Bab 37

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dion masih bersantai di balkon sejak Selin pergi tadi. Firza katanya lagi bikin mie instan buat makan siang mereka hari itu. Jadwal mereka kosong hingga dua Minggu ke depan. Semoga segera ada job buat mengisi kekosongan. Makin lama nganggur, pikiran Dion malah makin tak terkendali.

Aroma mie instan khas kini sudah tercium. Firza membawa hasil masakannya ke balkon.

"Cuma satu?" Tanya Dion.

"Iya lah.. Lu makan yang ini." Firza membawakan Dion sepiring soto ayam lengkap dengan nasi yang sudah di cemplungin ke dalam kuah soto itu.

"Nyobain dikit.." sendoknya hendak mengambil secuil mie itu di tangan Firza namun tentu saja Firza menghindar dengan cepat.

"Kagak! Makan noh! Masih panas kok! Gue beli di depan." Ungkap Firza sambil menyeruput kuah mie yang entah kenapa berwarna merah itu. Pedas kah?

Melihat tingkah Firza, Dion kehabisan kata-kata. Padahal tadi sudah membayangkan nikmatnya makan mie instan dengan kuah gurih ditambah sayuran dan telur. Tapi Firza ternyata Firza se-protect itu padanya. Entah sejak kapan, tapi lama-lama ngeselin.

Tapi bisa apa? Dion juga lapar. Soto ayam juga not bad lah.

Drrrt
Drrrt
Drrrt

Deg!

Dion melihat nama yang terpampang dalam ponselnya dan membuat debaran gila itu datang lagi.

Yap. Selin.

Firza juga melihatnya. Mereka melongo bersama saling pandang dengan pertanyaan yang sama dalam hati. Apa? Ada apa?

"Angkat bego!" Firza meminta Dion segera menerima panggilan itu. "Sekarang jam pulang. Paling minta jemput." Ujar Firza seolah tau apa yang Dion pikirkan. Padahal baru saja dua suapan dan masih belum sampai di lambung kayaknya. Dion menyimpan kembali mangkuk soto itu lalu beralih pada ponselnya.

"Ehm.. M.. Apa?" Gak tau kenapa Dion malah grogi. Apalagi Firza masih memperhatikan dan malah terkekeh melihat tingkah Dion yang sudah sangat kentara itu.

"Hmm? Apa?" Dion kembali mempertanyakan. Kali ini rautnya berubah serius. Kemungkinan memang ada sesuatu yang terjadi. "Jangan nangis bego! Ngomong yang bener!" Dion malah berteriak saking kesalnya.

"Kenapa?" Firza ikut panik melihat reaksi Dion malah seperti itu. "Sini-sini.." Firza menyimpan mienya kemudian memutiskan untuk mengambil alih ponsel Dion.

"Kenapa Lin?" Firza dengan tenang mempertanyakan meski sekilas, dia lihat napas Dion mulai tak terkendali. Dion mulai meremas dada kirinya dan Firza berusaha menenangkannya dengan sebuah tepukkan di bahu.

"Hah? Dimana lu? Kita ke sana sekarang. Tunggu. Ada siapa aja di sana?" Firza mendapat kabarnya. "Lu gak papa kan?" Dia kembali memastikan. Meski sama paniknya seperti Dion, namun Firza berusaha untuk cepat-cepat mencari solusi.

"Oke, lu tenang, gue sama Abang lu ke situ sekarang. Tunggu.." Firza memutus panggilan itu lalu melihat Dion yang kini tengah menelan beberapa pil obat-obatan yang selalu ia bawa kemana-mana sejak beberapa bulan lalu itu. Firza sempat menghela napas panjang merasa prihatin melihat Dion.

"Kasih tau bokapnya jangan?" Tanya Dion dengan tangan bergetar usai menegak air putih di gelas yang Firza bawa tadi.

"Kita liat dulu mudah-mudahan gak terlalu parah." Ungkap Firza yang kembali menepuk bahu Dion berharap dia bisa lebih tenang lagi.

"Adek gue gak papa? Gue gak sempet nanya tadi." Dion baru ingat ini saking paniknya.

"Gak papa. Katanya Ega nabrak pas udah nurunin Selin di pinggir trotoar."

"Kenapa si? Mereka berantem?" Tanya Dion.

