Bab 38

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Alih-alih ke rumahnya, Ega malah meminta Dion dan Firza untuk membawanya ke kosan biasa. Ternyata Ega masih menjadi penyewa meski sudah ditinggalkan berbulan-bulan. Padahal Dion dan Firza sudah jarang menggunakannya dan lebih sering bekerja di kamar Dion saja. Baju-baju ganti Firza pun bahkan sudah masuk ke dalam lemari Dion sekarang. Firza sudah menjadi penghuni baru di rumah Dion.

Kosan yang sempat ingin mereka cari waktu itu hanya sebatas wacana tanpa ter-realisasikan. Apalagi Ibrahim dan Cici sudah membuka pintu selebar-lebarnya dan gratis. Firza tentu tak boleh melewatkannya.

Tapi ini pertama kalinya mereka kembali sejak insiden Selin kabur beberapa bulan lalu.

"Aku nginep di sini juga boleh gak Bang?" Tanya Selin ketika asik duduk disebuwh kursi sebelah Ega yang kini terlihat sedang terlelap dia atas ranjang. Namun mendengar pertanyaan Selin pada Dion tadi, membuat bibir Ega sedikit terangkat. Artinya dia tidak benar-benar tertidur.

"Gila lu! Gak ada! Gue telepon ayah buat jemput lu!" Putus Dion yang langsung menolak keras tentu saja.

"Gue anterin aja Yon." Ujar Firza.

"GAK!!" Dion dan Ega tiba-tiba langsung menjawab bersamaan.

"Kenape si?" Firza heran karena mereka begitu tidak mempercayainya. "Lagian si Selin bukan tipe gue yah! Sorry!" Firza tau betul apa yang ada dalam otak kedua sahabatnya itu.

Dion dan Ega sama-sama terdiam canggung sekarang. Entah karena merasa bersalah pada Firza, atau Dion yang takut ketahuan. Tapi wajar kan? Sikap Dion pada Selin memang selalu begini sejak dulu. Seharusnya Ega tidak berpikir macam-macam.

Firza terlihat hendak keluar. Mungkin merokok. Biasanya begitu. Sejak tinggal di rumah Dion, setiap kali ingin merokok, dia selalu pergi ke luar sekarang. Tak seperti dulu.

"Kemana?" Tanya Dion. Namun Firza hanya menoleh sekilas dan membuang muka seolah kesal.

"Sialan.." Mereka terkekeh geli melihatnya.

"Eh? Om?" Firza tiba-tiba terhenti di ambang pintu. Ternyata sudah ada seorang pria berbadan tegap dengan seragam polisi yang ia tutupi dengan jaket bomber hitam.

"Mana Ega?" Tanyanya dengan suara menggema yang entah mengapa bikin merinding. Tak sempat menjawab, pria itu langsung menerobos masuk dan melangkah menuju tempat tidur di dalam.

Selin dan Dion langsung bangkit panik tiba-tiba kedatangan pak komandan yang selalu mereka sebut-sebut mengerikan itu.

"Kenapa? Nabrak orang?" Tanya Pak Komandan tanpa terlebih dahulu menanyakan kabar anaknya yang kini bahkan masih terbaring di tempat tidur.

"Hampir Pah.. Ega banting setir ke trotoar. Gak ada yang luka kok Pah.." Jawab Ega yang langsung bangkit meski sedikit kesulitan karena memang masih lemas. Entah mengapa, penjelasan Ega pada ayahnya itu malah terlihat menyedihkan. Selin ingin marah tapi takut malah memperparah.

"Gob** lok banget sih?! Dari mana kamu?!" Suara itu makin menggelegar. Ega terlihat kebingungan. Jika dia bilang abis jemput Selin dan gak jadi antar dia pulang gara-gara dapat telepon dari ayahnya untuk segera datang ke tempat yang dia tunjuk apa tidak akan berakibat fatal?

"Hm? Dari mana?!" Tanyanya lagi masih menunggu.

"Jemput saya Om.." Selin akhirnya mengaku. Firza dan Dion terlihat kesal mendengarnya. Tak seharusnya Selin ikut campur. Akan semakin sulit nantinya.

"Saya minta Ega jemput adik saya tadi Om. Maaf.." Dion meneruskan. Dia benar-benar tak ingin Selin terlibat sekarang.

"Gak. Saya pacar Bang Ega Om.." Selin mengaku dengan tegas. Ega tertegun. Apa ini artinya Selin sudah setuju untuk tetap bersamanya apapun yang terjadi? Atau justru ini cara Selin untuk melarikan diri darinya? Mereka tau dengan jelas jika ayahnya pasti tidak akan menyukai ini.

"Kamu? Pacar Ega?" Komandan tersenyum meremehkan. Wajahnya mulai memerah karena marah. Selin, Dion, dan Ega masih menunggu apa yang kira-kira akan dia lakukan ketika mendengar pengakuan itu.

"Bener Ga?" Tanya Pak Komandan.

"Iya Pah.." jawab Ega.

