Bab 22
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Seharusnya Selin pergi sekolah bersama Ayah dan Ibunya. Padahal dia sudah mengenakan seragam lengkap. Namun karena kejadian itu, dia bahkan enggan melepas pelukannya dari sang Kakak.
"Anak guru emang boleh sering-sering bolos?" Tanya Firza setelah mereka hanya tinggal berempat saja di rumah itu.
"Bodo amat!" Ujar Selin yang lalu beralih naik ke atas sofa lalu memeluk tangan Dion bahkan bersandar dengan nyaman.
"Ih! Lu bikin sesek gue aja.." Dion terlihat risih. Apalagi setelah pingsan tadi, entah mengapa tubuhnya masih juga berat sampai sekarang. Kayaknya ketumpangan hantu semalam. Pikir Dion.
Selin mengangkat kembali kepalanya dari bahu Dion meski tangannya enggan terlepas. Ega melihat pemandangan itu dan tersenyum tipis. Namun kali ini ia enggan berpikiran macam-macam. Pak Ibrahim pun memaklumi mereka, artinya Ega pun harus melakukan hal yang sama. Gak lucu juga harus cemburu padahal mereka bersaudara.
"Lu semalem pulang lewat mana?" Tanya Firza.
"Keliling lewat gang ijo deket kuburan umum. Anj*** iya lagi.." Dion seolah menyadari sesuatu.
"Kenapa gak lewat jalan biasa?" Firza menyayangkan dan dugaannya benar jika seperti ini.
"Tadinya biar cepet.." Jawab Dion kembali.
"Iya makannya jangan sembarangan! Banyak baca ayat kursi lu kalau lewat jalan baru." Ungkap Firza seolah pingsannya Dion kali ini memang karena hal-hal gaib.
"Ini zaman apa si? Kalian masih percaya aja sama yang begituan." Ega menjadi satu-satunya yang skeptis.
"Panas gak sih Bang di bagian sini?" Selin bertanya kemudian menyentuh tengkuk leher Dion tanpa canggung hingga membuatnya sedikit mengerjap.
"Kagak!" Dion sedikit menggeser tubuhnya supaya tidak terlalu dekat dengan Selin. Jika dihadapan teman-temannya begini, tak seharusnya Selin terlalu nempel kan? Apalagi semalam Ega... Hati Dion masih terganggu ketika mengingatnya.
"Lu kenapa sih ih! Jijik banget sama gue!" Padahal tadi hendak menjelaskan jika tengkuknya benar-benar panas, artinya Bang Dion memang ketumpangan makhluk gaib. Setidaknya itu yang pernah Selin dengar.
"Ya lu sana ah! Gerah!" Dion bahkan sedikit mendorong Selin karena terus saja menempel.
"Lin, beli bubur buat Dion yuk!" Ajak Ega tiba-tiba. Namun tak langsung mengiyakan, Selin malah terlihat berpikir.
"Bang! Lu yang beli gih!" Dia akhirnya menunjuk Firza karena enggan meninggalkan Dion.
"Dimana?" Tanyanya kebingungan. Tentu saja. Firza memang jarang ke sini. Dia mana tau tukang bubur dimana.
"Sama gue yok!" Ega langsung bangkit lalu bergegas menuju pintu depan.
"Gak papa Ga.. Gak usah padahal." Cegah Dion.
"Lu belum makan apa-apa.." Ujar Ega yang kemudian mengajak Firza untuk cepat-cepat mengikutinya. Selin sempat melihat ke arah mereka tanpa bisa berkata-kata. Sebenarnya pengen ikut Bang Ega, tapi dia lebih khawatir meninggalkan kakaknya sendiri.
"Sana! Jajan sama Ega." Dion meraih ponselnya di atas meja mencoba untuk mengecek beberapa pesan masuk. Ternyata ada chat penting sejak kemarin. Harusnya dia tidak melewatkannya. Chat dari customer harus grecep biar rezekinya gak hilang. Sekarang dia seorang freelancer. Kalau ada kesempatan gak boleh di sia-siakan begitu saja.
