Bab 15
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Begitu Dion keluar, Selin tak lantas kembali ke kasur nyaman itu. Dia menguping suara langkah Dion dan memastikan kakaknya benar-benar masuk ke dalam kamar. Dan begitu mendengar suara pintu kamar Dion tertutup, Selin akhirnya bisa bernapas lega.
Tak lama setelah kembali duduk di atas kasur, suara getar ponsel Selin tiba-tiba terdengar. Di tengah malam buta seperti itu, nama Ega muncul di layar ponsel Selin. Seketika jantung Selin berdebar. Ada apa? Kenapa? Haruskah di jawab, atau biarkan saja? Otak Selin ribut sekarang. Meski pada akhirnya..
"Iya? Kenapa Bang?" Selin menjawab panggilan itu.
"Dion udah pulang Lin?" Tanya Ega terdengar cemas.
"Udah Bang. Kenapa?" Selin balik bertanya.
"Tadi kita lagi di Bandung Lin.. Ada kerjaan kita di sana. Tiba-tiba Dion dapet telepon dari kamu, terus malah pergi bawa motor Abang. Ditanya mau kemana katanya mau balik. Padahal lagi hujan deres banget di Bandung. Tambah lagi jaraknya lumayan jauh dari rumah. Abang kira Dion belum nyampe situ. Ternyata udah.. Syukur kalau udah.."
Deg!
Mendengar penjelasan dari Ega malah makin membuat Selin merasa bersalah pada sang kakak. Ternyata tadi jarak yang dia tempuh cukup jauh. Pantas saja tangannya sampai Tremor begitu.
"Mm? Udah Bang.. Bang Dion baru nyampe.." Selin kaku menanggapi penjelasan Ega yang terasa bikin sesak itu. Kenapa juga Bang Dion cuma bilang dari Tenggara tadi? Dari Bandung ke sini butuh dua sampai tiga jam perjalanan padahal. Kenapa se-nekad itu? Kalau beneran mati di jalan, Selin bersumpah bakal ikut mati juga. Selin hampir menangis ketika memikirkannya.
"Iya deh kalau gitu. Tadi Dion kayaknya kesel banget pas pergi. Abang khawatir kenapa-kenapa di jalan. Apalagi hpnya Dion gak bisa di hubungi tiba-tiba. Firza nyuruh Abang tanya kamu aja. Maaf ya, ganggu malem-malem." Selain memikirkan Bang Dion yang ternyata se-effort itu nyamperin Selin setelah berdebat tadi, kali ini Selin pun heran kenapa Ega masih juga tak memutus sambungan teleponnya meski sudah berbicara banyak. Biasanya gak se--panjang ini.
"Gak papa Bang, justru aku seneng bang Dion punya temen-temen yang bener-bener peduli sama dia." Ungkap Selin.
"Kalian berantem lagi?" Tanya Ega. Selin pikir, ucapannya tadi akan menjadi yang terakhir, tapi nyatanya Ega masih mengajaknya bicara.
"Iya Bang, tapi udah baikan kok."
"Syukur deh kalau gitu.. Tapi.. Kamu gak papa kan?" Ega lagi-lagi bertanya hingga membuat Selin makin kebingungan sendiri. Ada apa dengannya? Kenapa banyak sekali bertanya?
"Gak papa. Kenapa memangnya?" Selin balik bertanya.
"Lin.."
"Apa?"
"Kemarin Hana bilang sesuatu sama Abang."
Deg!
Kamvret!
"Bilang apa Bang?" Tanya Selin penasaran meski sebenarnya sudah menebak dalam hati. Namun, ia harap tebakkanya salah. Hana gak se-brengsek itu kan? Jangan lah.. Ayolah..
"Coba tanya Hana dia bilang apa ke Abang.." Ega malah main tebak-tebakan. Selin makin gemetar dengan tangan yang penuh keringat dingin.
"Lupain bang! Hana bercanda kayaknya." Selin mencoba membatalkan apapun ucapan Hana yang kemungkinan pasti tentang perasaannya itu.
"Yakin mau dilupain aja?" Ega bahkan kini sedikit terkekeh. Selin makin salting di buatnya.
"Ya apa memangnya? Hana bilang apa Bang?" Tanya Selin makin penasaran.
"Kalau dengar langsung dari Abang kamu siap?" Ega malah kembali menggoda dengan kekehan khasnya. Selin mulai guling-guling di kasur saking tak tahan dengan obrolan itu.
"Abang ih! Kalau Abang gak ngomong Selin tutup ya!" Ancam Selin.
"Ya Abang tanya dulu, kira-kira kamu siap gak?" Ega kembali dengan kekehan khasnya yang membuat Selin kian meleleh dibuatnya. Ega mana mungkin mempan dengan ancaman Selin. Dia lebih lihai dari itu.
"Ya apa dulu?" Kalau Ega bisa melihatnya, wajah Selin se-merah tomat ceri sekarang. Dari yang berkeringat dingin, tiba-tiba memanas karena pembicaraan receh ini.
Brakkk!!
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka tanpa aba-aba. Selin mengerjap. Dion sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah masam. Pakaiannya sudah berganti, meski rambutnya masih sedikit basah. Tanpa basa-basi dia masuk kembali menerobos kamar sang adik kemudian merebut ponsel itu darinya.
"Eh Bangke! Ngapain lu ganggu adek gue malem-malem?! Gak ada kerjaan lu?!" Cecar Dion. Selin menunduk takut melihat kakaknya kembali marah-marah. Ia tau betul, meski Dion sudah mengetahui jika dirinya menyukai Ega, namun beberapa kali Dion mengungkapkan ketidaksetujuannya. Dion pernah bilang, tak akan pernah merestui jika Selin benar-benar bersama Ega. Selin pun sudah khatam dengan alasan-alasan Dion yang mendasarinya. Tak perlu di jelaskan lagi. Ini sebabnya Selin tak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada Ega meski Hana sudah memancingnya dengan begitu ekstrim.
