Bab 32
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tuk
Tuk
Tuk
Selin menuruti perintah ayahnya tadi. Setelah membersihkan diri, dia mengetuk pintu kamar Dion kemudian membukanya bahkan tanpa mendapat izin.
"Keluar!" Akhirnya dia malah mendapat tatapan tajam ketika hendak masuk. Namun Selin tak menghiraukan. Dia tetap melangkah maju lalu menutup pintu kamar Dion rapat-rapat.
"Keluar gak?!" Dion kembali berujar dengan nada tegas. Namun Selin tetap bergeming di tempat. Selin sempat meremat ujung sweater yang dipakainya, menunjukkan bahwa dia sedang gelisah. Dia bahkan hanya bisa menggeleng ketika mendapat tatapan itu. Ini pertama kalinya Dion melihatnya seperti ini. Selin sempat ketakutan. Apalagi sedetik kemudian, Dion bangkit dari kursi, lalu mendekat ke arah Selin dengan wajah mengerikan.
"Keluar!" Dion kini malah mendorongnya paksa, berusaha membuat Selin keluar dari kamarnya.
"Bang.." Selin menahan namun tak berani melihat ke arahnya. Dia hanya bisa menangis. Tubuhnya sengaja ambruk dan hanya bisa menjerit-jerit tanpa menjelaskan apapun.
Ya.
Semenjak kecelakaan bersama Dian, Dion kehilangan sebagian memorinya karena trauma. Dan dia tidak pernah tau jika Selin adalah adik yang diadopsi untuk menemaninya saja. Semua orang sudah membahas ini. Mereka memilih untuk mengiyakan memori yang Dion ingat saja. Tanpa menambah atau mengurangi untuk menjaga supaya mentalnya tetap stabil. Ini sebabnya Selin tak bisa mengatakan kemana dia pergi kemarin.
Dion mendesah ketika melihat Selin malah meraung-raung di lantai. Padahal seharusnya dia bicara atau paling tidak menjelaskan.
"Berisik!" Sentak Dion yang langsung membuat tangisan itu terhenti meski hanya sejenak.
"Ba..ng..?" Selin kian hancur. Apa Dion tak bisa menerimanya lagi? Jika seperti itu, untuk apa dia di sini? "Abang jangan gituuu.." Lirih Selin yang kembali menangis tanpa bisa di tahan.
"Diem Lin!" Dion akhirnya ikut duduk di lantai mencoba menghentikan tangisan sang adik dengan mengatupkan mulut Selin dengan sebelah tangannya.
Dion memperhatikan wajah merah Selin dan kemudian menghapus air mata di pipinya. Selin masih segukan namun kini sudah bisa menghentikan tangisan itu meski masih ada rasa sesak yang tersisa.
"Kemarin kemana si lu?!" Dion akhirnya bertanya.
"Daki gunung Flora." Jawab Selin yang sepertinya sudah mempersiapkan kebohongan ini untuk Dion.
"Ayah nyari lu ke Prau. Pantes gak ketemu." Dion kembali mendesah dengan senyuman kecil seperti meremehkan. Meski begitu, dia tetap lega melihat Selin bisa pulang dengan selamat.
"Kenapa jauh-jauh ke Flora si? Ada apa di sana?" Tanya Dion masih penasaran.
Selin kembali menghapus air matanya lalu berpikir keras untuk menjawab berusaha untuk tidak meninggalkan kecurigaan apapun.
"Awalnya cuma mau sehari doang. Tapi ternyata di sana nyaman. Ku pikir sehari lagi. Dan sehari lagi. Tapi malah kebablasan. "Pas denger Abang masuk rumah sakit, aku pengen pulang sebenernya. Tapi gak bisa.."
"Kenapa?"
"Abang tau, aku tinggal dimana pas di Flora?" Selin mulai mengarang bebas. Dan sepertinya memang sudah dia persiapkan sejak awal.
"Dimana?"
"Aku numpang sama warga sekitar. Nginep di rumah mereka berhari-hari dan bikin aku tau kehidupan mereka. Udah kayak lagi KKN kan bang?" Kekeh Selin yang entah mengapa membuat raut Dion mulai berubah menghangat. Sepertinya berhasil.
"Pas aku nelpon Abang itu, sebenarnya aku mau minta tolong sama Abang. Di sana tempatnya terpencil. Sinyal pun harus cari-cari ke rumah yang pasang wifi. Malam itu, ibu yang aku tumpangi rumahnya mau melahirkan. Aku tadinya mau minta Abang buat carikan bidan dan bawa ke sana. Tapi katanya percuma. Akses jalan di sana cukup sulit. Akhirnya mereka memilih untuk membantu ibu-ibu itu lahiran mandiri."
"Kenapa lu gak langsung bilang aja si waktu itu?" Dion kesal sendiri.
