Bab 36
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Bang.. Kenapa bahas ini lagi sih? Kita kayaknya udah baik-baik aja sekarang." Selin kembali menambahkan. Berusaha supaya Dion tidak terlalu memikirkannya. Mereka masih enggan beranjak dari balkon. Pikiran Dion masih kusut meski hanya terdiam saja sejak tadi. Karena ini Selin berusaha untuk membuatnya bicara lebih banyak.
"Baik-baik aja gimana? Lu di pukulin kan kemarin?" Dion juga mengingat jelas hal ini. Luka di tangan Selin bahkan terlihat membekas. Mana bisa disebut baik-baik saja. "Lu paham gak sih? Dulu gue bilang sama semua orang kalau lu adik kandung gue itu biar gak ada yang berani gangguin lu. Gue cuma pengen lu aman. Tapi begonya gue, kenapa bisa-bisanya malah anggap lu bener-bener adik kandung gue. Bisa-bisanya otak gue malah anggap itu benar-benar nyata." Dion terkekeh tak habis pikir.
Kali ini bukan ingatan yang dia andalkan. Dion rasa, alasan kenapa Dion sampai melupakan ini adalah supaya semua orang percaya, jika Selin memang benar-benar adik kandungnya. Perasaan Dion mengatakan seperti itu.
"Jangan gitu dong Bang.. Setelah ingat aku bukan adik kandung Abang, aku gak diterima lagi gitu di sini?" Mata Selin memanas karena ucapan Dion tadi. Dia tersinggung. Bukankah alasan dia disini adalah Dion? Lalu apa yang akan terjadi jika Dion pun sudah tidak menginginkannya lagi? Padahal seharusnya dia tau, maksud perkataan Dion bukanlah ke arah sana.
Ya. Selin salah paham dengan sikap Dion yang padahal sama sekali tidak seperti yang dia kira. Selin mulai menyimpulkannya sendiri.
"Ini juga yang aku takutin. Kalau aku jujur soal ayah kandungku, Abang pasti ninggalin aku. Ibu dan ayah minta aku tinggal itu gara-gara mereka pengen Abang gak sendiri. Kalau Abang-nya udah gak butuh aku,.. Terus.. Gimana.." Selin makin lirih. Bahkan air matanya berjatuhan tanpa bisa ditahan. Tangan yang semula mengambang di udara, kini berusaha untuk kembali mengait sweater Dion seolah itu adalah permohonan supaya tidak ditinggalkan.
Gep..
Dion menarik Selin ke dalam pelukannya tiba-tiba. Tangisan Selin kian pecah. Menunjukkan betapa tertekannya dia selama ini.
"Bego lu! Jangan nangis cengeng!" Dion mengelus pelan kepala Selin berusaha menenangkan. Namun bukannya berhenti, Selin malah makin menjerit. "Ssstt Ayah sama ibu nanti denger.." Dion masih berusaha meminta Selin berhenti menangis dengan elusan lembut.
"Terus gimana?? Aku gak mau ke sana lagi! Dipukulin sakit bang!" Keluh Selin yang masih juga menangis dalam pelukan Dion. Selin benar-benar tak ingin kembali ke rumah ayah kandungnya.
"Siapa bilang lu harus ke sana lagi? Abang gak kasih izin juga!" Dion beberapa kali menepuk-nepuk punggung Selin sebelum mengurai pelukannya. "Denger. Mulai sekarang, Abang pengen kamu jujur tentang apapun. Gak boleh bohong-bohong lagi. Bisa?" Dion berharap satu kata 'ya' atau sebuah anggukan pun gak masalah. Tapi sepertinya Selin memikirkan hal lain.
"Gak tau.." Selin menghapus air matanya dan menjawab dengan isakkan halus.
"Kenapa gak tau?" Tanya Dion heran.
"Ya.. Tergantung situasi.. Aku gak tau mungkin aja kedepannya aku bakal bohong lagi sama Abang. Aku gak bisa janji.." jelas Selin yang langsung mendapat sentilan keras di dahinya.
"Ssss.. Sakit bang!" Meski dengan mata basah, Selin masih bisa marah ketika Dion malah menyentilnya tanpa belas kasihan. Namun setelahnya dia bisa lega karena melihat Dion kembali tersenyum lebar bahkan bisa dibilang setengah tertawa.
Deg!
Dia benar-benar gak ada tandingannya. Okelah bang Ega memang tamvan. Tapi bang Dion lebih dari itu. Cara dia menenangkan Selin tadi, cara dia berbicara dan berkomunikasi dengannya, bahasa tubuh dia, cara berpikirnya, gerak gerik, cara dia melihat ke arahnya, semua tidak ada yang bisa menggantikan. Bagi Selin, Dion pemenangnya. Selalu seperti itu meski Selin tak pernah berani mengakui selama ini. Bahkan memikirkannya pun terasa berdosa.
"Kalian romantis banget kalau dipikir-pikir.."
Deg!
"Setan!" Dion benar-benar terhenyak mendengar ucapan yang tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Ternyata Firza sedang memperhatikan sejak tadi. Melipat tangannya di dada kemudian menghampiri mereka seolah memisahkan keduanya. Dia berdiri ditengah-tengah dengan tatapan aneh.
"Rokok gue mana?" Tanya Firza.
Dion mengeluarkannya dari saku kemudian memberikannya beserta korek api tentunya.
"Kenapa lu di sini terus si perasaan?" Keluh Selin.
