Bab 14

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tuk
Tuk
Tuk

Selin mengetuk sebuah pintu kosan yang dia yakini adalah kosan Firza. Kebetulan kemarin dapat kabar dari Ibu, katanya Bang Dion pulang tapi pergi lagi. Bisa-bisanya gak nunggu adeknya pulang. Gerutu Selin dalam hati. Nyesel kemarin malah minta di traktir Hana. Kalau langsung pulang ke rumah, kayaknya bisa ketemu sama bang Dion kan?

Tak ada jawaban apapun dari dalam pintu itu. Selin kembali mengetuk beberapa kali lalu menunggu lagi.

Tiba-tiba terdengar suara dentuman petir di luar sana yang terdengar menakutkan. Selin mulai waspada. Mereka ke mana sih? Gumamnya. Tak lama setelah itu hujan turun dengan derasnya tanpa aba-aba. Apa seharusnya Selin tidak datang ke sini? Dan kenapa juga di sini tidak ada seorangpun yang lewat. Bahkan sejak tadi Selin tidak melihat tanda-tanda kehidupan di sana. Sangat sepi bahkan tidak ada suara sama sekali. Tambah lagi hari sudah mulai gelap. Harus bagaimana sekarang? Selin mulai khawatir.

Selin membuka ponselnya, berniat untuk kembali mencoba menghubungi Dion. Meski kemungkinan tidak akan digubris tapi Selin tetap harus mencobanya.

"Abang di mana sih?" Ungkap Selin ketika sambungan teleponnya terhubung dengan sang kakak. "Aku di depan kosannya Bang Firza ini.. "

"Lah ngapain lu di situ?" Dion malah mempertanyakan.

"Cariin Abang lah.." Jawab Selin dengan suara bergetar. Dia benar-benar ketakutan sekarang. Ditambah lagi suara petir terus-menerus menggelegar sejak hujan turun tadi. Tuhan sepertinya marah. Entah pada siapa, mungkin padanya? Selin benar-benar ingin menangis sekarang.

"Firza udah pindah bego! Udah nggak di situ dia! Abang juga nggak di situ! Ngapain sih lu! Main aja kek sama Hana! Ngapain cari-cari gue?" Dion malah terdengar marah. Mendapat makian seperti itu membuat Selin pun ikut marah.

"Gitu amat si lu Bang.." Selin benar-benar kecewa mendengarnya.

"Ya lagian kalau mau apa-apa itu tanya dulu kek. Ini udah mau malem lu malah kelayapan gak jelas!" Dion terdengar menyalak tanpa belas kasihan. Dan lagi-lagi, ucapan itu melukai Selin. "Pulang gak lu!" Pangkas Dion.

"Ya! Oke! gue balik! Jangan pernah ya lu cari-cari Gue! Awas lu! Gue gak mau ketemu lu lagi! Mati aja lu sekalian!" Saking marahnya Selin mengumpat dengan kata-kata yang sama sekali tidak Dia pikirkan sebelumnya. Tapi bodo amat! Dia terlanjur marah. Selin pun mengakhiri panggilan itu dengan perasaan gondok. Tak seharusnya dia ingin bertemu dengan kakaknya jika hanya mendapat makian seperti ini.

Goblok banget sih punya Abang. Tadinya pengen ketemu malah kena marah. Sialan! Gerutu Selin.

Akhirnya tak ada pilihan selain kembali pulang. Menerobos hujan pun gak masalah yang penting cepat sampai ke rumah.

Adakah perlakuan Abang yang lebih buruk dari ini? Seumur-umur Selin tidak pernah diperlakukan sampai seperti ini oleh Dion. Padahal dia hanya ingin melihatnya, karena kemarin tidak sempat bertemu. Seharusnya dia fokus saja pada kehidupannya sendiri. Lama-lama pusing mikirin dia gumam Selin dalam hati.

.
.
.
.
.

"Ya ampun, kenapa basah kuyup begini sih nak?" Begitu masuk ke dalam rumah Selin langsung disambut oleh ibu dan ayahnya dengan khawatir.

"Kehujanan Bu.." jawab Selin sambil cengengesan.

"Kenapa nggak telepon ayah sih biar ayah jemput," ayah juga khawatir melihatnya.

"Nggak papa yah, kali-kali hujan-hujanan hehehe..." Selin enggan membahas Dion lagi meski khawatir kata-katanya terakhir mungkin saja menjadi kenyataan atau menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya. Ah sudahlah mana ada ucapan manusia yang sesakti itu. Ucapannya hanya celetukkan sesaat tanpa maksud apa-apa. Dia hanya marah. Pikir Selin.

"Sana mandi gih! Biar nggak masuk angin.." Titah ibu.

Selin mengangguk dan langsung naik ke atas menuju kamarnya. Meski dalam hati masih memikirkan Abangnya Dion, tapi bisa apa? Mengingat ucapannya di telepon tadi, membuatnya kembali marah. Haruskah sekasar itu?

