Bab 20
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dion Tengah asik dengan laptop dan beberapa foto hasil pemotretan kemarin yang masih dia edit hingga menjelang malam. Firza juga sibuk mengedit hasil video cinematik yang dia kerjakan. Keduanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Padahal yang punya kosan pun tidak ada. Tentu saja, Ega mungkin sedang makan malam bersama keluarganya dan keluarga Hana sekarang. Kosan yang lebih mirip dengan apartemen mewah itu, bebas digunakan Dion dan Firza. Ega memang meminta mereka menggunakannya sepuas hati. Namun Dion berniat untuk menyewa kosan lain untuk pekerjaan baru mereka. Nggak mungkin merepotkan Ega terus.
"Udah dapat kosan baru?" tanya Dion pada Firza.
"Mana sempet bre, Lu kan tahu gue sama lu terus dari kemarin." Jawabnya."Minta tolong adek lu bisa nggak?" Firza malah memberi opsi lain.
"Adek gue mana tahu yang begituan." Meski sibuk masing-masing dengan laptop, keduanya masih bisa saling mengobrol satu sama lain.
"Adik lu bukan anak kecil lagi. Cariin kosan doang pasti bisa."
"Kagak! Di perlu fokus sama sekolahnya. Ngapain ngurusin urusan gue? Lagian kan waktu itu Lu sanggup? Males banget lu perasaan." Dion menatap tajam ke arah Firza. Kali ini dia benar-benar tidak suka.
"Gini deh, besok gue serahin ini semua sama customer yang nyebelin kemarin. Dan lu cari kosan buat kita gimana?" Firza mulai bernegosiasi.
Dion terdiam sejenak, kemudian akhirnya mengangguk. "Okeh.." lalu dia kembali membereskan sentuhan terakhir pada foto-fotonya.
"Beres! Gue balik!" Ujar Dion.
"Lah? Lu nggak nginep? Atau kita makan malam dulu kek males gue makan sendirian.." Firza terlihat kecewa karena hendak ditinggalkan begitu saja.
"Udah malem Za.. Noh hampir jam 09.00.. mumpung orang rumah belum berisik, mending gue buru-buru pulang." ungkap Dion yang kemudian membereskan peralatan-peralatan yang ia gunakan untuk pekerjaannya tadi, lalu memisahkan yang mana yang akan dibawa pulang, dan mana yang tidak.
"Lu bener-bener Yon.. Tega amat lu sama gue.. pesenin dulu kek.." Pinta Firza.
"Ah lu mah nyusahin mulu!" Meski kesal, Dion tetap menuruti permintaan temannya itu dan kembali duduk untuk mengoprek hp-nya kemudian membuka aplikasi pesan antar makanan. "Mau makan apa lu?" Tanya Dion.
"Sate ayam. Pakai lontong. Minumannya mixue kiwi ice teh.. Dessertnya..."
"Allahu Rabbi.. Banyak amat?" Dion langsung memotong. "Udah malam nggak boleh banyak makan! Gak sehat!" Cegah Dion.
"Ya udahlah terserah lu dah.." Firza akhirnya menyerah juga.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Di waktu yang sama, Selin sudah selesai dengan skin care rutinnya. Ya lihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 09.00 lebih. Iya lalu membuka ponselnya kemudian mengecek barangkali ada notifikasi masuk. Namun ternyata sama sekali tidak ada chat apapun. Bang Dion nginep lagi di sana? Pikirnya. Namun meski begitu, kali ini dia tidak ingin menghubunginya. Biarkan saja. Pasti lagi sibuk.
Drrt
Drrrt
Drrrt
Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk. Selin pikir itu pasti Bang Dion. Tapi ternyata tebakannya salah. Itu chat dari Bang Ega.
Lin..
Abang di depan rumah kamu..
Kedua pesan itu sontak membuat jantung Selin kembali berdetak kencang. Ngapain juga dia di depan rumah? Bukannya lagi makan malam sama keluarga Hana? Pikir Selin.
Drrrt
Drrrt
Drrt
Astaga! Dia malah telepon lagi? Gimana nih?
"Ya Bang?" Tanya Selin setelah mempersiapkan diri untuk mengangkat telepon itu. Dia juga tak membiarkan Ega menunggu lama.
