Bab 21
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dion membawa Ega ke dalam kamarnya, kemudian memberikan sebuah handuk kering setelah Ega membersihkan diri tadi.
"Lu kenapa diem aja sih dipukul begini?" Tanya Dion khawatir.
"Ya terus gimana? Masa gue pukul balik?" Ungkap Ega tenang. Dia selalu senang jika sudah bersama Dion seperti ini. Tak ada tempat lain yang lebih nyaman dari ini. Setiap kali dipukuli, Ega tak pernah mendatangi tempat lain. Dion satu-satunya.
"Ya kali-kali pukul balik aja. Namanya juga pembelaan diri. Gak papa." Dion saking kesalnya. Entah kali ke berapa selama dua belas tahun ini Ega selalu berakhir babak belur ketika ada masalah. Kalau diizinkan membalas untuknya, Dion bersedia. Tapi hati Ega terlalu lembut untuk itu.
"Kerjaan lu udah beres?" Ega malah mempertanyakan pekerjaan Dion.
"Kurangin deh ngurusin gue.. Lu juga kayaknya perlu diurusin. Cari cewek yang bener gih! Biar ada yang ngurusin." Ujar Dion yang kini melenggang ke arah meja belajar usang yang masih ia gunakan sampai sekarang.
"Kalau sama adek lu boleh?" Tanya Ega memberanikan diri. Dion langsung menoleh dengan pandangan aneh. Dia tahu betul dari ekspresinya kali ini, Ega tidak main-main. Namun meski begitu, Dion enggan menanggapinya dengan serius. Ia kembali membuka laptopnya, padahal sama sekali tidak ada pekerjaan yang tersisa. Semua sudah rampung dikerjakan.
"Yon.." Ega berusaha kembali mengulanginya. Restu dari Dion adalah yang terpenting sekarang.
"Ga.. Gue telepon Firza dulu biar dia ke sini yah? Kasihan sendirian di sana." Dion benar-benar tidak ingin mendengarnya sekarang. Dia belum siap untuk kemungkinan-kemungkinan yang bergaung dalam otaknya. Ega dan Selin. Keduanya terpenting. Dion enggan tersulut emosi yang nantinya hanya akan memicu potensi untuk kehilangan salah satu dari mereka. Lebih baik tidak tau apa-apa. Atau mungkin kalaupun mau, mereka bisa pacaran diam-diam tanpa diketahui olehnya. Itu lebih baik daripada membicarakan restu yang tak mungkin Dion berikan dengan mudah. Entah mengapa Dion tak rela.
Dia bergegas mengambil ponselnya kemudian keluar meninggalkan Ega sendirian di dalam kamar. Ega merasa, ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan. Padahal sebelumnya, Ega tak pernah berani mengambil langkah ini. Dia bahkan hanya bisa merusak dirinya sendiri supaya bisa melupakan Selin. Namun sampailah dia pada permasalahannya kini. Kali ini Ega tak tahan dan ingin berlari secepatnya ke arah Selin. Apalagi mendapati angin segar akan perkataan bak harapan indah dari Hana. Ega akhirnya merasa punya peluang untuk hidup bahagia. Tapi melihat reaksi Dion seperti itu, kayaknya mustahil.
Seharusnya dia tak banyak berharap.
.
.
Selin dari dalam kamarnya mendengar suara pintu kamar Dion terbuka lalu tertutup kembali. Artinya ada seseorang yang keluar dari sana. Dia penasaran, dalam memutuskan untuk melihat sendiri. Ternyata itu Bang Dion. Selin berpapasan, lalu berpura-pura tidak peduli kemudian melebarkan langkah menuju tangga. Seharusnya ada penjelasan mengenai pertanyaan Dion ketika sampai di rumahnya tadi dan mendapati adik dan teman baiknya sedang berduaan di depan rumah. Tapi mereka tak menjawab dengan jelas tadi. Dion pun enggan bertanya lagi. Entahlah.. Sejujurnya, Dion agak takut mendengar jawaban mereka.
