Bab 35
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Mab**ok yuk!" Ajak Dion ketika dirinya tengah berbaring di tempat tidur selagi melongo gak jelas sedang Firza tengah berguling-guling di lantai kamar Dion bersama laptopnya.
Setelah obrolan panjangnya dengan Ibrahim, Dion tak bisa fokus pada pekerjaan. Bahkan untuk tidur pun sulit. Dion hanya berguling-guling di atas kasur dengan rentetan pikiran-pikiran liar yang jelas begitu mengganggu itu. Bahkan celetukkannya sudah tidak masuk akal sekarang.
"Lu mau mati cepet?" Firza tentu saja menolak. Ucapan Ega tentang Dion waktu itu, juga beberapa kali melihat Dion kesakitan membuatnya merasa punya kewajiban untuk menghindarkan Dion dari hal-hal yang bisa membuat kesehatannya kian memburuk. Firza enggan mengambil resiko.
Tak menjawab pertanyaan sarkas dari Firza, Dion kembali membungkus dirinya dengan selimut. Berusaha meredam denyut pening di kepala berharap dengan menutup mata, semua akan mereda.
Namun tentu tak segampang itu. Setelah mengetahui kebenarannya, juga menyadari ingatan yang hilang itu, bisakah Dion bersikap sama seperti sebelumnya? Dan lagi, Selin? Bukankah dia tau jika Dion bukanlah kakak kandungnya selama ini? Tapi kenapa sikapnya benar-benar seperti adik kandung? Benarkah tak ada rasa apapun selama ini? Tiba-tiba Dion merasa tidak adil jika hanya dirinya yang memiliki perasaan seperti ini pada adiknya sendiri.
Ya.
Dion baru berani mengatakannya seperti itu meski masih sebatas berkumul dalam benaknya saja. Itupun dia merasa berdosa ketika memikirkannya. Pantaskah? Normal kah? Wajar kah? Dan.. Bolehkah?
Arggghhhh!!!
Dion menyibak kasar selimutnya kemudian bangkit lalu pergi ke luar menuju balkon. Sebelum itu, dia sempat mengambil rokok milik Firza yang tergeletak di lantai.
"Heish!!" Firza hendak melarang tapi tak tega. Dan bukankah kalau di larang pun akan percuma? Dion pasti tak mau mendengarkan.
Ah.. Sudahlah.. Firza kini berusaha mengerjakan seluruh pekerjaan itu saja. Entah apa yang sedang Dion pikirkan, selama uring-uringan tadi, dia tak mengatakan apapun. Namun meski begitu, Firza setidaknya membantu Dion dalam hal lain.
Sedangkan di balkon itu, Dion mulai menyalakan sebatang rokok yang kemudian ia hisap dalam-dalam meski setelahnya terbatuk. Ya. Paru-parunya sudah tak sebagus dulu. Kini bahkan kesulitan untuk menerima asap nikotin itu.
Semilir udara dingin di malam yang pekat itu mulai menerpa wajahnya. Dion kembali menyesap rokok berusaha untuk membuat tubuhnya hangat. Setidaknya asap itu panas meski hanya sampai bibir saja.
Dion mengantungkan sebelah tangannya ke dalam saku celana training yang dia kenakan. Bahkan udara dingin malam itu masih menembus sweater crewneck yang ia kenakan. Padahal seharusnya musim penghujan sudah mereda di bulan ke tiga ini kan? Atau rasa dinginnya sebab hal lain?
"Ngapain lu?!" Tiba-tiba suara lengkingan itu terdengar dari arah belakang. "Enak bener malam-malam gini nyebat?" Itu suara Selin. Dion sudah memastikannya ketika menoleh tadi. Sejak kapan dia berdiri di ambang pintu begitu? Padahal tadi Dion tidak mendengar Selin pulang.
Sepertinya memang baru naik. Terlihat jelas dia bahkan masih mengenakan baju tadi siang. Dan jas milik Ega tentunya. Bikin makin gedeg aja liatnya.
"Lu bosen idup lu kayaknya.." Selin masih mengomel meski tetap mendekat ke arah Dion. "Buang gak!" Selin berusaha merebut namun Dion menghindar dengan cepat. "Bang!" Selin makin kesal karena bagaimanapun dia berusaha mengambilnya, Dion tetap enggan membuang rokok itu.
Tak ada yang bisa Dion katakan saat itu. Ditengah pikiran-pikiran kacaunya, dia hanya bisa melakukan apa yang Selin benci. Ya.. Merokok aja.
Brukkk!!
"Anj***ing!" Dion mengumpat setelah Selin memukul wajah Dion dengan tas miliknya tepat ketika dia kembali mengisap rokok itu.
"Mampus!" Selin menginjak rokok Dion yang jatuh menggunakan kaki kosong.
"Eh?" Dion tentu panik karena biar bagaimanapun, dalam rokok itu masih ada bara api. "Panas?" Tanya Dion yang kini malah lebih khawatir pada kaki Selin.
"Gak. Lu gak liat lantainya basah?" Selin memang tak merasakan apapun namun lain dengan jantungnya yang lagi-lagi berpacu hebat sebab perlakuan Dion. Entah kali ke berapa, namun Selin masih merasa perasaan itu salah. Karena ini dia selalu menghukum dirinya sendiri dengan mencari pasangan yang salah. Sepertinya Ega pun sama saja. Meski sempat terpukau dengan ketampanannya, namun ternyata perasaan Selin tidak berubah sama sekali. Dion tetap pemenangnya.
