. Matanya benar-benar merah begitu pun dengan hatinya yang mungkin sudah berdarah-darah sejak ibu mempertanyakan semua itu.
"Aku bahkan bikin saudara aku celaka. Kalau aku gak ada, mungkin kembaran aku masih hidup kan Bu.."
Deg!
"Ngomong apa kamu!" Cici malah semakin marah. Salah lagi? Dion terkekeh sendiri. Dia benar-benar terlahir sebagai kesalahan. Tak ada yang baik dalam hidupnya sejak awal
"Harusnya Dian yang lebih pantas di sini. Dia mungkin gak akan bikin ibu kecewa berkali-kali kayak aku.." Dion malah mengenang saudara kembarnya sendiri. Padahal ini adalah traumanya selama ini. Jika Dion membahasnya lagi, artinya kini dia sedang berada dalam titik terendahnya. Bisa jadi, Dion pun tak sadar dengan perkataannya sekarang. Dia sedang kacau.
"Abang.. Udah dong.." Selin mendekat, mencoba menyelimuti Dion dengan selimut yang ia pegang sejak tadi meski hanya tangannya saja. Mendengar pembahasan ini, Selin pun takut. Benar-benar takut Dion mungkin hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Makin sakit hingga tangisan Selin tak bisa dibendung lagi. Ega dan Firza hanya bisa diam membeku tanpa bisa berbuat apa-apa. Tak seharusnya juga mereka di sini.
"Dian memang lebih baik." Ucap sang ibu tiba-tiba.
Deg!
"Tapi jika Tuhan malah milih kamu buat sama ibu sekarang, ibu bisa apa? Memilih pun apa gunanya kalau udah kayak gini?" Cici melanjutkan.
Debaran jantung Dion makin menggila mendengar perkataan ibunya. Benarkah perasaanya selama ini seperti itu? Padahal selama ini yang dia lakukan sebagian besar hanya untuk keluarga ini.
Soal berhenti kuliah karena masalah keuangan, soal pekerjaan yang ternyata malah menyita waktunya dan hampir tak bisa memperhatikan adiknya Selin hingga membuat kedua orang tuanya repot sendiri, dan soal pekerjaan di sekolah, kali ini memang benar-benar karena dirinya yang sudah muak dengan orang itu.
Coba hitung? Berapa kali Dion memikirkan dirinya? Bukankah baru kali ini? Tapi kenapa semua orang terlihat malah menyudutkannya sekarang? Apa memang tidak ada tempat untuknya?
"Pikirin diri kamu sendiri Yon! Apa yang bisa kamu lakukan jika Ibu sama Ayah tiba-tiba gak ada?"
"Aku lagi mikirin diri aku sendiri sekarang Bu.." Jawab Dion selagi menunjuk dadanya yang benar-benar sesak sekarang.
"Gak! Kamu lagi merusak masa depan kamu sendiri sekarang!" Suara ibu kembali menggelegar. Napas Dion makin sempit. Entah mengapa mulutnya bahkan seluruh tubuhnya kini mulai kebas. Pandangan mulai memburam. Bahkan kepalanya semakin memberat.
Ada banyak hal yang harusnya Cici tau soal dirinya. Tapi kenapa begitu sulit untuk di jelaskan? Dion ingin meledakkan semuanya, tapi mulai dari mana? Semakin lama, Dion malah limbung. Dan..
Brukkk..
"Dion!!" Cici berusaha meraih tangan sang anak, namun terlambat. Ega dan Firza berhasil menopang di belakang.
"Kenapa dia malah pingsan?" Jerit Cici.
Semua orang panik.
Lalu apa?
Mati saja?
Dion~
.
.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top