Padahal sebelumnya Selin sama sekali tak ada niat untuk turun ke bawah. Tapi karena terlanjur, Dia tetap meneruskan. Setidaknya meminum air putih baik untuk menjernihkan pikiran kan? Pikirnya.
Sama halnya dengan Dion, dia pun melenggang ke arah balkon untuk menghubungi Firza ke rumahnya sesuai dengan apa yang dia katakan pada Ega.
Suasana hati kedua kakak beradik itu sama-sama gundah malam itu. Setelah berpikir sejenak dan sukses membasahi tenggorokannya dengan air putih hangat, Selin menggenggam cangkir itu, seolah memantapkan diri. Ya! Setidaknya dia harus jujur pada kakaknya tentang Ega. Kalau dipikir-pikir, kali ini Ega tak mungkin sedang memeprmainkannya kan? Selin yakin tadi itu adalah ungkapan perasaannya yang terdalam. Dia bahkan masih bisa merasakan bahunya yang basah karena tangisan Ega.
Selin akhirnya kembali melangkah. Kali ini dia mencari Dion di balkon. Hubungannya dengan Ega tinggal satu langkah lagi kan? Jika restu Dion didapat, yang lainnya akan jauh lebih mudah. Pikir Selin.
"Iya.. Ada.. Oke.." Selin sampai di balkon dan memperhatikan punggung Dion kala itu. Sepertinya dia juga sudah selesai bicara di telepon. Terserah siapa yang sedang ia hubungi, Selin enggan bertanya.
"Bang!"
"Hm?" Dion langsung berbalik. Ada yang aneh dengan ekspresinya. Dia terlihat khawatir. Tangan kanannya sempat memijat dada kiri sembari meringis samar. Namun begitu Selin mendekat, ia kembali menurunkan tangannya lalu menunggu sang adik bicara.
"Bang Ega dipukulin Ayahnya gara-gara perjodohan sama Hana batal.." Ungkap Selin.
"Iya.. Dia cerita tadi.." Dion mengangguk kemudian kembali berbalik menatap keluar balkon. Betapa pekatnya malam itu, hingga Dion merasa sesak tiba-tiba. "Hana gak papa kan?" Meski begitu, Dion pun masih mengkhawatirkan orang lain. Meski kemungkinannya kecil, dia juga khawatir Hana mendapat perlakuan yang sama seperti Ega dari orang tuanya.
"Ayahnya Hana baik Bang.. Tenang aja.." Jawab Selin yang juga semakin mendekat dengan Dion. Berdiri sejajar sama-sama menatap keluar pagar.
"mm.." Dion mengangguk dan juga merasa lega. Syukurlah..
"Aku boleh pacaran sama Bang Ega?"
Deg!
Dion seketika mengerjap tanpa mau menoleh. Ini yang sejak tadi dia takutkan. Dan nyatanya Selin mengungkapkannya terlalu cepat. Agh.. Jantung Dion benar-benar tidak nyaman sekarang. Entah mengapa ada tusukan-tusukan menyakitkan yang mengganggu.
"Tidur sana lu! Otak lu isinya cuma itu?!" Dion malah marah lalu meninggalkan Selin yang menganga tanpa bisa membalas.
Namun setelah meninggalkan sang adik dengan perkataan seperti itu, Dion malah mendapati Ega yang tengah asik main PS di kamarnya.
Ah.. Tuhan.. Sesak sekali malam ini. Pikir Dion yang ingin rasanya menghilang malam itu.
"Udah? Firza mau ke sini?" Tanya Ega.
"Hmm.." Dion enggan menjawab lebih panjang dari ini dan memilih untuk meringsut di atas kasur. Ega sempat melihatnya dengan seksama. Sepertinya memang terlalu lelah untuk di ajak bicara. Dia enggan mengganggu. Biarkan saja. Pikir Ega.
