Bab 3

.
.
.
.
.
.

Beberapa hari kemudian, Selin benar-benar tidak ada jadwal apapun untuk liburannya kali ini. Empat hari kedepan pasti akan sangat membosankan mengingat tak ada kegiatan apapun di hari libur nasional kemerdekaan tahun ini.

Sebenarnya Selin sempat ikut acara tahun-tahun sebelumnya. Namun entah mengapa tahun ini memutuskan untuk tidak ikut serta dan memilih berdiam diri saja di rumah. Ingat? Skincare itu mahal. Selin enggan mengorbankan perawatannya selama ini hanya untuk satu dua hari berjemur di lapangan itu dan bikin kulitnya gosong lagi. Habis-habiskan uang aja. Pikirnya.

Keluar dari kamar, Selin sempat melihat pintu kamar Abangnya sedikit terbuka.

Oh? Abang pulang? Pikirnya.

Turun dari tangga, suara televisi yang menyiarkan upacara bendera di Ibukota Negara yang baru sedang bergemuruh. Padahal tak seorangpun yang duduk menonton di sana? Siapa memangnya yang menyetel suara tv sekencang itu tapi tidak dia tonton?

"Bu..." Selin mencari-cari keberadaan ibunya di dapur,  di taman belakang, ruang tamu, garasi depan, bahkan di kamarnya yang memang tidak menemukannya dimana-mana.

"Ibuuuu....." Selin kembali berteriak memanggil namun sama sekali tak ada jawaban apapun.

Apa tidak terdengar karena suara tv?

Selin mengambil remote di sofa kemudian mengecilkan volumenya.

"Ibuu..." Untuk yang kesekian kalinya, Selin kembali mencoba memanggil berharap kali ini ada jawaban.

Cklek.. Blub..

"Berisik!!"

Deg!

Wow!

"Eh? Bang Ega.." Sumpah demi apapun, jantung Selin langsung dangdutan melihat Bang Ega tiba-tiba keluar dari kamar mandi rumahnya dengan handuk basah di kepala.

Gak! Jangan mikir macem-macem! Ega berpakaian lengkap meski sepertinya baru selesai mandi. Teman dekat Bang Dion yang satu ini memang favorit Selin sejak pertama kali bertemu dua belas tahun silam. Waktu itu mereka bahkan masih duduk di bangku SD. Selin tak menyangka pertemanan mereka bisa se-awet ini. Hingga membuat selin bisa terus ngecengin bang Ega.

Meski kayak harapan yang gak mungkin di gapai, namun setidaknya Selin masih bisa menikmati paras tamvan bang Ega. Kalau sampai frontal terang-terangan memperlihatkan rasa suka, Bang Dion pasti garda terdepan yang melarang. Apalagi dengar-dengar Bang Ega sering gonta-ganti cewek. Makin tertutup lah harapan Selin. Tambah lagi, beberapa tahun kebelakang, Selin sempat keceplosan bilang kalau dia suka Bang Ega dan membuat Bang Dion marah besar dan kabur dari rumah selama sebulan. Selin tak berani lagi sejak saat itu.

"Kamu gak tau Ibu sama Ayah kamu ikutan upacara hari ini?" Tanya Ega yang kemudian menepuk-nepuk kepala Selin hingga membuat pipinya merona. Salting gak tuh?

"Oh? Memangnya sekarang tanggal berapa?" Selin makin dungu. Keliatan banget otaknya makin koslet. Gimana gak koslet, di depannya sekarang lagi ada Byeon Woo-seok lokal yang tak kalah mempesona. Dalam hati, kapan Selin bisa dengan bebas mengutarakan hatinya tanpa terhalang si tua Bangka Dion? Hah.. Apes. Gumam Selin.

"Kamu kenapa ada dirumah?" Tanya Ega yang kemudian melangkah ke arah dapur untuk mengambil segelas air putih lalu menegaknya sampai habis. Dan itu seksi guys. Selin makin ketar-ketir.  Kalau udah luwes banget di rumahnya kayak gini, Bang Ega harusnya gak susah kan buat menyesuaikan diri jadi mantu keluarga ini? Pikiran Selin yang makin kemana-mana.

"Kenapa?" Selin bahkan tak bisa fokus dengan pertanyaan Ega sejak tadi.

"Dih.." Ega terkekeh kecil, melangkah mendekati Selin lagi, kemudian menyundul kepalanya dengan telunjuk. "Kamu belum bangun ya?" Tanya Ega dengan senyuman khas. Gigi rapi itu kini terlihat jelas bahkan bau sabun di tubuhnya masih tercium hingga membuat Selin makin panik gak karuan. Apalagi, aroma sabunnya sama persis seperti aroma yang ia pakai setiap hari. Makin berasa intim gak sih?