Selesai membersihkan diri, Selin mulai meringsut di atas kasurnya. Setelah dingin melanda, yang paling enak itu tiduran sambil pegang HP dan ngemil. Tapi nggak deh kalau ngemil. Terlalu malas untuk turun ke bawah dan ngoprek-ngoprek dapur Ibu. Pasti akan banyak pertanyaan lagi nanti.

Selin mencari ponselnya kemudian membuka aplikasi messenger. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Dion. Dia bahkan mengirimi pesan yang kemudian langsung Selin baca.

Dimana?
Selin!!
Dimana lu!

Ketiga bunyi pesan itu hanya tentang di mana keberadaan Selin saat itu. Membaca isi pesan Dion membuat Selin tersenyum tipis. Dia masih peduli juga ternyata. Goblok banget dari tadi marah-marah kan? Gak mau tahu pokoknya gue blokir aja dia! Hubungan kakak beradik berakhir sampai di sini. Dia bukan kakak gue lagi! Gue bisa cari kakak yang lebih baik dari dia! Makan tuh rasa penasaran! Gumam Selin penuh dendam.


Puas dengan perlakuannya pada Dion, Selin melempar ponselnya sembarangan, lalu merebahkan dirinya dengan nyaman di kasur yang empuk. Saatnya untuk tidur. Jangan harap, Selin membuka blokirannya semudah itu. Dia berharap Dion memikirkan kesalahannya kali ini. Atau kalaupun Dion cuek aja, artinya memang hubungan kita sampai di sini saja. Bukankah hubungan kakak adik yang normal itu begini? Gumam Selin.

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Selin terlelap malam itu. Mungkin karena kelelahan, atau mungkin juga karena terlalu nyaman dengan selimutnya yang hangat.

Jam di dinding saat itu sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Pintu rumah Selin terdengar seperti ada yang berusaha membukanya. Padahal ayah sudah menguncinya sejak pukul 10.00 malam tadi sebelum dia masuk ke dalam kamarnya.

Tuk tuk tuk..

Beberapa kali ketukan terdengar nyaring malam itu meski dibarengi dengan hujan deras yang tak kunjung berhenti.

Tuk tuk tuk...

"Ayah! Yah!.."

Terdengar suara Dion yang kembali menggedor-gedor pintu rumah itu. Padahal Ibrahim hampir saja terlelap, tapi suara Dion terdengar jelas di telinga hingga mau tak mau membuatnya kembali terbangun. Dia beranjak dari tidurnya menuju pintu depan, untuk membukakan pintu.

"Allahu Robbiii... Jam berapa ini nak?" Ibrahim benar-benar khawatir melihat Dion basah kuyup datang malam-malam ke rumah.

"Selin udah pulang yah?" hal pertama yang dia tanyakan adalah adiknya begitu pintu itu terbuka. Selalu seperti itu. Di tangan kanannya ada ponsel yang juga terlihat basah. Sepertinya dia tidak tenang karena Selin sudah memblokir nomornya.

"Udah dari tadi..." Ungkap Ibrahim yang kemudian menutup pintu rumahnya lalu menguncinya kembali. "Kalian kenapa hujan-hujanan sih kayak bocah aja.." keluh Ibrahim yang nyatanya sama sekali tidak didengar oleh Dion dan malah melenggang ke arah tangga. Ibrahim kira, Dion mungkin akan segera masuk dan membersihkan diri di dalam kamarnya. Karena itu dia kembali ke dalam kamarnya sendiri dan berniat untuk tidur.

Namun Dion nyatanya sama sekali tidak bermaksud untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri melainkan langsung menerobos kamar Selin sang adik.

"Lin! Selin! Heh! Selin!" Dion berusaha membangunkan sang adik beberapa kali dengan raut wajah cemas.

Selin akhirnya bangun kemudian melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 11.00 malam.

"Apa sih Bang?" Mata Selin masih lengket sebab di bangunkan tiba-tiba seperti itu.

"Kenapa main blokir blokir segala sih? Lu beneran pengen gue mati?" Dion kali ini terlihat marah.

Selin benar-benar melongo. Haruskah membahas ini malam-malam begini? Sepenting itukah? Padahal bahas besok bisa kan? Ngantuk bet ini. Pikir Selin.

"Lu mandi gih! Baju lu basah. Ntar lu masuk angin ah.." Selin kesal karena sengaja dibangunkan hanya untuk ini. Usai mengatakan itu, Selin hendak kembali tidur. Namun Dion langsung menahan.

"Buka gak blokiran lu!" Dion masih membahasnya. Wajahnya sama sekali tak berubah sejak datang tadi. Dia terlihat cemas bahkan matanya terlihat merah. Selin mulai kebingungan kenapa Dion bisa sepanik itu sekarang? Semakin diperhatikan dengan seksama, tangan Dion pun  terlihat gemetar. Sepertinya Tremor.