Gepp ..
Selin malah meringsut di pangkuan Dion dan memeluk pinggangnya erat-erat. Kali ini tak ada penolakan. Dion membiarkannya seperti itu bahkan sempat mengelus lembut kepala Selin.
"Lu sakit apa si? Kenapa sering banget pingsan perasaan.." Celetuk Selin pelan. "Jantung lu bermasalah lagi? Harusnya obat-obatan itu lu makan seumur hidup kan Bang, harusnya jangan bandel kenapa si lu?!" Dion hanya bisa menghela napas panjang lalu kembali pada chatingan di ponsel itu dengan sebelah tangan mengelus kepala sang Adik.
"Gue cuma laper kali Lin, ada buah gak di kulkas?" Tanya Dion yang juga tak tau apa yang terjadi dengan tubuhnya akhir-akhir ini. Namun matanya masih juga belum teralihkan dari layar ponsel miliknya.
"Ibu belum belanja.. Aku punya ciki kentang di kamar. Mau?" Tanya Selin.
"Gak!"
Selin menatap Dion tak suka meski masih saja berbaring di pangkuannya.
"Panggil Hana ke sini asik kali ya? Sekalian minta dia bawa makanan buat lu.." Selin tiba-tiba ingin menjahili kakaknya.
Pltakk
Akhirnya Selin kena sentil kan.
"Abaaaaang!" Selin langsung bangkit dan merajuk. "Sakiiiit!" Keluhnya sambil mengelus-elus jidat.
"Maaf maaaf.." Dion tersenyum kemudian mencoba mengelus kembali jidat Selin yang ia sentil tadi namun malah ditepis.
"Ih!" Selin masih kesal.
"Ya maaf.. Refleks.. Gak sengaja.." Dion cengengesan dan mencoba kembali memeluk adiknya. Selin ikut tertawa mendapat perlakuan seperti itu. Biar bagaimanapun, dia tetap kakak favorit Selin. Satu-satunya, dan tak ada yang lain.
"Bang.." Mereka kembali duduk berdampingan dan kini Selin bersila menghadap ke arahnya.
"Apa? Ega?" Dion seolah membaca pikiran sang adik. Selin terdiam. "Lu tau kan, resikonya kalau pacaran sama dia?" Tanya Dion.
"Resikonya lu gak suka.. Iya kan?" Tanya Selin.
"Bukan! Masalahnya bukan di gue." Sepertinya Dion memikirkan ini semalaman. Pantas pagi-pagi kondisinya kacau.
"Terus?" Tanya Selin penasaran.
"Ega itu hidupnya udah di atur Lin. Sekolah, kuliah, jodoh, semuanya. Lu pikir bisa? Dia bahkan buat temenan sama gue aja susahnya minta ampun. Lu tau ini kan?" Dion kembali menjelaskan dengan penuh penekanan.
"Ayahnya?" Selin memastikan yang langsung disambut anggukan Dion. Benar. Ega udah kayak tahanan bagi sang Ayah. Itu sudah menjadi rahasia umum. Meski kerap kali berontak sejadi-jadinya, dia akhirnya akan tertangkap lagi.
"Kalau Ega berontak, dia sendiri yang disiksa Lin. Lo tega dia disiksa terus?"
"Jadi maksud Abang, Ega harus nurut terus gitu? Bukannya kalau kayak gitu dia makin tersiksa Bang?" Selin punya pemikiran sendiri akan hal ini. "Bang, semalam Bang Ega ngajak aku kabur."
Deg!
"Gila lu!" Suara Dion langsung meninggi mendengar hal itu. Dada Dion kembali tak nyaman karenanya. Namun dia berusaha menutupi kali ini.