Ayolah.. Kondisikan Selin!

"Abang kamu sakit di atas. Tante Cici minta Abang buat jagain Dion. Katanya kalian lagi berantem ya? Kali ini gara-gara apa? Dion telat jemput?" Ega menjelaskan dengan suara beratnya yang membuat Selin malah membeku. Apalagi saat tau ternyata Bang Dion sakit. Padahal harusnya begitu keluar kamar tadi, Selin melihat keadaannya dulu. Dia merasa bersalah karena ini. Padahal pertemuannya terakhir dengan Dion benar-benar buruk. Apa pertengkaran itu yang menyebabkan Dion sakit?

"Sakit apa?" Tanya Selin.

"Kemarin kayaknya demam. Mudah-mudahan sekarang udah turun. Gimana ya?"

"Gimana apa?"

"Abang sekarang harus ngampus. Mau ngejar Dosen yang katanya tiba-tiba mau datang kampus hari ini jam sembilan. Kalau gak ngejar sekarang bisa-bisa abang gak lulus lagi. Telat dua tahun gak enak Lin. Abang di omelin mulu sama Papah." Ungkap Ega.

"Oh.. Abang pergi aja. Biar Bang Dion sama aku." Selin tak keberatan. Apalagi sejak tadi melihat berbagai ekspresi dari Ega dengan senyuman yang bikin leleh itu setidaknya membuat hati Selin terhibur pagi-pagi begini. Dan lagi, sudah seharusnya Selin mengurus Dion. Itung-itung jalan supaya bisa baikan lagi. Gak enak lama-lama musuhan. Pikir Selin.

"Tapi masih jam tujuh sih, siapa tau Tante Cici keburu pulang." Ungkap Ega.

"Kampus Bang Ega kan jauh?" Selin mengingatkan.

"Ah, gampang. Motor Abang gak malu-maluin kok.." Ega kembali mengusap pucuk kepala Selin kemudian melangkah menuju tangga.

Selin juga penasaran dengan keadaan sang kakak. Meski nyebelin, tapi tetap sayang juga. Mana mungkin dibiarin gitu aja ya kan? Selin akhirnya memutuskan untuk melihat keadaannya terlebih dahulu. Semoga tak terlalu parah kali ini. Jangan sampai parah lagi. Selin gak siap lihat bang Dion sakit kayak dulu.

"Yon.." Ega masuk kedalam kamar Dion dan memanggil namanya pelan.

Benar saja. Selin lihat, Abangnya memang tengah berbaring dengan wajah pucat. Selin memberanikan diri untuk mendekat.

"Gimana sekarang?" Tanya Ega selagi membenahi selimutnya kembali.

"Sakit Ga.. Gue mau mati kali ya?" Ungkap Dion dengan suara parau dan benar-benar terlihat payah. Setengah sadar, dia meringkuk bahkan menggeliat dengan tangan meremas perut bawah bagian kanannya ketika mereka datang.

"Abaaang! Goblok banget si ngomongnya?!" Sentak Selin tak terima. Dia langsung naik ke atas kasur Dion dan menemaninya di sana.

"Perut gue sakit dari kemarin Lin.." Keluh Dion yang kembali meringkuk selagi lebih menekuk perutnya lebih dalam.

"Ke rumah sakit sekarang aja kali ya?" Tanya Ega.

"Mobil ayah gak ada.." Selin ikut panik sendiri. "Mana yang sakit?" Dia makin mendekat dan berakhir dengan mengusap-usap punggung Dion pelan-pelan berharap rasa sakitnya mereda.

"Naik motor aja gak bisa emang?" Tanya Ega.

"Gimana naiknya?" Selin kembali bertanya karena memang melihat keadaan Dion yang bahkan sedikit bergerak saja terlihat begitu kesakitan.

"Hana!" Selin tiba-tiba ingat. Bukankah Hana anak seorang dokter di rumah sakit besar? Kemungkinan dia bisa membantu.

"Siapa?" Tanya Ega.

"Jangan Lin! Anji**ng!" Dion menahan dan masih sempat menggunakan umpatan kasar. Padahal dia benar-benar terlihat kesakitan saat itu.

"Kenapa?"

"Kagak! Malu! Abang lagi sakit gini malah manggil Hana. Gimana si?!" Dion malah makin kesal sambil terus memegangi perutnya.