.
.
.
.
.
.
Pagi itu, Ega sudah duduk di meja makan bersama Firza dan Selin. Ayah Ibrahim meneliti seluruh wajah, tangan, bahkan kaki Ega untuk ia lihat luka-luka itu sedangkan ibu sibuk memasak untuk mereka.
"Foto mau gak nak?" Tawar Ibrahim dengan raut khawatir bercampur marah. Darahnya mendidih ketika melihat luka lebam membiru yang tergambar jelas di setiap bagian tubuh Ega.
"Gak usah Om.. Dia Ayahku.." Cegah Ega dengan senyuman tipis yang kemudian kembali menutupi tangannya dengan Hoodie putih milik Dion yang ia pinjam semalam.
"Ya mana ada Ayah kayak begini.." Ibrahim tak terima. Firza dan Selin terlihat hanya diam tanpa berniat menyela.
"Nak, jangan biarin dia mukul kamu terus. Lain kali cepet pulang ke sini! Jangan ladenin!" Ujar Cici kali ini berbalik lalu mengelus kepala Ega dengan lembut. Mendapat perlakuan seperti itu, entah mengapa membuat Ega begitu emosional. Dia makin menunduk dengan air mata yang tak lagi bisa dibendung. Apalagi ketika Ibrahim menepuk pundaknya lalu mengusapnya perlahan.
Firza ikut menunduk, sedangkan Selin meraih tangan Ega dan menggenggamnya seolah ingin memberi kekuatan. Keputusan Ega untuk datang ke sini memang yang paling tepat. Di sini dia merasa diperlakukan layaknya manusia.
"Dah.. Gak usah sedih-sedih! Kita bisa hadapi sama-sama.." Cici kembali menguatkan. Ega pun mengangguk lalu menghapus air matanya dengan senyuman hangat. Ia bahkan sempat membalas genggaman Selin lalu saling beradu pandang dan melempar senyuman. Meski tak menyelesaikan semuanya, setidaknya di sini Ega merasa diobati.
"Dion mana? Belum bangun?" Tanya Ibrahim.
"Saya bangunkan Om.." Firza menawarkan diri.
"Eh jangan! Kamu makan aja! Lin! Panggil Abang kamu!" Titah Ibrahim membuat Selin sedikit merenggut tak suka. Meski begitu, ia bangkit dan menurut saja.
"Abaaaaaannngggggg!!! Bangun!!!" Enggan naik ke tangga, Selin malah berteriak di bawah. Semua orang di meja makan terkekeh melihat tingkahnya.
"Abaaaaaanggggg!!!!" Selin kembali berteriak ketika tak ada jawaban sama sekali dari Dion.
"Baaaaanng!!!" Selin kembali memanggilnya dan mendengarkan baik-baik ruangan atas.
Cklek..
Akhirnya..
"Abaaannggg cepetann! Ibu udah masak!" Selin melihat ke atas dan Dion mulai terdengar menuruni tangga. Sempat aneh karena tak ada jawaban apapun, Selin memutuskan untuk menunggu dan melihat ekspresinya pagi itu. Berabe kalau misalnya Dion marah padanya gara-gara obrolan semalam.
Perlahan tapi pasti, Dion akhirnya terlihat turun. Selin masih menunggu di samping tangga. Dia belum bisa jelas melihat ekspresi Dion kala itu.
Namun, ketika hampir sampai di tiga tangga terakhir, entah mengapa keseimbangan Dion terganggu dan tiba-tiba..
Brukkkk..
Deg!
"Abaaaanngggg!!!"
"Kenapa Lin?" Tanya Ibrahim dari dapur di ujung sana.
"Ayaaaaaahhh!! Tolongin!!! Bang Dion pingsan!!" Jerit Selin yang melihat dengan jelas bagaimana Dion terhuyung dari anak tangga ketiga dan jatuh di berguling di lantai.