Dion menghela napas panjang usai melihat kaki Selin yang memang tidak ada luka apapun. Dia kembali berdiri lalu bertumpu pada pagar besi itu. Lagi-lagi dia tak tau harus berkata apa.
"Sorry yang tadi.. Harusnya gak ngomong gitu.." Selin memulainya ketika melihat Dion hanya diam.
"Hmm.." Dion hanya menanggapi dengan deheman kecil yang bahkan hampir tak terdengar. Selin malah makin tak enak hati. Karena dalam benaknya, ini berarti Dion benar-benar tersinggung soal tadi.
"Jangan marah Bang.. Aku buatin mie deh. Kali ini gak pake cabe. Pake sayur, pake telur dua. Mau?" Selin masih berusaha.
"Gak laper gue." Jawab Dion yang masih juga dingin. Selin makin kebingungan. Dia bahkan merasa Dion asing sekarang. "Lin.."
"Hm?"
"Mana hp lu?" Dion malah meminta hp Selin. Tangannya melayang di hadapan Selin sekarang.
"Buat apa?" Selin masih mempertimbangkan untuk memberikan saja atau tidak sama sekali.
"Mana?!" Dion menaikkan suaranya meminta Selin cepat-cepat memberikan apa yang dia pinta.
"Buat apa si bang?" Meski masih bertanya, Selin benar-benar tak bisa menolak. Dia langsung memberikan ponselnya meski penasaran, apa yang hendak Dion lakukan dengan itu.
Tak ada jawaban pasti, Selin akhirnya lebih mendekat saja. Memperhatikan kemana Dion akan pergi dengan ponselnya. Dan ternyata, Dion membuka galeri dan mencari foto ibu dan bayi yang pernah Selin perlihatkan padanya ketika itu. Meski sekilas, ada beberapa foto Selin dan Ega yang sempat membuat Dion kembali terbakar.
"Ini.. Dia ibu tiri lu kan?" Tanya Dion.
Deg!
"Abang inget?" Selin refleks bertanya.
"Lu tau, gue lupa tentang hubungan kita yang gak se-darah?" Selin makin terkejut mendengarnya.
"Siapa yang ngasih tau Abang?" Selin malah balik bertanya.
"Ayah lah!" Jawab Dion tanpa berusaha menutupi.
"Ah.. Ayah.." Selin mengangguk paham.
"Kenapa lu bohongin gue?" Tanya Dion.
"Bohong apa?" Pertanyaan Selin membuat Dion tak habis pikir. Haruskah mempertanyakan padahal sudah sangat jelas.
"Lu bilang hikking?"
Selin terdiam sesaat. Memandangi wajah Dion yang mulai memerah karena amarah. Mungkin sudah ditahan sejak tadi. Tak seharusnya Selin memperparah.
"Bang.." Selin merengkuh kedua tangan Dion berusaha menjelaskan dengan tenang. "Memangnya apa yang patut dibanggain dari ayah yang pemarah? Harga diriku jatuh kalau Abang tau, aku masih nyamperin orang itu meski tau apa yang akan aku dapat setelahnya. Kayaknya gak perlu diceritain. Bahkan ibu pun udah larang sebenarnya. Tapi gak tau kenapa aku gak bisa abai gitu aja. Malu sebenarnya bang.." Ungkap Selin.
"Dan lagi, Abang inget gak? Waktu pertama kali Abang masuk SMP, kita pernah pulang sekolah bareng? Abang jemput aku waktu itu, dan di jalan aku ketemu ayah kandungku dan kita sembunyi bareng-bareng. Aku narik Abang ke belakang gang di balik toren air biar dia gak bisa liat kita. Di situ Abang nanya, kenapa kita sembunyi? Dan aku ceritain semuanya. Tapi setelah tau Abang malah pingsan dan aku cuma bisa nangis se-kenceng-kencengnya supaya bisa didenger orang lain. Sejak saat itu, Abang punya cerita lain tentang aku."
Dion mendengarkan dengan seksama dan benar. Kali ini dia bisa mengingat memori itu meski samar.
"Cerita lain gimana?" Tanya Dion.
"Abang bilang ke semua temen-temenku kalau aku adik kandung Abang. Kita keluarga asli, dan kita bener-bener satu darah. Aku gak bisa bantah itu karena takut Abang kenapa-kenapa." Selin kembali mengenang masa-masa itu meski sebenarnya ini adalah penyesalan terbesarnya. Kenapa? Sebab karena ini dia merasa berdosa ketika sadar ternyata perasaannya pada Dion lebih dari sekedar kakak beradik.
"Terus kenapa bohong soal gunung Flora?" Tanya Dion lagi yang masih belum paham arah pembicaraan Selin.
"Ya biar Abang gak bahas soal ayah kandungku lagi. Kupikir waktu itu gara-gara ini Abang pingsan. Aku gak berani bahas lagi. Bahkan kalau pun harus pergi ke rumahnya, aku selalu sembunyi-sembunyi. Pergi ketika Abang gak tau, dan pulang sebelum Abang tau. Atau kalau terpaksa, ya bohong." Selin menjawabnya dengan jujur sekarang. Ini yang dia harapkan sejak lama. Entah sudah berapa lama ia pendam, namun Selin merasa lega untuk ini.
Sedangkan Dion, lagi-lagi malah merasa menjadi orang bodoh yang tidak tau apa-apa selama ini. Apa ini artinya, dia diberkahi kasih sayang yang berlimpah, atau mereka hanya meremehkannya saja? Entahlah..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top