Bab 6

.
.
.
.
.
.
.
.

Beberapa Minggu kemudian.

1 message from Selin

'Abanggg!! Jemput aku!!'

Reply
'dimana?'

Selin
'Cio'

Reply
'Tunggu..'

Dion mendapat pesan dari Selin sore itu. Padahal hari sudah semakin mendung. Ibu dan ayah sudah sejak tadi ada di rumah dan mengkhawatirkan Selin yang memang belum juga pulang.

Mendapat pesan seperti itu dari Selin, Dion tentu langsung bergegas pergi menggunakan motor meski sang Ayah sempat meminta Dion membawa mobilnya.

"Biar cepet yah.." Ujar Dion tanpa kembali menoleh. Ibrahim hanya bisa memandangi punggung anaknya yang sudah melaju selagi khawatir saat melihat awan sudah kian gelap.

"Mudah-mudahan gak hujan.." Ungkap Cici yang jelas tau apa yang sedang Ibrahim khawatirkan saat itu. Dia menepuk bahu suaminya seolah memberi isyarat untuk kembali masuk. Akhirnya Ibrahim mengangguk lalu menutup pintu garasi yang tadi ia buka untuk Dion kemudian berjalan masuk ke dalam rumah.

.
.
.
.
.
.
.
.

Cio adalah toko peralatan sekolah yang kalau tak salah ingat, lokasinya dekat dengan pusat oleh-oleh tempat Dion sempat bekerja dulu. Kutil sialan! Ngapain main jauh-jauh sampai ke sana? Bukankah sekolahnya lumayan jauh dari Cio? Pikir Dion sepanjang perjalanan.

Dan sialnya lagi, hari malah makin gelap. Gemuruh mulai bersahutan silih berganti. Sepertinya tak sabar untuk menumpahkan isi langit karena sudah sejak lama musim kering. Akan sebesar apa hujan yang turun nanti? Kenapa langit begitu ribut sekarang? Allah.. Meski hamba sering kurang ajar, tapi sama siapa lagi harus minta? Tolong jangan dulu hujan. Tadi lupa bawa jas. Apalagi, luka bekas operasi masih belum kering sepenuhnya dan masih terasa ngilu meski udah seminggu berlalu. Dan meski udah mulai kerja, tapi masih sakit ya Gusti. Jangan sampai kehujanan, takut nyut-nyutan lagi nanti. Apalagi kalau sampai infeksi. Hamba masih pengen hidup Tuhan.. Gumam Dion dalam hati.

Dan benar saja. Entah memang belum waktunya, atau Allah mengabulkan doa Dion. Hujan yang sejak tadi sepertinya sudah di ujung mata, ternyata masih juga belum turun hingga Dion sampai di Cio.

Itu dia. Kutil bebal yang kerjaannya nyusahin mulu. Dion menghentikan motornya di depan toko dan menunggu Selin untuk datang menghampirinya. Namun meski kedua mata mereka sudah saling bertaut, Selin malah diam mematung. Wajahnya terlihat berantakan. Kayaknya hampir menangis juga. Sumpah! Dion kesal sebenarnya. Tapi melihat Selin yang malah makin berani menangis ketika mereka bertatapan, akhirnya Dion mengalah dan turun dari motor.

Ajaibnya, bersamaan dengan rengekan Selin di depan toko itu, hujan pun tiba-tiba turun dengan derasnya membasahi motor yang baru saja Dion tinggalkan.

Hah..
Sial bet sih ini..

"Apa sii??" Bukannya memeluk sang adik, Dion malah menoyor kepalanya selagi terkekeh melihat Selin yang malah tak bisa menghentikan tangisannya sama sekali.

"Kenapeee??" Dion kembali bertanya selagi menepuk-nepuk kepalanya dan menikmati setiap ekspresi jelek sang adik yang baginya selalu lucu.

"Uang aku abis buat beli ini.. Mau pulang juga bingung naik apa.." Selin menunjuk keresek yang ia pegangi sejak tadi.

"Hana mana?" Tak seperti biasanya, Hana seharusnya ada dalam situasi ini. Aneh memang.