Selin kali ini menyibak selimutnya, kemudian bangun supaya bisa lebih jelas melihatnya.

"Maaf Bang.." Entah mengapa Selin malah menyesal sekarang. Kemarahannya tadi, seharusnya tidak sampai membuat Bang Dion seperti ini kan?

Hahz.. Dion tiba-tiba ambruk dengan bahu bergetar. Selin bisa melihat tetesan air dari rambut Dion yang jatuh membasahi lantai. Tambah lagi, makin lama, terdengar isak tangis Dion yang makin membuat Selin merasa bersalah.

"Selin bercanda Bang.. Lu lebay banget perasaan.." Selin mencoba menghibur kali ini. Dia bahkan duduk lagi di atas kasur kemudian mengambil ponselnya untuk membuka blokirannya tadi. "Udah di buka blokirannya. Tuh.." Ungkap Selin berharap Dion tak lagi menunduk seperti itu. "Bang.." Perlahan, Selin ikut meringsut di lantai, kemudian tangannya mulai mencoba meraih tangan Dion. Namun kali ini benar-benar di tepis kasar. Dion memalingkan wajah berusaha untuk tidak terlalu terlihat oleh sang adik.

"Jangan nangis dong Bang..." Meski begitu, derai air mata Dion tetap terlihat meski sekilas. Selin sempat terkekeh karena baginya, sikap Dion terlihat menggemaskan sekarang.

"Gak! Siapa yang nangis?! Udah tau di luar hujan." Elak Dion enggan mengakui. Meski begitu, dari suaranya saja terdengar jelas Dion tak bisa menyembunyikan perasaannya.

"Iya deh hujan.." Selin enggan mendebat lagi meski kembali cengar-cengir karena tingkah sang kakak.

"Jan cengar-cengir lu! Abang bela-belain dari Tenggara, nyamperin lu ke Barat sana bekas kosan si Firza sambil hujan-hujanan. Tau-tau lu udah gak ada. Di telepon malah lu blokir! Sinting lu! Ngerjain Abang yah?" Dion mulai mengomel meski matanya terlihat jelas sedang menangis. Suaranya pun masih sumbang. Entah memang karena dingin, atau karena belum bisa benar-benar mengendalikan perasaannya. Senyuman Selin malah makin mengembang melihatnya seperti itu.

"Ya ngapain Abang pake nyamperin aku ke sana coba?" Selin masih merasa tak bersalah kalau soal ini.

"Ya lu nyumpahin gue mati! Lu beneran pengen gue mati?!" Mendengar ucapan Dion, Selin tak bisa menjawab. Ternyata kata-kata itu mungkin menjadi trauma besar bagi Dion. Selin tak menyangka akan semenyakitkan itu baginya.

"Lagian Abang marah-marah di telepon tadi. Selin kan cuma pengen ketemu Abang. Ibu bilang kemarin Abang pulang, tapi kenapa gak nungguin aku? Tega bener sama adek sendiri." Selin merenggut mencoba mencari pembenaran.

Dion menatap wajah adiknya itu dalam-dalam kemudian kembali menunduk tanpa sanggup berkata-kata.

"Maaf Bang ... " Bukannya tenang, Selin malah makin merasa bersalah ketika Dion bahkan kembali menunduk dan tak membalasnya lagi. "Selin cuma marah doang tadi. Mana mungkin Selin pengen Abang mati.." Selin kembali berusaha meraih tangan Dion kembali dan kali ini tak ada tepisan lagi. "Maaf kalau omongan Selin tadi keterlaluan.." Sesal Selin yang harap-harap cemas menanti reaksi Dion untuk permintaan maafnya yang entah kali keberapa itu.

"Ya udah, tidur lagi sana!" Dion sepertinya sudah bisa berdamai sekarang.

"Abang mau kemana?" Selin menahan.

"Ke kamar lah." Jawab Dion heran.

"Kali ini pulang kan? Jangan tidur sama Bang Firza terus dong Bang. Aku juga pengen ketemu Abang tiap hari. Ibu sama Ayah juga pengennya Abang di rumah. Kenapa harus tidur di kosan orang mulu si? Udahan lah marahannya sama Ibu. Lama amat marahannya."

"Iya. Abang gak akan kemana-mana." Dion mengelus pucuk kepala Selin setelah bangkit dari duduknya.

"Dan satu lagi." Selin masih menahan padahal Dion sudah mulai melangkah. Selin ikut berdiri kemudian menghadap Dion supaya bisa mengungkapkan apa yang ada dalam otaknya saat itu. "Bisa gak sih, kalau berantem gak perlu minggat? Kayak cewek aja lu Bang. Ngambekkan!" Ujar Selin.

"Taik lu!" Dion menoyor kepala sang adik kemudian pergi begitu saja diiringi senyuman tipis.

Haishhhh!!
Malah di bilang taik lagi kan? Gerutu Selin dalam hati.

.
.
.
.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top