Bab 29

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Dion mau cari Selin Bu.." Setelah sadar sepenuhnya, Dion terlihat gusar di tempat duduknya. Cici menggeleng selagi duduk dan menahan tangannya. Artinya dia tidak mengizinkan Dion pergi. Akhirnya Dion mencoba berpikir keras, kira-kira selain hilang di gunung itu, kemana Selin pergi? Bukankah yang hilang itu belum tentu Selin?

"Na.. Yang nawarin hikking temen kamu siapa namanya?" Tanya Dion. Kali ini cukup tenang dan berusaha berpikir jernih.

"Wahid Bang." Jawab Hana.

"Udah hubungi dia?" Tanya Dion.

"Tadi sama Tante udah. Katanya mau di tanyain dulu tapi belum ada kabar lagi." Hana menjelaskan apa adanya.

"Bisa tolong hubungi lagi Na?" Pinta Dion.

Hana buru-buru membuka ponselnya kemudian menghubungi Wahid kembali.

Dion tak hanya menunggu saja. Dia juga membuka ponsel miliknya dan mencoba menghubungi nomor Selin dengan tangan bergetar. Dia harap kali ini tersambung. Dion akan obrak-abrik gunung itu jika Selin tak kunjung ditemukan.

Namun usahanya sia-sia. Nomor itu masih juga tidak aktif. Dan satu-satunya harapan, adalah Hana.

"Iya.. thanks Hid.." Pangkas Hana. Dion tidak mendengar keseluruhan pembicaraan itu karena sibuk dengan pemikirannya sendiri.

"Bukan Selin katanya Tante. Yang hilang laki-laki. Selin gak ikut Hikking.." Ungkap Hana membuat Cici bisa sedikit lega. "Katanya Om Ibrahim sama Bang Ega juga sudah pulang tadi. Kayaknya mereka lagi di jalan pulang sekarang." Hana memberi informasi setelah bicara dengan Wahid tadi. Cici tertegun. Ada satu tempat yang mungkin Selin kunjungi jika memang Selin tidak ada di sana. Tapi Cici pernah meminta Selin untuk tidak lagi pergi ke sana. Sejak kemarin Cici enggan memikirkan ke arah sana. Cici benar-benar tak suka jika Selin memang pergi ke tempat itu.

"Tunggu ayah aja kalau gitu." Putus Cici tanpa mengungkap tempat yang kini ia pikirkan.

Dion kian menggali lebih dalam untuk mencari berbagai cara untuk menemukan dimana Selin berada kini.

"Za! Ke kosan Ega. Mungkin dia ke sana." Dion memutuskan untuk tidak hanya diam. Memangnya Selin bisa kemana? Hana, Ega, dan dirinya. Dion tak bisa menemukan circle lain yang bisa Selin datangi selain ini.

Firza ikut bangkit seolah setuju dan siap mengantar Dion kemanapun.

"Yon.." Cici khawatir, namun tak bisa menemukan kalimat apa yang pas untuk mengungkapkannya. Mencegah pun sepertinya tidak bisa. Sebenarnya jika memungkinkan, Cici ingin Dion duduk saja dan menunggu mengingat kondisi kesehatannya selalu tak bisa diprediksi. Tapi, Dion pasti tidak akan bisa tenang jika hanya berdiam diri saja. "Jagain Dion Za.." Cici akhirnya hanya bisa berharap pada Firza kali ini.

Hana sama khawatirnya sekarang. Dion bahkan sesekali terlihat tak fokus dengan tempo napas yang kacau. Sekilas saja Hana bisa melihat Dion sedang tidak nyaman dengan tubuhnya.

Firza mengangguk menyanggupi. Dion mendekat ke arah sang ibu, kemudian memeluknya sekilas.

"Tunggu Dion Bu.." Ungkapnya yang lalu pergi diiringi tangisan dari Cici yang entah mengapa tiba-tiba menyeruak tanpa permisi. Jika Dion tau Selin pergi ke tempat itu, apa dia sanggup menerima? Pikir Cici.

"Hati-hati Yon.." Cici masih mewanti-wanti sambil mengantarnya ke depan. Biarpun tak rela, tapi bisa apa?

.
.
.
.

Firza kembali mengemudi menuju kosan Ega. Tak terasa hari sudah mulai gelap saja. Perasaan baru tadi pagi Dion bangun dan melihat hamparan lautan indah di belahan bumi lain. Kini ia malah harus berkumul dengan masalah pelik yang juga belum terpecahkan.

"Makan dulu Yon?" Firza menawarkan ketika mereka hampir sampai di kosan Ega.

"Nanti aja." Jawab Dion yang terlihat lemas dengan ringisan kecil sambil mengoprek ponsel menggunakan tangannya yang bergetar.

Firza mendengus kesal namun tak bisa berbuat apa-apa. Mobil itu masuk ke dalam parkiran kosan, kemudian Firza mengeluarkan kunci kosan dalam saku. Benda itu selalu dia bawa kemana-mana. Ega memberikan duplikatnya ketika meminta mereka menempati kosan kosongnya.