"Hana pulang sama Bang Ega.. Dia di jemput depan akuu! Mereka PACARAAN!!!"

Deg!

Ah.. Ternyata alasan dari tangisan itu bukan hanya hal sepele seperti biasanya. Pikir Dion. Meski sering pacaran sana-sini, Dion juga tau, Selin sempat menyukai Ega. Meski ia tak tau ternyata perasaan sang adik lebih dalam dari yang dia kira. Padahal selama ini dia selalu melarang bahkan mewanti-wanti supaya tidak jatuh hati pada Ega. Dasar si bodoh ini.. Gumam Dion.

"Hatiku sakit Bangg...." Selin makin menunduk. Ditengah derasnya hujan, tangisan Selin pun tak kalah. Dion paham sekarang. Dia tak lagi bisa menganggap ini lucu.

Dan.. Hana? Kenapa bisa jadian sama Ega? Meski terserah mereka sih, tapi kenapa tiba-tiba dan bikin Selin nangis sampai seperti ini? Dion lebih mengkhawatirkan Selin daripada perasaannya sendiri. Karena memang, melihat Selin sesakit itu, lebih menyakitkan bagi Dion.

"Kita pulang aja.." Dion kali ini mulai mengusap pelan kepala Selin kemudian membawanya ke dalam pelukan. Dia enggan membahas ini. Ada sepercik rasa kecewa yang sulit di jelaskan, tapi memangnya apa yang harus dia lakukan? Tak ada kuasa, tak ada hak apapun, dan bahkan Dion tak memiliki alasan untuk mempertanyakan. Tapi melihat sang adik sampai menangis seperti ini, Dion juga merasakan rasa sakitnya.

"Hujan bego! Gak mau gue basah-basahan!" Selin malah menyalak lalu kembali melanjutkan tangisannya. "Gue gak mau temenan lagi sama Hana! Dia penghianat!" Selin benar-benar kesal kali ini. Dia berjongkok selagi meraung-raung ditengah hujan yang begitu derasnya.

"Memangnya Hana tau lu suka sama Ega?" Tanya Dion.

"Tau lah!"

"Lu pernah bilang?" Dion masih memastikan.

"Belum.. Tapi harusnya dia tau!" Ungkap Selin yakin.

"Bego lu!" Dion kembali menoyor kepala sang adik sambil ikut berjongkok juga.

Bingung sebenarnya. Dion tak bisa bicara banyak soal ini. Tambah lagi, di sekolah tempatnya bekerja sedang terjadi huru hara dan saling sikut karena ada orang yang merasa lebih berkapasitas dari Dion. Kalau dipikir-pikir, mending jadi karyawan toko, atau swalayan aja kali ya? Di sana semua orang sama. Kerja pakai otot lebih baik dibanding jadi administrasi sekolah yang gajinya pun tidak seberapa itu. Boro-boro buat bertahan sebulan, buat bensin aja kadang Ayah yang nombokkin. Rasa-rasanya kesel banget karena belum bisa mandiri secara finansial. Sesal ini juga yang membuatnya kian merosot tapi tak bisa bergerak kemana-mana.

Dion kini hanya bisa menunggu. Entah itu hujan, kehidupan kacaunya, juga tangisan Selin. Rasanya lumayan sesak sekarang. Apalagi melihat kesedihan sang Adik yang entah mengapa makin lama makin membuatnya marah.

"Berhenti gak nangisnya." Ujar Dion mulai kesal.

"Kenapa si? Aku masih mau nangis juga." Meski mempertanyakan, Selin pun menghapus air matanya selagi sesekali melihat wajah Dion yang terlihat kusut juga.

"Abang patah hati juga kan?" Tanya Selin. "Aku bilang juga apa. Harusnya Abang grecep! Akhirnya apa? Di tikung kan sama temen sendiri?" Lanjut Selin. Tak hanya sakit untuk dirinya, Selin juga merasa kasihan pada kakaknya.

"Gue ke jepang aja kali ya Lin.." Celetuk Dion tiba-tiba.

"Aku ikut!" Jawab Selin tanpa ragu.

"Dih.." Dion tentu saja enggan. "Lagian lu bisa bebas kalau gue pergi." Tambah Dion.