"Gak tau. Lu tenang. Kita ke rumah sakit sekarang." Putus Firza yang lalu meminta Dion bergegas.

.
.
.
.
.
.
.
.

Firza membawa Dion ke rumah sakit yang Selin sebutkan tadi di telepon. Dia kembali menepuk bahu Dion ketika turun dari motor mencoba memastikan keadaan Dion. Meski terlihat masih panik, namun Dion mengangguk seolah menjawab tepukkan Firza tadi.

Mereka mencari Selin di UGD. Ternyata tak terlalu sulit karena memang ruangan itu sedang kosong. Sepertinya hanya mereka saja di sana. Selin sedang menunggu di sebuah bangku panjang. Begitu melihat kedatangan Dion, dia hanya melihat ke arahnya dengan mata merah.

"Mana? Ega?" Tanya Dion.

"Lagi di jahit di dalam." jawab Selin yang terlihat pucat dan lemas. Firza bergegas masuk menerobos tirai hijau itu dan langsung melihat keadaan Ega yang untungnya tidak terlalu parah. Hanya beberapa luka di tangan dan goresan kecil di wajah. Dion pun melihatnya dan bisa bernapas lega sekarang. Ega kini tersenyum sambil duduk di atas blangkar UGD.

"Gimana?" Tanya Firza ketika mereka tengah menjahit luka di tangan Ega. Dion pun menunggu jawaban. Memperhatikan wajah pias Ega yang terlihat kesakitan.

"Gak papa. Kegores doang.." kekehnya meski kembali meringis ketika dokter itu kembali mengaitkan jarum pada lapisan kulitnya.

"Tadi dia pingsan. Lama banget!" Ungkap Selin ketus bahkan tanpa berniat bangkit atau sekedar melihat ke arah Ega. Mereka kini benar terlihat seperti sedang bertengkar. Ega hanya bisa terdiam mendengarnya.

"Lu gak papa?" Dion kini bersimpuh di hadapan Selin selagi meneliti seluruh tubuhnya berharap tak ada luka apapun di sana. Namun perlakuan itu malah membuat Selin makin terenyuh.

Gep..

Selin malah memeluk Dion erat dan menangis. Kali ini ia tahan supaya tidak terdengar orang lain. Dion memahami perasaan Selin sekarang, dan hanya bisa mengelus lembut punggungnya berharap Selin segera menyelesaikannya.

"Gak papa.. Bukan salah kamu.." Ungkap Dion pelan. Ega dan Firza tentu melihatnya. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan bagi Ega, untuk marah atau cemburu pun sepertinya tidak diizinkan.

"Sudah.." Dokter selesai dengan tangan Ega yang kini terbungkus kasa putih.

"Makasih dok.." Firza mewakili ketika mereka beranjak pergi. "Masih sakit?" Tanya Firza sambil memperhatikan luka-luka Ega.

"Engga.."

"Di rawat dulu? Atau langsung pulang?" Tanya Firza lagi. Dion dan Selin kini terlihat mendekat. Ega merasa bingung melihat wajah sembab Selin sekarang.

"Langsung pulang lah. Ngapain di sini." Jawab Ega dengan kekehan kecil. Meski fokusnya tetap pada langkah Selin yang kian mendekat ke arahnya.

"Bokap lu tau?" Tanya Dion.

"Belum kayaknya." Ega masih menjawab meski terlihat begitu lelah. Namun tiba-tiba sesuatu yang hangat terasa meraba tangannya. Sadar itu ternyata tangan Selin yang perlahan menggenggam tangan kanannya, Ega menoleh kemudian tersenyum lembut. Tangan itu ia angkat untuk mengelus pelan pipi Selin seolah ingin menenangkannya karena memang dia tidak sempat bicara dengannya karena  Selin enggan mendekat sejak tadi.

Dion melihat itu, namun berusaha menahan perasaannya. Ya. Mereka memang pasangan. Ayah berharap Dion memberi mereka restu sepenuhnya. Ingat? Dion berusaha meyakinkan diri. Meski hatinya kian hancur ketika melihat Selin dan Ega kembali menautkan tangan mereka.

"Kita cari mobil buat bawa dia pulang." Ujar Firza yang langsung disambut anggukan yakin dari Dion. "Tunggu bentar." Tambah Firza yang lalu bergegas pergi bersama Dion.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top