"Bisa keluar bentar nggak Lin? Abang mau ngomong.." Suara Ega terdengar lain dari biasanya. Kali ini sepertinya serius. Ah tapi, kapan sih Selin bisa menebak tingkahnya si Ega? Haruskah kali ini terjebak lagi?
"Bang Dion belum pulang Bang.." Selin berusaha untuk tidak terhubung lagi dengannya. Cukup bermain-main dengan hatinya. Selin enggan kecewa lagi. Bisa aja kali ini permainan Ega lebih parah dari kemarin.
"Lin please.. Bentar aja kok abang janji.." Ega terdengar putus asa saat itu.
"Mau ngapain sih Bang?" Selin kali ini benar-benar berhati-hati.
Namun mendengar pertanyaan Selin, Ega malah terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Selin pun makin penasaran. Apa memang ini yang dia mau? Membuatnya penasaran? Atau memang ada masalah yang lebih serius dari ini? Pikiran Selin terus menjalar kemana-mana.
"Bentar aja Lin.." Suara Ega semakin tak terdengar bahkan hampir seperti bisikkan. Sedang putus asa kah? Atau hanya berpura-pura? Namun sepertinya suara itu berhasil membuat Selin berpikiran macam-macam. Apa bener-bener sedang ada masalah besar? Kenapa dia terdengar begitu tersiksa?
"Tunggu Bang." Sudahlah. Selin tak peduli lagi. Kalaupun dia puas dengan mempermainkan hatinya, silakan permainkan saja. Tak masalah. Gumam Selin yang lalu bergegas pergi turun untuk menemui Ega.
"Ke mana?"tentu saja ada Ayah yang sedang meronda di depan televisi.
"Beli pembalut." Bohong Selin.
Ayah tak lagi bicara dan hanya membiarkan anak gadisnya keluar tanpa pertanyaan lain.
Udara malam itu semakin dingin disertai rintik hujan kecil yang sepertinya belum berhenti sejak siang tadi. Di depan pagar rumah Selin, ada titik buta yang tidak bisa terlihat dari dalam rumah. Dan Ega memarkir motornya di sana. Tepat di samping pohon rindang tua, di lahan kosong sebelah rumah Selin. Ega tersenyum begitu melihat kedatangan Selin. Dia hanya memakai hoodie hitam dan celana slim fit abu. Sepertinya tadi dia mengenakan kemeja, namun kini tertutup hoodie itu. Atau sudah di lepas? Tapi dibalik itu semua, Dia masih saja terlihat mempesona. Bahkan di tengah-tengah cahaya temaram.
"Hujan Bang.. Ke dalem aja yuk! Ada ayah kok lagi nonton TV. Kayaknya Bang Dion juga bentar lagi pulang." Ujar Selin begitu mendekat. Entah mengapa Ega malah senyum tipis ketika melihat Selin berceloteh seperti itu. Pandangannya tak pernah lepas dari wajah Selin. Seperti sedang benar-benar menikmati pemandangan malam itu.
"Bang Ega!" Selin berusaha menyadarkan. "Lu mabok ya?" Tuduh Selin. Ega semakin terkekeh mendengarnya. Belum ada sepuluh detik di sana, Selin sudah bisa membuatnya tersenyum lebar seperti ini dan bahkan hampir melupakan masalah yang tengah dia alami.
"Dikit.." jawabnya dengan senyuman mengembang yang malah membuat Selin makin khawatir. Semakin diperhatikan, ternyata di wajahnya ada beberapa lebam yang sekilas pun bisa terlihat sebenarnya. Sangat kentara bahkan robekan di bibirnya nampak jelas ketika Selin lebih dekat dengannya.
"Kenapa nih? Di pukulin siapa?" Selin lagi-lagi mempertanyakan bahkan sempat hendak menyentuh pipinya meski tak sampai dan kembali mengurungkan niatnya.
Namun kali ini Ega yang meraih tangannya, kemudian meletakkan dengan lembut telapak tangan Selin tepat di pipinya. Bayangkan seberapa ribut hati Selin saat itu.
"Mau ikut Abang ke luar negeri nggak?" Tanya Ega. Ini salah satunya. Alasan, kenapa Selin jatuh hati sama Bang Ega. Dia terlalu mirip sama Bang Dion. Entah mengapa Selin menyukai itu.
