Bab 39

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Beberapa hari tak mendapat kabar dari Ega, membuat Selin dihantui rasa bersalah. Tak hanya Ega. Hana pun entah mengapa tak memberinya kabar setelah pengumuman kelulusan beberapa hari ke belakang. Selin merasa ditinggalkan oleh orang-orang ini. Apa sekarang dia sendiri? Pikirnya.

Ah..

Berguling-guling di ranjang seperti ini hanya akan membuat pikirannya kian semerawut. Selin memutuskan untuk bangun dan keluar dari kamarnya. Namun pemandangan lain terlihat di balik pintu kamar Bang Dion yang sedikit terbuka. Dion tengah mematut diri di depan cermin dengan pakaian kasual yang membuatnya kian mempesona. Tumben rambut yang biasanya dibiarkan apa adanya itu kini terlihat klimis. Dan itu malah membuatnya makin keren.

"Keren lu.." Firza memberikan jempolnya kemudian menyemprotkan parfum sebagai sentuhan akhir. Bahkan Firza pun memverifikasi pemikiran Selin ketika itu.

"Kemana Bang?" Selin penasaran.

"Kencan!" Jawab Firza yang lalu di sambut kekehan kecil dari Dion. Dia tak mengelak dan malah tersenyum seperti itu? Beneran kencan? Pikir Selin.

"Sama siapa?" Tanya Selin yang kian penasaran. Dia bahkan masuk lalu duduk di atas kasur Dion.

"Ada lah.. Kenapa juga lu harus tau." Lagi-lagi Firza yang menjawab. Dan itu malah membuat Selin makin kesal.

"Sama siapa bang?!" Nada suara Selin kian mengeras. Dua orang itu menoleh heran. Dion mendekat kemudian mengelus kepala Selin dengan senyuman itu lagi.

"Tar pulangnya Abang bawain martabak." Ungkap Dion tanpa berniat menjelaskan ucapan Firza tadi.

"Gak! Kemana?! Sama siapa?" Selin tetap menahan.

"Tunggu aja napa si? Ribet lu!" Dion malah menepis halus meski terlihat sedikit kesal. Lain lagi dengan Selin yang makin merasa ditinggalkan. Setelah Ega, Hana, dan sekarang Dion?

Ayolah.. Dia memang se-remeh itu?

"Kemana si bang?!" Saking ributnya kepala Selin, dia tak bisa menahannya lagi. Tak seharusnya dia ditinggalkan seperti ini. Jika semua pergi, lalu kemana lagi tempat Selin kembali? Haruskah ke Flora? Tempat dimana ayah kandungnya berada? Tapi di sana pun Selin tidak diterima. Ayahnya selalu menyalahkan Selin tentang segala kesialan yang terjadi. Pantaskah itu disebut tempat kembali?

"Kenapa si Lin?" Dion heran melihat tingkah Selin pagi itu. Teriakkan Selin bahkan membuat Ibrahim dan Cici naik karena memang terdengar seperti sebuah pertengkaran.

"Ada apa?" Tanya Cici.

Selin masih dengan raut itu. Terlihat marah, panik, sekaligus menanti jawaban Dion. Dia bahkan terlihat tak peduli apapun lagi sekarang. Pertanyaan pun Cici dia abaikan.

"Kemarin Bang Ega buang aku gitu aja. Hana juga gak ada kabar sama sekali dan tiba-tiba posting medsos udah ada di Jogja. Sekarang Abang? Kencan? Sama siapa? Kemana? Aku gak berhak tau?!" Akhirnya Selin meledak. Kalaupun setelah ini dia kehilangan lagi, Selin tak peduli sekarang. Dan kalaupun setelah ini dia harus kembali ke Flora pun terserah. Selin enggan memendamnya lagi. Firza hendak menjelaskan namun Dion menahan.

"Kenapa sih Yon.." Ibrahim mencoba membela Selin seolah meminta Dion menjelaskan dengan rinci pada adiknya.

"Kenapa kamu harus tau?" Dion malah terkesan memprovokasi sekarang. Meski dalam hati, Dion hanya ingin tau perasaan Selin padanya.