"Jangan mulai deh lu!" Tunjuk Selin tak terima dengan ucapan Dion. Selin bukan ingin kebebasan yang seperti itu. Kalau gak ada Dion, kayaknya juga bakal ada sesuatu yang hilang. Selin bahkan enggan membayangkannya.

"Bukannya lu gak mau Abang gangguin?"

"Berisik bang! Jan ngaco!" Selin malah makin bertambah marah.

"Ck.. Gak ngerti gue jalan pikiran lu.." Dion akhirnya menggeleng karena heran sendiri.

Selin tak menjawab dan hanya memperhatikan derasnya air hujan yang sebenarnya kapan sih reda? Selin mulai kedinginan. Dan lagi, pembahasannya dengan Dion mulai gak asik. Jika dipikir ulang, dia pun tak paham dengan jalan pikirannya sendiri. Jika Dion tak paham, Selin juga sama-sama mempertanyakan tentu saja.

"Temen kerja Abang ada yang cantik gak?" Tanya Selin tiba-tiba.

"Apaan si?" Lagi-lagi pertanyaan Selin benar-benar diluar konteks bagi Dion.

"Jawab aja!" Selin mulai memaksa.

"Ya banyak! Kalaupun ada, sekolah Abang kan berbasis Islam. Mana boleh modusin cewek. Bisa-bisa Abang dikira trouble maker."

"Ta'aruf aja ta'aruf.."

"Apa si? Abang belum mau nikah juga." Elak Dion.

"Ya memangnya lu mau nunggu tua baru nikah?"

"Gak juga."

"Ya terus? Mau selamanya jomblo gitu?" Tanya Selin. "Bang! Abang itu cakep loh Bang.." Entah mengapa ketika mengatakan ini, ada geleyar aneh dalam dada Selin. Mungkin laper? Entahlah.. "Sebenarnya ada banyak cewek yang mau sama Abang. Temen-temen aku juga pada naksir berat sama Abang. Cuman si Hana aja tuh yang kelilipan Ega! Sisanya semua pasti mau sama Abang. Abang tinggal pilih mau yang mana?"

"Kenapa gue harus punya cewek si Lin?" Tanya Dion.

"Ya biar aku juga bisa pacaran." Jawab Selin jujur.

"Ya kalau mau pacaran mah pacaran aja. Kenapa Abang harus pacaran juga?"

"Tar ujung-ujungnya lu ngurusin gue mulu! Lu Jan pura-pura polos deh lu!" Selin akhirnya kesal sendiri.

Dion tak bisa berkata-kata lagi. Ia menghela napas panjang kemudian mencoba mencari jawaban lain untuk pemikiran Selin itu.

"Oke deh! Cariin gue cewek gih!" Dion malah menantang.

"OKE!! DEAL!" Selin bersemangat. Dari yang tadi menangis menjerit-jerit, sekarang Selin bisa tersenyum lebar dengan semangat membara.

"Eh? Emang tipe cewek Abang kayak gimana?" Tanya Selin. Bukankah selain harus cocok dengan kakaknya, cewek itu juga harus cocok dengannya?

"Mmm... Cantik, baik hati, berhijab syar'i, putih, polos, gak matre, santun, kayak ukhti-ukhti muslim lah.."

"Dih.. Ngaca! Lu solat juga bolong-bolong, ngarep punya cewek solehah? Ngimpi lu!" Cecar Selin hingga membuat Dion terkekeh malu-malu. "Lagian kenapa harus yang berhijab si? Hana juga gak berhijab kenapa lu suka?" Tiba-tiba kembali nyambung pada Hana.

"Kenapa Hana lagi si?"

"Oh.. Iya iya sorry.. Kita harus move on! Ya! Move on!" Selin kembali meyakinkan dirinya sendiri.

"Udah reda. Pulang ah.." Dion langsung bangkit mengajak Selin pulang.

Selin tak menjawab dan hanya mengekor di belakang.

Ya..

Setelah hujan biasanya ada pelangi. Seharusnya hari seusai hujan lebih indah dari ini.

.
.
.
.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top