Bab 27
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Pukul 2 lebih lima belas, akhirnya mereka sampai di kampung halaman Firza. Pantai Hanom. Setelah saling berganti kemudi beberapa kali, akhirnya udara laut tercium juga.
Sudah tidak terlalu dingin sekarang. Dion kini sudah tidak memakai jas hujan lagi karena memang udara di pesisir pantai selalu hangat meski subuh-subuh buta.
Firza membawa Dion ke depan sebuah rumah minimalis yang cukup bersih. Kayak rumah komplek-komplek militer karena memang terlihat serupa meski tak sama. Tidak terbilang mewah, tidak juga terlihat kumuh. Semua bahkan nampak bersih, rapi, dan tertata dengan baik. Ada mobil putih yang terparkir di garasi depan dengan plat nomor merah dan biru muda.
"Bokap lu anggota TNI?" Tanya Dion.
"Bukan. Tapi emak gue pensiunan korps wanita angkatan laut." Jawaban Firza mencengangkan.
"Terus bokap lu?" Tanya Dion makin penasaran.
"Dagang ikan di pasar. Jam segini pasti sudah ada di sana. Kalau sudah ketemu Emak, kita minta lobster ke sana." Ujar Firza terlihat sumringah. Ah.. Pantas Firza se-random ini. Ternyata keluarganya pun sama randomnya.
"Maaaak..! Mamak!!" Firza mengetuk bahkan berteriak.
"Hus! Kagak berisik apa tetangga lu mungkin masih pada tidur! EG lu!" Dion mencegah.
"Ah.. Lupa." Kekeh Firza yang lalu mengetuk pintu lebih pelan.
Tak lama, pintu akhirnya terbuka. Ibu Firza menyambut mereka dengan riang dan ribut sekali. Rasa lelah selama lima jam perjalanan hilang sempurna ketika makanan tiba-tiba tersaji di tengah-tengah meja makan. Katanya itu untuk menyambut mereka. Firza ternyata anak satu-satunya. Tak heran dia diperlakukan istimewa seperti itu.
"Yok! Jangan sungkan! Kalau ada yang tidak suka, biar Emak ganti." Ujar Ibu Firza pada Dion yang masih melongo melihat berbagai hidangan seafood yang sudah tersaji dengan begitu megahnya di atas meja.
"Kita kagak usah ke pasar ternyata." Bisik Firza yang kemudian bergegas duduk untuk menikmati semua sajian itu.
"Makan yang banyak ya Nak," ibu Firza sempat mengelus kepalanya lalu pergi entah menyiapkan apalagi untuk mereka.
"Emak gue kayaknya mau gelar kasur di ruang tengah.." ujar Firza.
"Buat apa?" Tanya Dion heran.
"Buat kita tidur.."
"Lu kagak punya kamar?"
"Ada."
"Terus kenapa harus di luar?"
"Di kamar panas! Kalau ada tamu, dia memang selalu begitu." Jelasnya yang kemudian mulai mengalas nasi untuk ia makan bersama lobster yang dia idamkan tadi.
"Oh.." Dion ikut mengambil piring meski sesekali melirik ke arah Ibu Firza yang ternyata benar-benar menggusur kasur besar itu sendiri. "Kita bantu dia juga gak sih?" Dion heran melihat Firza malah asik makan sendiri sedangkan Emaknya sibuk berbenah.
"Gak usah! Emak gue kuat. Dia mantan pasukan khusus." Kekeh Firza.
"Kurang ajar lu!" Dion ikut tertawa kecil mendengarnya.
.
.
.
.
.
.
.
Keesokkan paginya, Dion bangun di ruang tengah dengan pintu dan jendela yang terbuka. Firza sepertinya masih belum bisa diganggu karena masih terlelap di samping. Ibu Firza tiba-tiba lewat dan tersenyum melihat Dion ternyata sudah bangun.
"Tadi malam Emak buka karena kayaknya gerah banget. Kalian keringatan sampai netes-netes ke sini.." jelas Ibu Firza sambil menunjuk kepalanya seolah menunjukkan bagaimana keringat Dion terjatuh.
"Ah.." Dion hanya mengangguk tak enak hati.
"Istirahat saja dulu. Emak mau susul Bapak ke pasar. Yah? Bilang sama Firza kalau mau belikan makanan telpon saja." Ungkapnya terlihat buru-buru.
Dion hanya bisa mengangguk-anggukan kepala karena memang nyawanya belum kumpul semua. Iya kan saja. Biar cepet. Nanti dipikirkan lagi, Emaknya ngomong apa.
Setelah melihat Ibu Firza berlalu, kemudian melamun beberapa detik, Dion memutuskan untuk ke luar rumah. Semalam tak terlalu memperhatikan, ternyata di teras samping sana ada sebuah gazebo kecil yang langsung menghadap ke arah lautan yang jauh di sana. Estetik abis rumahnya si Firza.
