Bab 16

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Jan centil lu!" Kalimat itu yang meluncur dari mulut Dion ketika Selin turun dari motornya tepat di depan gerbang sekolah. Mendengar ucapan hina itu, Selin langsung menatapnya tajam. Marah kah? Bukan. Cuma kesal se-uprit kemudian kembali menghampiri sang Abang. Kali ini dengan tatapan serius.

"Tar malem pulang kan?" Tanya Selin. Dion sontak tersenyum lembut kemudian mengusap sayang pucuk kepala Selin.

"Abang ada kerjaan sebenernya. Izin gak pulang dua harian ke depan gak papa?" Tanya Dion yang juga serius.

"Di Bandung ya?" Selin mulai mempertimbangkan.

"Kok tau?" Dion heran.

"Kata Bang Ega.." Jawab Selin. Dion mengangguk paham.

"Di Bandung udah selesai. Sekarang gak jauh-jauh kok. Cuma kalau bolak-balik agak repot, apalagi musim hujan. Tar kalau Abang udah punya mobil kayaknya gak masalah bolak-balik sana sini.." Jelas Dion. Perasaan keduanya selalu seperti ini. Tak bisa dijelaskan dengan mudah. Entah apa yang mengikat mereka hingga menyalahi aturan kakak adik yang biasanya bukan hal ini yang diperdebatkan. Jika kakak adek di luar sana bahkan enggan bertemu satu sama lain, tidak dengan Selin dan Dion yang entah mengapa selalu ingin rutin bertemu seperti ini. Kemungkinan penyakit mental. Ya kan? Apalagi alasan yang masuk akal untuk menjelaskan ini?

"Aku pengen tau kosan Bang Firza yang baru." Selin tetap tak rela rupanya. Bukannya geli, Dion malah mengembangkan senyuman. Senang kayaknya dia.

"Bukan kosan Firza. Tapi kosan Ega. Kita semua pindah ke sana." Jelas Dion.

"Bang Ega?" Selin terlihat antusias mendengar nama itu.

"Gue bilang jangan centil lu kutil!" Dion mengerang tak suka.

"Dimana Bang? Kosannya?" Selin benar-benar berharap jawaban dari Dion sekarang.

"Kagak! Gak ada! Gak akan kasih tau gue!" Dion bahkan bersiap kembali menyalakan motornya.

"Abangggg!!" Selin kesal namun masih berharap.

"Gak! Gak ada Ega!" Tegas Dion.

"Abang kan tau aku suka banget sama Bang Ega.." Selin mencoba memelas meski sebenarnya ia tau betul pasti tidak akan mempan.

"Lu juga kan tau, gue gak suka lu pacarin temen gue. Lagian si Ega udah di jodohin. Lu gak punya kesempatan apapun. Yang ada lu kena gampar pak Komandan. Gak ada gak ada!"

Bruukkkk.. Selin menoyor Dion menggunakan tas saking kesalnya.

"Anji**ng!" Dion tentu saja marah.

"Gue bisa tanya Hana!" Ujar Selin kemudian bergegas lari untuk menghindari amukkan sang Abang. Meski begitu, dari kejauhan Selin tetap berbalik untuk sekedar melambai sebelum memasuki gerbang sekolah.

"Anak kamvret.." Kekeh Dion sambil memperhatikan sang adik dari kejauhan. Terlintas dalam benak Dion saat itu, tentang perasaannya pada Selin. Betapa sayangnya dia pada adiknya itu, dan betapa ingin dia melindunginya dari apapun. Termasuk Ega. Ya kan? Dia raja dari kumpulan buaya darat di muka bumi. Gak mungkin Dion merelakan adiknya begitu saja.

.
.
.
.
.
.
.
.

"Haii!!" Hana melambai ketika melihat Selin datang pagi itu. Kali ini dengan senyum sumringah karena dia tau, hubungan mereka kini sudah membaik. Tapi di luar dugaan, Selin masih saja cemberut.

Sreeeettt..

Tiba-tiba Selin mendekat lalu meremas wajah Hana dengan satu tangan.

"Lu bilang apa sama Bang Ega hah?" Tanya Selin penuh penekanan.

"Haih..!!" Hana menepisnya kasar. "Bilang lu suka sama dia lah.." Jawab Hana tanpa merasa bersalah sama sekali.

"Kenapa siih Hanaaaaaa.." Selin makin frustasi bahkan kini hanya bisa duduk di sampingnya sambil mengacak-acak rambut.

"Ya lu bilang gue harus lepas dari Ega dulu kan? Udah gue lepasin noh buat lu!" Ungkap Hana berbangga diri.

"Gak gitu caranya kutil!" Saking kesalnya Selin bersuara tinggi hingga membuat beberapa orang memperhatikan mereka lagi.

"Eh.. Yang penting kan dia udah tau.." Hana malah merangkul Selin sambil cengengesan gak jelas. Beberapa kali Selin berusaha melepaskan rangkulan Hana namun dia malah semakin menggelayut. "Lagian kenapa si Bang Dion overprotektif banget perasaan? Sama Anjoy gak boleh, Bang Ega gak boleh, sama siapa tuh yang banci tuh.." Hana kembali mengingat-ingat.