"Lah Abang malah marah-marah terus! Bentak-bentak lagi nyuruh aku pulang. Terus belum sempet bilang malah pingsan! Bang Firza juga ikutan marah-marah lagi. Kesel banget. Makannya kesehatan itu di jaga bang!"
"Terus gimana?" Dion mengalihkan.
"Ya terus bayi itu lahir. Dia cantik. Dan setelah itu, kita ngadain syukuran. Seharusnya setelah tujuh hari, atau setelah tali pusarnya putus. Tapi karena aku bilang mau pulang, akhirnya mereka ngadain syukuran lebih cepat." Dion mengangguk paham sambil terus memperhatikan raut wajah Selin ketika bercerita.
"Lu gak lagi ngarang cerita kan?" Entah mengapa ada satu titik di hati Dion yang merasa Selin tidak mengungkapkan semuanya. Meski ketika mendengar cerita itu, Dion benar-benar percaya.
Selin mengeluarkan ponsel miliknya kemudian menunjukkan sebuah foto. Di sana terlihat dirinya selfi bersama seorang ibu dan anaknya yang baru lahir.
Tak semua cerita Selin adalah kebohongan. Untuk nama tempat dimana Ayah kandungnya tinggal memang di gunung Flora. Lalu tentang bayi itu, adalah adik dari ibu tirinya. Ketika Selin di siksa oleh ayahnya, ibu tiri Selin membantu dan akhirnya malah terpaksa lahiran prematur. Meski begitu, Selin tetap senang mereka berdua selamat. Walaupun setelahnya Selin kembali mendapat siksaan setelah dokter-dokter itu menjelaskan pada sang ayah berbagai resiko bayi prematur. Ayah kandung Selin menyalahkannya.
"Ini bayinya?" Dion mengambil alih ponsel itu kemudian memperhatikannya dengan seksama. Senyuman samar terlihat di ujung bibir Dion ketika melihat Selin tersenyum dalam gambar itu.
"Lain kali kalau mau hikking bilang. Kalau gak berani minta izin ibu, seenggaknya izin sama Abang. Biar Abang tau kamu kemana." Dion kembali memberikan ponsel itu pada Selin.
Ini akhirnya? Dion sudah memaafkan? Senyuman Selin mengembang begitupun dengan kedua tangannya yang terbentang seolah meminta sebuah pelukan.
"Apa?" Tanya Dion sinis.
"Peluk.." Pinta Selin.
"Kagak!" Dion bangkit seolah enggan.
"Abaaangg!!!" Selin mengikutinya tanpa bisa menahan perasaannya lagi. Dia bahkan langsung memeluk Dion dari belakang tanpa aba-aba.
Deg!
Agh.. Apa penyakitnya kambuh lagi? Kenapa debaran ini makin menggila? Dion bahkan tak bisa bergerak sama sekali saat itu.
"Maaf udah bikin kalian khawatir. Setelah dari sana, aku pikir kayaknya aku bener-bener gak bisa hidup tanpa kalian. Kalian segalanya. Aku sempet mikir, gimana kalau ibu ngusir aku kalau aku pulang nanti? Tapi setelah diingat lagi, gak papa. Di usir pun aku bakal balik lagi. Tidur di teras pun gak papa asal sama kalian. Aku bener-bener minta maaf Bang.." Ungkap Selin sambil memeluk pinggang Dion dari belakang. Dia merasakan betapa nyamannya punggung itu. Dan betapa dia begitu merindukannya selama beberapa hari kebelakang. Selin bahkan takut jika dia tak bisa lagi bertemu dengan Dion kemarin.
"Iya! Jangan di ulang lagi!" Dion melepas pelukan itu karena debarannya makin menggila. Dia bahkan mundur selangkah berharap meredakan jantungnya yang kian tak terkendali.
"Tapi bang.." Selin kembali mendekat hingga membuat Dion kembali mundur setitik. "Aku kayaknya mau jadi bidan aja." Selin seolah sudah memutuskan masa depannya.
Dion tersenyum lega sambil mengangguk. Tangannya tanpa sadar mengayun, kemudian menepuk dan mengelus lembut kepala Selin.
Gep..
"Aku sayang Abang.." Ungkap Selin yang kemudian membuat Dion bergidik dan cepat-cepat melepas pelukan itu.
"Pergi lu!" Dion ingin menetapkan batasan. Namun Selin berusaha kembali memeluk yang tentu saja di tahan oleh Dion.
"Jijik banget lu sama gue?!" Selin akhirnya kesal sendiri.
"Sana lu!" Dion kembali mendorong Selin keluar kemudian menutup pintu itu rapat-rapat.
Hough..
Dion menyentuh dada kirinya yang masih juga bergetar hebat.
Apa perlu minum obat? Pikirnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top