"Nih.. Tunggu di dalem. Mau hujan kayaknya. Gue beli makan dulu." Ujar Firza yang kemudian bergegas pergi dengan berjalan kaki. Dion menurut dan membuka kunci kosan itu lalu masuk.

Drrrt
Drrrt
Drrrt

Ayah call..

"Yah?" Tak menunggu lama, Dion langsung menjawab.

"Dimana?" Tanya Ayah.

"Kosan Ega." Jawab Dion.

"Mm.." Ayah terdengar lega namun sepertinya bukan hanya ini yang hendak ia sampaikan.

"Kenapa Yah?" Tanya Dion.

"Ayah lagi di jalan mau pulang sekarang. Gak tau kenapa tiba-tiba kepikiran." Ayah sempat menjeda sebelum akhirnya kembali meyakinkan diri untuk meneruskan ucapannya. "Selin pernah tanya soal Dian sama kamu?"

Deg!

Ayah terdengar ragu namun tetap mengungkapkannya. Sepertinya memang terpaksa. Meski tak ada maksud untuk menorehkan luka baru pada Dion, tapi Ibrahim tak ada pilihan. Ia harap Dion punya jawaban hingga memberinya pencerahan tentang keberadaan Selin. Dan seperti halnya dengan Cici, Ibrahim bisa menebak satu tempat yang mungkin Selin kunjungi saat ini. Namun dia tak berani mengungkapnya pada Dion.

"Dian?" Tanya Dion.

"Kenapa memangnya Yah?" Dion mulai tak tenang.

Ingatan tentang Dian memang selalu menjadi momok tersendiri bagi Dion. Bayangan samar itu setiap kali dibahas selalu menyiksa. Setiap kali mereka membicarakannya, ada banyak hal mengganggu di pikiran. Dion bahkan tak tau dengan jelas bagaimana kondisinya saat itu. Yang pasti, dia selalu merasa bersalah pada saudara kembarnya Dian.

"Jangan mikir macem-macem dulu Yon, kali aja Selin pernah tanya sama kamu.." Ayah mencoba selembut mungkin tanpa berniat membangunkan trauma Dion yang memang selalu mereka jaga selama ini.

"Gak pernah Yah.." Dion mulai merasakan tusukan-tusukan aneh di jantungnya. Entah karena apa, namun cukup menyakitkan.

"Ya sudah kalau tidak pernah. Ayah cuma tanya aja. Gak ada maksud apa-apa." Ayah terdengar sedikit kecewa namun juga lega. Meski diakhiri dengan mewanti-wanti. Ia harap Dion tak terlalu memikirkan pertanyaannya tadi. "Kabari kalau Selin datang ke sana." Ungkapnya bersiap untuk mengakhiri sesi telepon itu.

"Selin pergi ke kuburan Dian gak Yah?" Dion tiba-tiba terpikir hal ini.

"Engga. Ayah tadi sempat mampir ke sana tapi gak ada. Penjaga makamnya juga bilang gak ada yang datang ke sana." Ayah menjawab apa adanya.

"Iya yah.." Dion lagi-lagi kecewa.

"Jangan terlalu banyak pikiran, semoga malam ini Selin cepat pulang." Ayah kali ini hendak mengakhirinya. "Kamu makan dulu. Jangan nyiksa diri sendiri. Kita juga butuh tenaga buat cari Selin.." Ayah kembali menasehati karena tau betul watak anak kesayangannya itu.

"Iya.."

"Firza mana? Ibu bilang sama Firza?"

"Beli makan." Jawab Dion dengan tatapan kosong. Dion sepertinya kehabisan energi. Bahkan untuk berpikir tempat yang mungkin Selin kunjungi pun, Dion kehabisan stok memori. Tak ada tempat lain yang bisa ia pikirkan saat itu.

"Oh.. Iya. Kalau ada apa-apa kabarin Ayah." Kali ini sepertinya terakhir.

"Iya Yah.." Dion mengiyakan kemudian menutup sambungan teleponnya.

Drrrt
Drrrt
Drrrt

Baru saja sambungan itu terputus, sebuah panggilan dari nomor asing muncul di layar ponselnya.

Dion sempat menimang-nimang apa harus dia angkat atau tidak. Tapi kemungkinan itu Selin atau bisa saja nomor itu akan memberinya kabar tentang Selin.

"Hallo.." Ungkap Dion ketika memutuskan mengangkat telepon asing itu.

"Bang.."

Deg!

Suara yang dia kenal terdengar menyapa pendengaran. Dion semakin gemetar. Dadanya kian sesak. Suara itu bahkan terdengar tenang dan seperti sedang berada di ruangan kosong yang terdengar bergema. Dion bisa menyimpulkan jika Selin setidaknya baik-baik saja.

"Kamu dimana?" Tanya Dion yang langsung bertanya dengan penuh rasa sesak.

"Kenapa? Siapa?" Firza tiba-tiba datang dengan sekeresek makanan minimarket. Dion terlihat tegang ketika berbicara di telepon. Tentu Firza yang melihatnya merasa khawatir. Meski pertanyaan itu hanya menggantung tanpa jawaban apapun.

.
.
.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top