"Eyzzz.. Jan bahas lagi deh.." Selin tak suka masa lalunya kembali terkuak. Apalagi soal cowok gay itu. Bikin meriang aja. Malu-maluin.

"Kenapa lu gak boleh pacaran si?" Tanya Hana.

"Ya.. Mungkin Bang Dion pengen gue jadi ukhti-ukhti kali.." Selin pun sebenarnya tak tau jawaban pastinya. Selama ini dia hanya bisa menebak-nebak saja. Dan kalaupun Dion menjelaskan, kayaknya alasan-alasan itu sama sekali tidak bisa ia terima begitu saja. Terlalu receh gak sih kalau kagak boleh pacaran di usia-usia begini gara-gara harus fokus belajar? Mana kenangan manis yang bisa dikenang pas tua nanti? Gak asik emang. Pikir Selin.

"Bang Dion pernah punya pacar?" Tanya Hana.

"Mm.... Ah.. Pernah.." Selin tiba-tiba ingat cewek yang membuat Bang Dion sampai terperosok ke dunia kelam dulu. Cewek itu bahkan meninggal karena overdosis obat-obatan terlarang. Selin sebenarnya enggan membahasnya lagi. Tapi jika sudah menjawab seperti ini, Hana tidak akan membiarkannya lolos.

"Siapa? Cantik? Masih punya kontaknya gak?" Tanya Hana begitu penasaran.

"Dia udah meninggal Na.." Jawab Selin hingga membuat Hana tertegun.

"Meninggal?"

"Hmm.. Overdosis.. Nark***oba.." Jawab Selin. "Setelah dia meninggal, Bang Dion kacau Na.. Bang Ega juga sama aja. Mereka lampiasin sama ngerokok, mabok, dugem, main cewek, semua dijabanin. Gak tanggung-tanggung, Bang Dion sampai hampir mati gara-gara alkohol. Jantungnya juga pernah di belah waktu itu. Serem Na kalau diingat-ingat. Makannya gue gak bisa kalau lama-lama marahan sama dia. Takut gue.."

"Serius?" Hana enggan percaya namun Selin mengangguk dengan yakin. "Bang Dion pasti trauma pacaran kalau gini caranya.. Pantes dia juga gampang pingsan.. Ternyata badannya emang gak baik-baik aja. Artinya sampai sekarang dia masih tergantung sama obat-obatan kan?" Tanya Hana hapal betul kalau soal ini. Semangat Hana tiba-tiba mengendur plus khawatir mengingat operasi jantung bukanlah operasi sepele.

"Beberapa tahun pertama emang rutin minum obat bahkan selalu rajin cek up rumah sakit. Tapi kayaknya pas dua tahun terakhir, dia udah mulai gak peduli lagi. Makannya makin sering pingsan. Apa-apa pingsan, capek dikit pingsan, denger kabar buruk pingsan, kaget juga pingsan. Gue pernah ngagetin dia pas mau masuk kamar, eh tiba-tiba gak sadar. Gob**lok banget gue." Selin benar-benar merasa bersalah ketika mengingat hal ini.

"Jangan main-main lu.." Hana setengah menasehati. Namun setengahnya lagi bingung. Ternyata Bang Dion se-rapuh itu.

"Apa? Nyerah lu? Gak mau lagi sama Bang Dion? Ilfeel?" Tanya Selin tiba-tiba.

"Kayaknya susah yah Lin.. Bukannya ilfeel, kalau keadaannya kayak gini, gue mana mau maksa-maksa dia. Takut juga bang Dion malah kenapa-kenapa." Ungkap Hana makin menciut.

Brukkkk!! Selin menepuk kaki Hana hingga membuatnya terperanjat.

"Baru tau segini aja lu langsung nyerah gini? Gimana si? Boro-boro dapetin Bang Dion, dapet restu gue aja gak sudi kalau lu--nya begini mah!" Selin balik marah.

"Jangan gitu dong Lin.." Hana kembali takut meski rasanya tembok antara Dion dan dirinya malah semakin meninggi.

"Ya semangat dong makannya! Mulai sekarang, lu tanya apapun tentang Bang Dion, gue jawab semua. Kita deketin dia pelan-pelan, lu obati lukanya, terus lu cuci otaknya biar kasih restu buat gue sama Bang Ega. Gimana?"

Kriiiiingggggg....

Bel berbunyi tepat setelah Selin mengatakan kata-kata terakhir. Pas banget timingnya. Padahal belum sempat Hana jawab tadi.

"Males gue upacara.." Keluh Selin. Tiba-tiba kayak sayuran lembek abis di jemur.

"Pura-pura sakit aja yuk!" Ajak Hana.

Seketika senyuman Selin mengembang. Mereka saling bertatapan nakal kemudian bergegas mengambil sesuatu dalam tasnya.

"Micellar water.." Selin memberikan sebuah kapas yang sudah dibasahi micellar water itu pada Hana supaya bisa menghapus makeup tipis yang selalu mereka gunakan ke sekolah. Sedangkan Hana memberikan sebuah concealer high coverege pada Selin yang tentu paham harus ia gunakan dimana.

"Tipis aja biar natural.." Ujar Hana ketika Selin membubuhkan concealer itu di bibirnya.

Hah..

Masa depan bangsa ini apa kabar?
.
.
.
.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top