"Lah?" Selin tak percaya mendengarnya. "Terus yang Abang lakuin selama ini sama Selin apa?! Bukannya Abang sama aja? Abang juga ikut campur terus urusan aku. Abang juga selalu tau, aku kemana dan sama siapa. Abang bahkan selalu halang-halangi aku berhubungan sama orang lain. Kenapa sekarang aku gak boleh tau?!" Selin kian menjadi-jadi. Tak seharusnya Dion mempertanyakan setelah apa yang sudah dia lakukan padanya selama ini.

"Kamu tau, alasan Abang kenapa ngelakuin semua itu?" Tanya Dion masih dengan nada lembut seolah bersiap mengungkap semuanya. Firza, Cici dan Ibrahim hanya bisa mendengarkan tanpa berniat ikut campur. Bukan ranah mereka sekarang.

"PERSETAN kalau Abang bilang itu buat kebaikan aku! Abang cuma egois! Yang Abang pikirin cuma diri sendiri! Abang gak bisa liat aku bahagia? Iri Bang?!" Ujar Selin membuat semua orang tercengang mendengarnya.

"SELIN!" Cici tak mungkin diam saja mendengar mulut kurang ajar Selin. Tentu saja. Dia tak mungkin rela anaknya diperlakukan seperti itu. Sekalipun Selin yang bicara. "Kurang ajar yah kamu.." Tunjuk Cici yang bersiap mengeluarkan kata-kata yang lebih pedas dari ini tentunya. Tapi Ibrahim menahan. Dia tau Cici akan menyesal nanti jika melanjutkan.

"Bu.." Dion juga menahan. Dia kini berbalik serius menghadap ke arah sang ibu. "Aku gak mau jadi kakaknya Selin.." Ungkap Dion serius. Hati Selin seketika hancur. Dia bahkan langsung mematung dengan mulut yang tiba-tiba terkunci. Dan perasaan dibuang lagi-lagi datang seolah menertawakan.

"Yah.. Bu.. Aku mau nikahin Selin.." Lanjut Dion.

Deg!

"Yon?" Ibrahim dan Cici seketika tercengang dan tak percaya. Bisa-bisanya dalam situasi seperti ini? Namun Firza terlihat menunduk dengan senyuman kecil. Dia justru terlihat lega.

"Hah?" Selin lagi-lagi tak bisa berkata-kata. Mematung di tempatnya dengan debaran tak terkendali. Situasi apa ini? Sedetik merasa dibuang, sedetik kemudian merasa ucapan Dion benar-benar gila.

"Lin.." Dion kini beralih pada Selin lalu mengamit tangannya lembut. "Ini alasan kenapa Abang selalu kekang kamu selama ini." Jelas Dion lembut. "Kita bukan saudara kandung. Dan maaf karena melupakan ini dan bikin kamu bingung selama bertahun-tahun." Dion kembali melanjutkan. Tangan yang ia gunakan untuk menggenggam tangan Selin terasa basah. Artinya Dion sedang sangat gelisah sekarang.

"Kenapa Abang gak bisa liat kamu pacaran sama orang lain ya karena ini." Dion sempat gelagapan. "Susah kalau dijelasin tepatnya. Tapi Abang yakin kamu ngerti. Abang gak mau jadi kakak kamu doang. Abang mau nikahin kamu." Ucap Dion penuh pertimbangan. Dia bahkan terlihat khawatir sekarang. Akan sulit nantinya jika Selin menolak. Hubungan mereka akan hancur gara-gara ini.

"Kamu yakin Yon?" Tanya Cici yang juga terlihat khawatir. Dia tak percaya ternyata hubungan mereka malah jadi serumit ini. Tapi bagi Cici, untuk keinginan Dion yang ini, dia tidak berhak menghakimi.

"Gak sehari dua hari aku mikirin ini Bu.. Dan gak ada jawaban lain selain ini. Aku tau ini salah, tapi aku bisa apa Bu? Mungkin kalau gak bicara sekarang, aku bakal menyesal seumur hidup." Dion terlihat yakin.

"Ayah setuju. Nikah aja." Putus Ibrahim. "Lagian dari awal, bukannya kita pernah bilang ini kan Bu? Ingat gak? Ibu bilang kita lagi rawat calon mantu kita kan? Selin?" Ibrahim kembali mengingatkan Cici.

Ibu terlihat mengangguk membenarkan dengan senyuman lega.

"YESS! Jadinya kapan nih nikahnya?" Tanya Firza berusaha membuat suasana lebih ceria.