Semua panik dan berlari ke arah tangga.
"Yon.." Ega yang paling cepat mencoba mengangkat dan membalik tubuh Dion. Selin seketika langsung menangis.
"Angkat dulu ke kursi Ga.." Pinta Ibrahim yang ikut menopang tubuh Dion. Firza pun ikut membantu.
"Gimana Yah?" Ibu juga panik bukan main.
Ayah mencoba memijat-mijat tangan dan kaki Dion berharap itu membantunya sadar. Ega dan Firza melakukan hal yang sama.
"Yon.. Yon.." Ibu mencoba menepuk pelan wajahnya berharap Dion cepat sadar sedangkan Selin hanya bisa melihatnya dari jauh dan tak bisa berhenti menangis.
"Ambil minyak angin Bu.." Ibrahim mencoba untuk tenang dan memikirkan solusi sembari terus memijat seluruh tubuh Dion bersama dengan Ega dan Firza. Cici bergegas mencari minyak angin yang Ibrahim minta di lemari.
"Lin! Matiin kompor!" Ditengah kegentingan, untung Cici masih ingat dengan kompornya yang masih menyala. Selin berlari ke dapur kemudian kembali untuk melihat Dion yang masih juga belum sadar.
Begitu mendapatkan minyak angin, Cici langsung mengoleskannya di bawah hidung Dion, juga di bawah telinganya.
"Yon.. Bangun Yon.." Cici semakin frustasi karena sang anak tak kunjung bangun.
"Yon..?" Ibrahim akhirnya melihat pergerakan Dion. "Yon.." Mereka mulai melihat Dion membuka matanya perlahan meski dengan ringisan yang sepertinya menyiksa. Cici terlihat lega. "Yon? Bisa bangun?" Tanya Ibrahim yang sepertinya masih harus lebih bersabar lagi karena Dion belum sepenuhnya memberi respon berarti meski matanya sudah sedikit terbuka. "Yon.." Ibrahim kembali memanggilnya lembut berharap Dion tak lagi menutup matanya. Butuh waktu beberapa menit untuk Dion mencerna pertanyaan sang Ayah.
"Bisa bangun?" Ibrahim kembali bertanya dan Dion akhirnya mengangguk pelan. Benar-benar tak ada tenaga. Entah mengapa Dion bahkan tak bisa bergerak saking lemasnya. Ega dan Firza sedikit mundur sedangkan Ibrahim membantu Dion duduk perlahan.
"Abang kenapa?" Ucap Selin pelan. Dia kini bersimpuh di hadapan Dion. Tak ada jawaban dari Dion yang masih berusaha mengumpulkan nyawa.
"Ke rumah sakit aja Yah.." Cici masih khawatir dan sepertinya Ibrahim pun setuju karena hanya diam dan berpikir.
"Gak papa Bu.. Dion pusing aja .." Akhirnya ada jawaban meski hanya terdengar seperti bisikkan saja. Cici mengecek suhu tubuhnya namun terasa normal.
"Maaafff.. Selin ke--kencengan manggilnya?" Selin masih duduk dibawah sambil menangis dengan tangannya yang bertumpu pada lutut Dion.
"Berisik..!" Keluh Dion sepertinya memang terganggu. Dia bahkan sedikit meringis selagi memijat dada kirinya pelan.
Ega kali ini membantu Selin berdiri seolah hendak memberi ruang pada Dion. Namun sedetik kemudian, Selin malah menepis dan kembali bersimpuh lalu memeluk kaki Dion.
"Udah.. Biarin aja.." Ibrahim menahan Ega dan hanya membiarkan mereka seperti itu.
"Kita makan aja di sini yah.." Usul ibu yang langsung kembali ke dapur untuk mengangkut semua makanan ke ruang tengah dimana Dion masih duduk lunglai.
Kejadian pagi itu cukup membuat semua orang shock.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top