"Konyol!" Sahutnya yang lalu kian mendekat ke arah Ega. Namun dengan sigap Selin menghalangi.

"Saya lapor polisi kalau Om pukul dia lagi." Ancam Selin.

"Hah?" Pak Komandan kian terkekeh tak percaya. "Mereka tau banyak soal kamu?" Tanyanya benar-benar tak menyangka.

"Lin.." Dion tak bisa lagi mencegah. Selin tak mungkin mundur jika sudah seperti ini.

"Dengar anak kecil." Pak komandan sempat menghela napas panjang kemudian berusaha menjelaskan sesuatu. "Hidup Ega lebih berharga dibanding hidup receh kalian. Jangan ganggu orang bisa gak sih? Kalian udah kayak benalu di sini. Apa? Pacaran sama Ega biar apa? Kamu dapat uang banyak? Bisa makan enak gratis?.."

"Pah!!" Sergah Ega tak terima.

"Kalian gak tau malu gini caranya!" Lanjut Pak komandan.

"Papah!!" Ega kian berteriak dengan suara parau itu. Kemungkinan teriakkan itu hanyalah sisa-sisa tenaga setelah kecelakaan tadi.

"Oke! Kamu mau pacaran sama dia? Terserah! Papah gak akan larang. Tapi secepatnya kamu harus menikah dengan orang pilihan Papah. Gak ada penolakan! Semua sudah Papah atur! Dan kamu!" Pak komandan menunjuk Selin. "Silahkan jadi cewek simpanan Ega kalau mau."

"Bunuh aja aku sekalian Pah!" Ega kian frustasi. Selin, Dion dan Firza makin prihatin mendengarnya. Meski tak ada yang bisa mereka lakukan untuk Ega sekarang.

"Gak akan semudah itu kamu mati Ega! Kamu gak bisa kemana-mana! Papah sudah atur semua hidup kamu dari A-Z. Kamu hanya perlu menikmati semuanya. Pake otak kamu! Tinggal nikmati aja apa susahnya?" Pak Komandan masih dengan kekeuh dengan pemikiran anehnya.

"Bang Ega bukan boneka Om! Kenapa dia harus selalu ikuti keinginan Om?" Tanya Selin kembali masuk dalam percakapan mengerikan itu.

"Kamu diam! Pulang sana!" Sentak Pak Komandan.

Dion perlahan mencoba mengait tangan Selin namun tertahan. Pandangan Selin kini tertuju jelas ke arah Ega. Dia menunggu. Jika Ega memintanya tinggal, Selin berjanji akan menemaninya sampai akhir.

Ega bangkit tertatih. Tangannya mengamit lembut tangan Selin.

"Kita pergi?" Tawaran ini kembali meluncur dari mulut Ega. Beberapa kali Ega mempertanyakannya. Terakhir, ketika Ega menurunkan Selin di pinggir trotoar itu dan dia kecelakaan setelah mendapat penolakan yang sama untuk yang kesekian kalinya dari Selin.

Sekali lagi. Ega hanya akan bertanya sekali lagi. Bukankah tadi Selin menggenggam tangannya dengan hangat, dan sekarang dengan berani mengakui hubungannya di depan sang ayah? Mungkinkah jawaban Selin kini akan berbeda?

"Bang.. " Ucap Selin dengan gelengan halus yang langsung tak ingin Ega dengar lagu kelanjutannya. Jika permulaannya sudah seperti itu, Ega tau apa jawaban selanjutnya.

Sepertinya sama saja. Ega langsung menyimpulkan ketika Selin bahkan baru saja menyebutkan satu kata panggilan itu saja dengan raut yang sama. Ega paham sekarang. Tak seharusnya dia berharap lebih.

"Pulang Lin.." Ega terlihat putus harapan.

"Bang.." Selin hendak meraih tangan yang terlepas itu lagi namun di sisi lain, Dion menahannya.

"Bawa adek lu Yon.." Ega kembali duduk di ranjang dan terlihat kian frustasi. Dia bahkan enggan melihat ke arah Selin lagi saking kecewanya.

Dion menarik tangan Selin dan membawanya keluar bersama Firza.

Brakkkkk
Pranggggg..
Arrggghhhh..

Deg!

Mereka kembali menoleh.

Bukan!

Pak komandan terlihat masih mematung di tempat yang sama. Suara lemparan barang dan teriakkan itu berasal dari Ega yang sedang melampiaskan betapa hancur perasaannya sekarang.

Tunggu! Apa dia sudah salah? Pikir Selin yang ingin kembali menggenggam tangan Ega. Tapi tentu saja Dion mencegahnya. Lagipula, meski ingin kembali, Selin masih tidak tau pasti apa dia bisa mengambil resiko kedepannya. Karena bagi Selin, terus bersama Ega sedangkan otak dan pikirannya selalu tentang Dion, bukankah itu bodoh namanya?

Firza pun memilih untuk mendorong mereka segera keluar dari sana.

Setidaknya kini jelas.

Seberapa dipaksa pun, perasaan itu akan tetap menemui pemiliknya.

.
.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top