"Napa si Bang?" Selin tak paham. Apa memangnya? Bang Dion takut Hana malah bikin rusuh? Atau dia pikir Selin hanya ingin bermain-main nanti? Atau jangan-jangan.. Jaim kalau ketemu Hana dalam keadaan sakit kayak begini? Cetek bet otaknya. Tapi memang, kebanyakan otak cowok tuh gitu kan? Mana mau dia terlihat lemah di hadapan doi? Tapi bukankah selama ini Dion gak pernah ngaku kalau dia suka sama Hana? Entahlah ..

"Hana bapaknya dokter umum di rumah sakit Bang, kayakya dia bisa bantu. Lagian di rumahnya pasti ada mobil.."

"Gak! Awas aja lu manggil dia!" Dion malah mengancam. "Naik taxi online aja Ga.." Pinta Dion.

"Bodo amat! Aku panggil Hana! Bang Ega mau ngampus! Lu jangan nyusahin!" Selin memutuskan untuk segera mengambil ponsel di kamarnya untuk menghubungi Hana meski dilarang. Daripada sendirian nungguin si Abang bangsat ini, mending minta Hana buat nemenin kan? Gak masalah kalau harus kena marah. Lagipula Bang Dion gak bisa apa-apa sekarang.

.
.
.
.
.
.

"Dia gak akan mati kan Om?"

Tuk

Dion malah menyundul kepala Selin setelah selesai konsultasi bersama ayah Hana. Hanya ada mereka bertiga sekarang. Ega buru-buru pergi setelah mengantar Dion ke rumah sakit tadi.

"Operasi usus buntu itu operasi kecil Lin.. Lebay amat lu." Celetuk Hana yang memang lebih banyak tau soal medis dibanding Selin.

"Masalahnya Abang gue cuma satu Na.. Dia juga pernah.." Selin hendak menceritakan riwayat medis Abangnya namun buru-buru di potong oleh Dion.

"Kasih tau Ibu sama Ayah, bilang Abang baik-baik aja. Jangan sampai mereka panik.." Titah Dion yang disambut anggukan dari Selin kemudian bergegas pergi keluar untuk menghubungi orang tuanya.

"Papah siapin dulu ruangannya, nanti kalau udah siap, kamu antar Dion ke sana ya? Sekalian Papah cari dokter Gio dulu biar bisa langsung tindakan.." Pinta sang dokter pada Hana yang langsung disambut anggukan mengerti.

Dokter Tomi keluar dari ruangannya menyisakan Dion dan Hana yang malah kikuk sendiri pada akhirnya.

"E.. Masih sakit Bang?" Tanya Hana berusaha mengurai rasa canggung. Padahal Dion enggan berjumpa dengan Hana dalam kondisi seperti ini. Seharusnya dia tidak pernah melihat kelemahannya kan? Iya kan? Gitu yang bener kan?

"Masih.." Tak bisa berbohong karena memang masih sangat sakit. Hanya saja, gak mungkin juga teriak-teriak di depan Hana kan? Tahan, jaim dikit gak papa lah.

"Papah belum kasih obat nyeri?" Tanya Hana lagi padahal Dion sebenarnya enggan berbincang. Dan si kutil Selin itu kemana? Kenapa malah pergi jauh kek gini? Harusnya nelpon di sini aja tadi. Malah pergi.

Dion menggeleng selagi kembali meremas perutnya.

Namun sedetik kemudian,  ada rasa hangat yang tiba-tiba terasa ditangan kananya.

Apa?

Deg!

Tangan Hana kini menelungkup erat telapak tangan Dion hingga membuat gejolak jantungnya makin tak karuan.

Ah.. Tuhan.. Kenapa situasinya gak estetik si? Gumam Dion dalam hati. Apalagi begitu melihat ekspresi Hana yang terlihat khawatir membuat Dion makin kewalahan.

Hei! Jangan gini lah..! Makin lama malah makin banyak bunga-bunga memburam di sekelilingnya. Ini saking malunya kah? Saking bahagia? Atau saking sakitnya dan mau meninggoy?

Ya Allah ya Rabb..

"Bang...."

Brukkk..

"Papaaaaaaah! Seliinn! Bang Dion pingsan!" Hana menjerit ketakutan ketika melihat Dion tiba-tiba terkulai dan hilang.

Padahal dia belum sempat mengartikan debaran aneh apa yang selalu hadir ketika berada di dekat Hana itu. Tapi malah..

Ah..

Sudahlah..

.
.
.
.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top