"Dia nangis Bang. Gak tega gue lihatnya. Lagian kalau Bang Ega udah ngomong gitu sama gue, artinya dia juga pengen ngebahagiain dirinya sendiri kan? Apa salahnya kita kasih ruang buat dia bernapas sedikit aja.." Ungkap Selin. Tak ada lagi kata yang terucap setelah itu. Mereka berdua terdiam cukup lama. Hingga akhirnya suara langkah kaki mereka kembali ke rumah itu.
"Gue beliin Lollipop nih buat lu!" Firza langsung melempar sebuah kresek hitam pada Selin, sedangkan Ega melenggang ke arah dapur untuk membawa peralatan makan.
"Ada apa nih?" Firza sepertinya menyadari sesuatu. Suasananya berbeda dari yang tadi. "Horor amat.. Tadi perasaan lu pada lengket banget." Firza bisa merasakan kecanggungan diantara keduanya.
"Ada kerjaan baru nih.." Dion memberikan ponselnya pada Firza kemudian bangkit untuk menghampiri Ega.
"Di sini aja Ga.." Dion mengambil alih mangkuk dan plastik bubur dari tangan Ega lalu duduk di meja makan. "Cuma satu?"
"Kita kan udah makan tadi." Jawab Ega yang terlihat memperhatikan kedua kakak beradik itu. Sepertinya memang ada yang aneh di antara keduanya. Tapi bolehkah Ega mempertanyakan? Sepertinya bukan ranahnya. Dia tidak boleh melewati batas.
"Gue balik ya.." ungkap Ega tiba-tiba. Padahal Firza sudah duduk kembali di sofa dan Selin masih terdiam di tempatnya tadi.
"Enggak! Lu kencan aja sama gue! Gak boleh balik!" Putus Selin setengah berteriak.
Uhukkk uhukkk uhuukk...
Dion sampai tersedak mendengarnya.
"Uuuuuuuuu..... Kalian ada main ternyata???" Firza bersorak tak menyangka. "Seriusan nih? Cuma gue yang nggak tahu? Sialan!" Firza padahal sedikit banyak berharap pada Selin. Harapannya pupus sudah bahkan sebelum dia memastikan perasaannya sendiri.
Selin sempat menoleh ke arah Dion yang terlihat enggan berbalik. Ega melihat raut Dion yang malah terdiam dan menghela nafas beberapa kali. Entah apa artinya itu, Ega rasa Dion marah.
"Tunggu! Aku ganti baju dulu!" Ungkap Selin yang kemudian bergegas naik menuju kamarnya.
Hening. Bahkan bergerak pun canggung. Dion berusaha untuk tidak peduli. Dia kembali memakan bubur itu dan berusaha menelannya bulat-bulat meski rasanya tersangkut di tenggorokan. Ega yang sudah mengenalnya bertahun-tahun itu tahu pasti gelagat Dion memang lain dari biasanya. Dia kembali duduk di hadapan Dion, karena benar-benar ingin tahu apa arti dari sikapnya itu.
"Boleh Yon?" tanya Ega menatapnya lekat seolah meminta izin. Dion terdiam cukup lama. Entah apa yang begitu sulit dia lepaskan. Ega pun penasaran sebenarnya. Tapi gimana lagi? Dia hanya bisa menunggu dan menerima apapun yang menjadi keputusan Dion nantinya.
"Jagain adek gue bae-bae.." Ungkapnya hingga membuat senyuman Ega merekah.
"Za! Gue dapat restu!" Teriak Ega senang bukan main.
"Hati-hati sama bokap lo.. Gue nggak mau Selin di sakitin.." Kali ini Dion terlihat serius. Ah.. Ega baru menyadari ini. Ternyata yang menjadi kekhawatiran Dion adalah ini?
Meski Ega pun tidak bisa menjamin apa-apa, tapi setidaknya, dia bisa merencanakannya mulai dari sekarang.
"Ya.. Gue paham." Jawab Ega yang penuh dengan pertimbangan. Entah mengapa, mendengar ucapan dari Dion, Ega merasa tanggung jawabnya lebih berat mulai hari ini. Tapi tak apa, setidaknya dia bisa merasakan debaran yang menakjubkan ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top