"Galak amat lu.. Gue bae-bae pengen tau lu sampai di rumah apa nyangkut di tol Cipularang.." Ungkap Ega.
"Gue pake motor bego!"
"Ah.. Iya juga." Ega membenarkan.
"Beres?" Tanya Dion. Selin masih mendengarkan meski tak tau apa yang sedang mereka bicarakan.
"Aman. Tenang aja. Kita besok balik." Ujar Ega.
"Oke deh.. Hati-hati. Kabarin kalau udah di kosan lu."
"Siap-siap.."
"Hmm.."
"Kasihin adek lu lagi!" Titah Ega.
"Kagak! Taik lu!" Dion malah kembali marah. Sempat terdengar suara kekehan Ega di seberang sana sebelum Dion memutus sambungan telepon itu.
"Dih.. Gak bisa banget lu liat adeknya seneng.." Selin memincing tak suka.
"Se-suka itu lu sama Ega?" Pake nanya segala ni si tua Bangka! Gumam Selin.
"Gue lebih suka sama lu Bang.. Tenang aja.." Selin memberikan senyuman semanis mungkin pada Dion. Dan tanpa dia sadari, ucapan itu membuat otak Dion terganggu.
"Najis!" Ujar Dion yang langsung melempar ponsel Selin kemudian pergi untuk kembali ke kamarnya.
"Ck.. Jaimnya gak ketulungan.. Tadi aja nangis-nangis gara-gara gue blokir." Selin menggeleng tak percaya karena harus melihat tingkah Dion yang se-random itu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Pagi itu keluarga Selin kembali lengkap. Entah ada angin apa, Dion sudah terlihat akur dengan ibu dan bahkan membantunya di dapur. Meski sudah mengenakan seragam dinas, tetap ibu yang menyiapkan sarapan untuk mereka semua. Walaupun hanya sebatas empat buah telur mata sapi, tetap saja butuh effort untuk memasaknya.
"Gitu dong Bang.. Kali-kali bantuin ibu kayak gini kan enak di pandang. Iya gak Yah?" Ungkap Selin begitu turun dari kamarnya dengan seragam lengkap dan tas di bahu kanannya, juga kardigan ungu yang ia sampirkan di tangan kiri.
Dion malah menatap Selin tak suka meski tak bisa membalas ucapannya.
"Harusnya kamu! Anak gadis bantuin ibu di dapur, itu baru normal." Ayah malah terkesan membela Dion. Padahal Selin tadi butuh verifikasi dari Ayah.
"Denger gadis?" Ledek Dion yang lalu saling melempar senyum dengan ibu.
"Ini jaman apa sih yah.." Elak Selin dengan tenang. "Sekarang itu udah ada yang namanya kesetaraan gender. Gak melulu harus perempuan yang ada di dapur Yah. Perempuan juga bisa kerja. Perempuan juga bisa ngasilin uang. Bahkan ada banyak di luar sana perempuan-perempuan yang gajinya melebihi laki-laki. Ya kan?"
"Udah ah.. Jangan kebanyakan teori. Makan aja makan! Tar kesiangan!" Ibu buru-buru mengakhirinya sebelum menjadi pembahasan yang lebih panjang.
Uhuukk uhuukk uhuukk..
Dion beberapa kali terbatuk kemudian buru-buru minum air putih.
"Jangan kebanyakan motor-motoran Yon.. Kamu lagi ngerjain apa sih? Sibuk banget belakangan ini." Tanya Ayah. Ibu yang kali ini sangat senang dengan kepulangan Dion pun ikut khawatir melihat keadaannya sekarang.
"Ada kerjaan sama Firza Yah, sebulanan lah.."
Uhukkk uhukkk..
"Kerjaan apa?" Tanya Ayah penasaran.
"Tar juga ayah tau.." Uhukkk uhukk uhukk..
Ibu mengusap pelan punggung Dion kemudian memegang dahi dan lehernya dengan punggung tangan.
"Enggak Bu.. Dion gak demam.." Dion merasa tubuhnya baik-baik saja dan hanya sedikit gatal di tenggorokan saja. Ibu yang tadinya sempat khawatir, kembali tenang ketika menyadari suhu tubuh Dion memang normal.
"Kalian sayang banget yah sama Bang Dion?" Tanya Selin yang ikut senang melihat pemandangan di meja makan pagi ini. Ibu dan Ayah terlihat gagu mendengar pertanyaan Selin.
"Liat kan Bang? Makannya kebiasaan minggat jangan di terusin! Jelek! Sama keluarga tuh wajar kalau sekali dua kali berantem abis itu baikan lagi. Jangan main pergi-pergi aja. Kayak cewek lu!"
"Gue gak mau anterin lu ke sekolah yah!" Tunjuk Dion penuh ancaman.
"Gue telepon bang Ega biar dia yang jemput!" Balas Selin. Dia tau betul Dion pasti tidak suka.
"Berani lu?!" Dion hanya bisa balik mengancam.
"Berani lah.." Tentang Selin.
"Selin!" Dion kembali berteriak ketika Selin mulai membuka ponselnya.
"Kalau gitu anterin!" Pinta Selin.
"Ya udah ayok!" Ajak Dion dengan nada tinggi. Tingkah keduanya berhasil membuat ibu dan Ayah terkekeh riang pagi itu.
Selin.. Dion.. Keduanya memiliki ikatan aneh yang tak bisa di jelaskan siapapun. Sejauh ini kalian melihatnya sebagai apa? Masih normal kah?
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top