"Ngapain?"
"Kabur." Jawab Ega dengan enteng.
"Dipukulin Papah Abang lagi?" Tanya Selin.
"Hmm.." Kali ini Ega menggangguk membenarkan.
"Kenapa?"
"Hana batalin perjodohan." Jawab Ega jujur tanpa berniat menutup-nutupi. "Tapi nggak tahu kenapa Abang malah lega." Lanjutnya meski masih dengan mata yang memerah. Selin tak bisa berkata-kata saat itu. Mendengarkan adalah solusi terbaik. Dan kemungkinan Ega pun hanya ingin didengarkan dalam kondisi ini.
"Hana bilang kamu suka sama Abang.. Kalau gitu kita kabur aja ke luar negeri. Asal sama kamu, abang kira kita bakal baik-baik aja." Sumpah! Ini adalah kata-kata termanis yang pernah Bang Ega ucapkan kepada Selin. Ingin rasanya mengiyakan saat itu juga. Tapi Selin tidak semudah itu. Dia yakin Bang Ega hanya termakan emosi sesaat.
"Masuk dulu yuk Bang hujan.." Selin kembali mengajak. Namun Ega menggeleng.
"Kalau Abang bilang Abang juga suka sama kamu sejak lama, kamu percaya?"
Deg!
Seketika Selin mematung. Bukan mimpi kan? Kenapa tiba-tiba..
"Abang senang banget waktu dengar dari Hana. Rasanya abang punya tujuan baru sekarang. Tapi makin lama dipikirin, Abang makin ragu. Bener nggak sih kamu suka sama Abang? Atau kamu cuma kagum doang mungkin? Atau karena terlalu terbiasa karena Abang selalu bareng-bareng sama Dion? Karena perasaan kayak gitu, di usia kamu saat ini, akan banyak perubahan nantinya." Ega sempat menjeda kemudian mencoba menguasai diri untuk kembali melanjutkan.
"Bisa nggak sih Abang egois aja. Menganggap perasaan kamu sama seperti perasaan abang ke kamu, dan kalau bisa, Abang bawa kamu pergi jauh-jauh dari sini. Biar nggak ada yang pernah bisa nyakitin kamu, atau ganggu kita." Senyuman Ega tak pernah lepas ketika mengatakan semua itu. Namun juga entah mengapa air di matanya tak kunjung berhenti dan sesekali dibarengi senyuman palsu yang terlihat miris itu.
"Abang capek Lin. Abang juga pengen hidup sesuai dengan keinginan Abang sendiri.." Dia sempat terkekeh renyah ketika rampung mengatakan semua itu.
Ega terlihat menyedihkan sekarang. Bisa bayangkan betapa tersiksanya Dia selama ini? Mengingat semua itu, Selin mencoba meraih tangannya lembut, dan rasanya ingin sekali memeluk Ega erat-erat malam itu.
"Boleh minta peluk gak Lin?" Ega kembali memberikan senyuman yang entah apa artinya itu. Dia merentangkan kedua tangannya seolah benar-benar meminta Selin menghambur ke dalam pelukan. Selin tak bisa menjawab dan akhirnya malah melangkah maju bersamaan dengan rasa haru yang tiba-tiba menyeruak.
Dalam pelukan hangat itu, Ega kembali menangis. Bahunya bergetar hebat, dadanya naik turun tak terkendali. Selin bahkan bisa merasakan bahunya hangat karena air mata Ega.
"Abang gak sendiri.. Aku di sini Bang.. Kita disini.." Selin mengelus punggung Ega, dan ikut menangis juga malam itu.
Namun tak berlangsung lama, tiba-tiba, kedua pasang telinga itu mendengar suara motor yang tak asing. Sepertinya itu Dion. Selin buru-buru mengurai pelukannya, kemudian membantu Ega menghapus air mata di pipinya. Keduanya terkekeh kecil lalu bersiap melihat ke arah datangnya Dion.
Motor itu benar-benar berhenti di mana mereka berdiri. Benar. Itu Dion. Dia menatap mereka dengan curiga, kemudian mematikan mesin motornya.
"Ngapain kalian?" Tanya Dion benar-benar ketus.
"Eeee....."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top