Firza tak menanggapi dan dengan tenang menyalakan sebuah rokok di tangannya, kemudian menghisap dalam-dalam dan menghembuskan ya kuat-kuat.
Fyuhh...
"Jadi kalian bukan saudara kandung?" Tanya Firza lagi.
"Lu dengerin kita dari tadi?" Tanya Dion heran.
"Pantes, selama ini gue selalu anggap kalian aneh." Firza berpikir keras soal ini. "Beberapa kali, gue selalu ngerasa kalau kalian tuh pasangan suami istri yang lagi ngambekan. Ternyata ini alasannya." Firza bagai menemukan jawaban atas keresahannya selama ini.
"Lu ngomong apa si?" Elak Dion. Sedangkan Selin, hanya bisa mematung tanpa berkomentar apapun. Kalau salah bicara, bisa abis. Selin memilih untuk diam saja.
"Yon.. Normal kali, suka sama Selin. Dia bukan adek kandung lu kan? Harusnya sih aman. Tapi masalahnya, Ega sahabat lu Yon.." Firza sepertinya lebih paham perasaan Dion. Padahal Dion sendiri masih enggan mengaku.
"Apaan si lu ah!.."Dion lebih memilih untuk menghindar. Bahkan dia tak berani menatap ke arah Selin lagi gara-gara ucapan Firza ini.
"Lah.. Kalian jelas kok." Firza masih mengungkapkan teorinya meski Dion sudah masuk ke dalam kamar dan menutupnya rapat-rapat. "Ya kan? Ngaku aja lu!" Firza balik menuduh Selin sekarang.
"Ngarang lu!" Selin berusaha untuk mengelak sama seperti Dion tadi.
"Eh! Lin.. Cinta itu gak bisa milih. Rasa yang di kasih random sama Tuhan, ya tinggal lu terima dengan lapang dada. Ngapain kalian nyiksa diri dan begitu peduli sama persepsi orang lain?" Lanjut Firza.
"Ngomong apa si lu?" Selin enggan menanggapi. Dia memilih melakukan hal yang sama dengan Dion. Masuk ke kamar dan mengunci diri rapat-rapat. Orang luar seharusnya tak ada yang tau. Kenapa malah cowok nyentrik macam Firza yang hampir membongkarnya?
Jantung Selin masih berdebar tak karuan bahkan setelah masuk ke dalam kamarnya.
Sialan.
.
.
.
.
.
.
.
.
Keesokan paginya, Selin keluar kamar seperti biasa. Sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Dan dalam waktu bersamaan, Dion pun keluar dengan pakaian seadanya. Kolor pendek, dan kaos katung yang entah mengapa ia kenakan pagi itu. Mungkin karena semalam terlalu panas?
"Pakaian lu kayak Tarzan bang!" Selin memandang jijik meski dalam hati, jantung sudah tak karuan. Bahkan ketika berpapasan tadi, Selin sempat menelan ludah karena kulit putih bersih Dion yang selalu tertutup baju panjang atau sweater itu kini terlihat jelas.
"Hm?" Dion kini malah salting sendiri. Biasanya langsung menyangkal atau paling tidak menyentil mulut Selin yang selalu sembarangan itu. Tapi kali ini berbeda. Dion malah kembali ke dalam kamarnya tanpa berkata apa-apa hingga membuat Selin tertegun.
Lah?
Kenapa? Tersinggung lagi dia? Pikir Selin.
Bukan tersinggung! Tapi malu. Dion terlihat panik di balik pintu. Dia bahkan memperhatikan pakaian itu dan makin merasa dipermalukan oleh pemikirannya sendiri.
"Biasa aja kali Yon.. Kalau gini, keliatan banget lu suka sama adek lu.."
Deg!
Firza ternyata sedang memperhatikan selagi bersila di atas kasur dan melipat kedua tangan di dada selagi melihat tajam ke arah Dion.
Sss.. Dion sempat meremat jantungnya selagi menghirup udara dalam-dalam. Sejak kemarin sepertinya jantung itu selalu berulah. Sesak dengan detak cepat. Bagi Dion, ini melelahkan. Haruskah meminta pendapat Firza yang kelihatannya memang lebih tau itu?
"Gue harus gimana?" Dion akhirnya mendekat dan berjongkok selagi bertumpu pada kasur.
Perlahan, tangan Firza melayang kemudian menyentuh kepala Dion seperti hendak membaca apa yang ada dalam kepala Dion.
"Bilang sama bokap lu.. Lu mau nikahin Selin!" Ucap Firza yang bahkan mengatakannya dengan mata terpejam. Tingkahnya udah kayak dukun profesional. Firza jagonya.
"Gob**lok!" Dion langsung menepis tangan itu lalu kembali bangkit dan enggan menanggapi kelakuan Firza yang makin tak masuk akal.
"Gue rasa kalian lama-lama juga bakal jadian.. Percaya sama gue." Lanjut Firza yakin seyakin-yakinnya.
Dion hanya melihatnya sekilas tanpa berniat menanggapi.
Gak mungkin! Dia sama Selin itu konyol kalau sampai punya hubungan romantis. Gak semudah itu mengganti hubungan persaudaraan dengan hubungan seperti itu. Semua orang jelas akan mengutuknya. Akan sulit bagi Selin, dan bahkan seluruh keluarganya nanti juga kemungkinan akan menanggung malu. Gue gak se-bejad itu. Pikir Dion.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top