Dion merogoh saku celananya dan menemukan rokok yang sepasang dengan korek apinya. Nyebat estetik sambil duduk di gazebo dan Mandang laut dari kejauhan, bener-bener liburan terbaik. Pikir Dion selagi merasakan asap-asap itu masuk dan berkumuh di dalam paru-paru hingga mungkin mengotori jantungnya. Dion tak peduli lagi. Dia enggan memikirkan rasa sakit, resiko, atau perasaan aneh yang selalu muncul ketika melihat Selin bergaul dengan laki-laki lain. Biarlah semua itu perlahan dia lenyapkan dengan jarak. Semoga ini adalah solusi terbaik. Dia bahkan enggan mengakui atau bahkan sekedar memikirkan perasaan menjijikan itu pun tidak. Dion benar-benar ingin membuat semuanya normal seperti dulu.
Ya.
Ini hanya sebuah kekhawatiran. Dia terlalu menyayangi Selin hingga sangat berhati-hati untuk menyaring siapa yang akan menjadi pelabuhan terakhir Selin selain dirinya. Sebenarnya Dion pun marah! Benar-benar marah karena selalu tanpa sadar malah merusak hubungan Selin dengan beberapa pria sebelumnya. Bahkan kali ini pun, Dion masih tak rela Selin bersama Ega. Tapi bisa apa? Akan terlalu aneh jika kali ini pun, Dion merusaknya.
"Yon! Yon!" Teriakkan itu berkali-kali terdengar dan ternyata Firza tengah menghampirinya dengan mata yang masih memincing. Sepertinya baru saja terbangun dan langsung keluar mencarinya.
Dion hanya memperhatikannya dari jauh dan membiarkannya mendekat.
"Hp lu bunyi terus! Kayaknya penting. Ega juga telepon tadi." Firza menyodorkan ponsel Dion kemudian ikut duduk di gazebo itu dan kembali meringkuk. Sepertinya belum puas tidur.
Dion yang melihat di layar ponselnya ada panggilan tak terjawab dari ibu dan Ega, malah menyimpannya kembali tanpa ada niat berbalik menghubungi mereka.
Melihat reaksi Dion seperti itu, Firza akhirnya duduk untuk mempertanyakan tentu saja.
"Ega tadi nelpon.." Ulang Firza.
"Tar aja." Jawab Dion yang dengan tenang kembali menyesap rokoknya lagi.
"Ada apa lu sama dia?" Tanya Firza heran.
"Apa?" Dion heran mendapat pertanyaan itu.
"Gak kayak biasanya." Firza memincing curiga.
"Apaan?" Dion enggan mengakui.
Drrrt
Drrrt
Drrrtt
Ibu call..
Kecurigaan Firza terselamatkan oleh panggilan Cici. Dion berdehem kecil dan kali ini menjawabnya sambil sedikit menjauh dari Firza.
"Ya Bu?" Tanya Dion.
"Kamu dimana?"
"Aku nganter Firza ke tempat mamaknya. Kenapa Bu?"
"Sama Selin?" Tanya Ibu tiba-tiba. Dion mulai cemas karena suara ibu pun terdengar lain dari biasanya.
"Selin? Enggak Bu." Jawab Dion berharap tidak ada kejadian buruk di sana.
"Kenapa Bu?" Tanya Dion lagi.
"Kamu bisa pulang sekarang gak? Biar ibu obrolin di rumah,.." Sepertinya ibu enggan menyebutkan permasalahannya di telepon. Entah karena memang perlu diskusi lebih lanjut, atau memang ada hal yang lebih buruk dari ini. Dion hanya bisa menerka-nerka dengan berbagai spekulasi kacau.
"Ada apa Bu? Selin pergi? Udah tanya Hana?" Dion berusaha tenang meski hatinya benar-benar terusik. Bisa-bisanya ada masalah seperti ini ketika dirinya sedang pergi jauh dari rumah.
Ibu tak langsung menjawab. Samar-samar dia terdengar seperti sedang berdiskusi entah dengan siapa.
"Bu?" Dion tak sabar ingin segera mendengar jawaban.
"Oh.. Iya.. Ibu belum tanya Hana. Kayaknya memang nginep di rumah Hana. Sebenernya dia juga izinnya begitu. Tapi kemarin kita agak berantem dan kayaknya Selin salah paham. Kamu bisa ke sini gak? Bujuk dia pulang.." pinta Ibu dengan suara bergetar.
"Hm? Coba minta tolong Ega Bu.." Dion kali ini mencoba untuk menempatkan Ega di posisi yang tepat. Setidaknya dia ingin mencoba menerimanya dan semoga cepat-cepat terbiasa.
Ibu kembali tak langsung menjawab dan malah terdengar seperti berdebat namun sama sekali tidak jelas. Mungkin itu suara Ayah? Atau siapa? Kayaknya perempuan? Dion kembali menerka-nerka.
"Ega kayaknya lagi ada acara Yon.. Kamu pulang ya.. Ibu bingung ini.." Cici kembali memelas. "Biar ibu ngomong sama Firza boleh?" Pintanya.
"Kenapa Firza Bu?"
"Sebentar Yon.."
"Iya Bu.." Dion akhirnya menurut kemudian menyodorkan ponsel itu pada Firza.
Apa se-serius itu?
Bukankah ini saatnya untuk Dion terlepas dari semuanya? Jika dalam masalah kali ini dia tidak ikut campur, kemungkinan untuk masalah-masalah lain, Dion pun tidak perlu campur tangan. Ya kan? Pikirnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top