"Tunggu." Tahan Cici. Hingga membuat senyuman semua orang kembali lenyap. "Selin gimana?" Tanyanya. "Kamu sendiri gimana?" Ulangnya lembut.

Dion pun kembali menoleh ke arahnya yang sejak tadi masih diam tak bergerak sama sekali. Ditatap seperti itu, membuat Selin balik membalas Dion dengan tatapan tajam. Matanya memanas dan tiba-tiba runtuh di lantai. Entah mengapa dia ingin menangis sekencang-kencangnya sekarang. Dion terlihat kecewa melihatnya.

Artinya Dion di tolak?

Ibrahim sempat menepuk bahu Dion seolah menguatkan. Meski begitu, Dion tetap meyakinkan diri. Setidaknya dia sudah mengungkap semuanya.

"Lin.." Dion mendekat lalu ikut berjongkok bersama Selin. "Kalau kamu gak mau, gak masalah. Abang bisa jadi kakak kamu lagi. Lupain omongan Abang tadi." ucap Dion. Alih-alih berhenti, tangisan Selin malah kian lirih. Dion kebingungan. "Jangan nangis Lin.." Pinta Dion.

"Abang bisa pergi ke jepang kalau kamu keberatan ketemu Abang tiap hari.." Dion sudah mempertimbangkan ini. Yang penting sekarang, Selin berhenti mengkhawatirkan soal ini.

"Kita tetep orang tua kamu Lin.. Kamu jangan takut.." Cici ikut berjongkok selagi mencoba merengkuh Selin berharap bisa menenangkan.

Mendengar ucapan Cici, Selin akhirnya menoleh. "Bu.." Ujarnya lirih. "Bang Ega ajak aku pergi berkali-kali. Tapi gak tau kenapa aku gak bisa! Aku gak bisa ninggalin dia!" Tunjuk Selin pada Dion seolah sedang mengadu. Cici tersenyum paham. Dia bahkan mengelus lembut pipi Selin menghapus air mata yang sejak tadi membasahi wajah mulusnya.

"Aku mau kabur pun gak bisa karena inget dia terus Bu.." Selin kembali menunjuk Dion dengan nada marah. Ibrahim dan Cici tentu paham dengan maksud Selin.

"Maaf Lin.." Sesal Dion. Sepertinya dia tidak paham sepenuhnya.

"Kamu bener-bener harus nikahin Selin!" Ungkap Ibu.

"Hah?" Dion malah kebingungan. "Kamu mau?" Dia malah kembali bertanya pada Selin.

"Ogah!" Jawab Selin dengan senyuman samar. Cici dan Ibrahim ikut terkekeh.

"Dah ah! Kita makan yuk!" Ajak Ibrahim pada Cici dan Firza. "Biarin mereka!" Semua orang pergi meninggalkan Dion yang masih kebingungan karena Selin malah benar-benar menolaknya.

"Lin? Gue di tolak?" Tanya Dion memastikan lagi.

"Tanya aja sama diri lu sendiri!" Selin makin berbelit. Dia bahkan bangkit lalu mencari ponsel ke dalam kamarnya.

Dion tak tinggal diam. Dia membuntuti dari belakang.

"Mana bisa gue tanya diri sendiri sih Lin.. Lu ada-ada aja!" Dion kembali mempertanyakan.

"Sana ah! Gue mau mandi!"

"Ya jawab dulu kali!" Dion tak terima.

"Apaan?" Tanya Selin.

"Yang tadi.." Dion enggan mengulanginya lagi.

"Apa?" Selin ingin mendengarnya lagi.

"Mau gini terus lu?" Dion mulai kesal.

"Gini gimana?" Selin malah makin berbelit.

Dion akhirnya menungkup wajah Selin dengan tangannya kemudian..

Cup..

Sebuah kecupan bibir mulus mendarat dengan sempurna.

"Gue anggap ini setuju." ujar Dion yang lalu lari terbirit-birit.

"DION!!!!" Selin berteriak tak terima dan mengejarnya tentu saja.

Dan..

TAMAT..

Mereka nikah?
Ya..
Tapi gak ada yang berubah. Sikap mereka tetap sama. Berdebat setiap hari, tapi enggan berpisah. Kalau salah satu gak ada pasti yang satu lagi nyari-nyari sampai ketemu. Normal kan?

Ya..

Normal?

.

.

.

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top