Bab 10

.
.
.
.
.
.
.
.

Beberapa kali Selin melihat jam tangannya tak sabar menunggu waktu pulang. Tiga hari Bang Dion tak ada di rumah benar-benar membosankan. Namun meski begitu, entah mengapa Selin enggan pergi kemana-mana setelah bubaran sekolah. Siapa yang tau Bang Dion tiba-tiba pulang kan?

Ting
Ting
Ting

Akhirnya..

"Lin.. Gue mau ngomong." Baru saja hendak membereskan bangkunya, Hana tiba-tiba mencegat. Selin sempat terdiam beberapa saat namun kemudian memutuskan untuk tidak menanggapi.

"Gue mau pulang." Selin menepis tangan Hana lalu bergegas membereskan buku-buku itu.

"Kenapa si Lin?" Tanya Hana yang mulai kesal.

"Kenapa apa si? Gue mau pulang!" Selin kembali meninggi. Bahkan bangkit sambil memasukkan buku-buku itu ke dalam tas.

"Gue salah apa sih Lin?! Jelasin dong!" Hana kali ini berteriak hingga membuat orang-orang melihat ke arah mereka. Sebelumnya Selin tak perduli jika harus bertengkar di hadapan umum bersama orang lain. Tapi jika bertengkar dengan Hana? Pantaskah? Biar bagaimanapun, dia berteman dengan Hana sejak SMP. Dan untuk masuk ke sekolah itu pun, mereka putuskan bersama. Bahkan khusus meminta pihak sekolah untuk tetap menjadikan mereka teman sekelas. Lalu sekarang malah bertengkar seperti ini? Malu-maluin sih.

Selin kembali duduk. Diam selagi menatap tajam pada beberapa orang yang kini melihat ke arah mereka. Ini artinya Selin ingin mereka semua pergi.

Seolah paham dengan sikap Selin itu, mereka perlahan meninggalkan Selin dan Hana berdua di dalam kelas.

"Duduk!" Titah Selin pada Hana yang sudah sejak tadi menunggu dengan sabar. Meski tak tau kemana arah pembicaraan yang hendak Selin ungkapkan, Hana hanya bisa menurut saja. Yang penting ada penjelasan pasti soal sikap Selin beberapa hari kebelakang.

Namun ternyata, setelah Hana duduk pun, Selin masih juga belum bicara. Hana harus lebih sabar kah?

"Gue denger, Bang Dion pingsan lagi? Kenapa? Perut bekas operasinya sakit lagi Lin?" Hana bertanya dengan hati-hati. Kenapa juga harus bertanya soal Bang Dion? Dia terlalu banyak basa-basi. Pikir Selin.

"Kenapa nanyain Abang gue? Bukannya pacar lu Bang Ega?" Tanya Selin ketus.

"Kenapa Lin? Bukannya waktu di Cio, lu bilang gak masalah kalau gue jadian sama Bang Ega?" Ternyata masalahnya masih soal perdebatan mereka di Cio.

"Lu tau kan, gue suka sama Bang Ega udah lama? Masa gitu aja lu gak peka?" Selin benar-benar tak habis pikir.

"Tapi kan kita udah bahas ini Lin? Kenapa malah di bahas lagi? Waktu itu lu bilang silahkan aja. Gue cuma mau tau reaksi Bang Dion doang kok.." Suara Hana mengecil ketika mengucapkan kalimat terakhir. Tapi Bukankah seharusnya dia tau jika Selin tidak serius dengan ucapannya ketika di Cio? Meski dengan tujuan manas-manasin bang Dion, gak berarti Hana bisa seenaknya mainin bang Ega kan? Pikir Selin.

"Lu beneran sahabat baik gue bukan si Na?" Selin tak percaya Hana kini malah terlihat serakah. Mentang-mentang cantik ya kan?

"Iya apa?? Lu mau gue putus sama Bang Ega gitu?" Tanya Hana.

"Memangnya lu mau putus cuma buat gue?" Selin balik bertanya.

"Ya kalau lu mau?" Hana terkesan menantang. "Tapi.." Sebenarnya ada beberapa hal yang harus Hana luruskan, namun entah mengapa sulit sekali dijelaskan.

"Apa Na?" Selin masih melihat Hana dengan ujung matanya. Pandangan Selin pada Hana masih sama. Siapa suruh bersikap egois kayak gini? Bahkan setelah dapet Bang Ega aja, dia masih mempertanyakan Bang Dion. Pantaskah cewek kayak gini masih ia anggap teman baiknya?

"Seenggaknya sampai lulus nanti, kita temenan dulu lah Lin.." Kali ini mata Hana mulai berkaca-kaca. Ia tak bisa menjelaskan lebih dari ini.

"Jangan nangis Na.. Jijik gue liatnya." Selin benar-benar muak. Ia meraih tas miliknya kemudian pergi meninggalkan Hana sendiri di sana.

Jangan! Jangan noleh lagi. Dia pantas digituin. Temen macam apa yang bahkan gak peka sama perasaan sahabatnya sendiri. Dan apa tadi? Dia masih mau Bang Dion? Jangan mimpi! Gumam Selin dalam hati.

.
.
.
.
.
.
.

"Lin!"

Panggilan itu menyapa pendengaran Selin ketika langkahnya sukses keluar dari gerbang sekolah. Apa sih? Haruskah tersenyum dan melambai dengan santai begitu setelah meninggalkannya selama dua hari ini?

"Masih kenal sama gue lu Bang?" Ungkap Selin ketus. Sebenarnya gak ogah mendekat, tapi gak tau kenapa kaki Selin tak bisa berhenti juga.

"Dih ngambek.." Dion malah gemas melihat adik kesayangannya itu bahkan menelungkup pipinya dengan sedikit mencubitnya pelan.

"Argh! Sana lu ah! Males gue." Selin masih enggan mencair. Apalagi moodnya masih buruk karena pembicaraannya dengan Hana tadi. Meski kangen, tapi rasanya pantas untuk merajuk seperti sekarang ini kan?

"Jajan dimsum yuk! Mau gak?" Dion merangkul sang adik sambil menyusulnya berjalan. Bukan mengikuti Selin ke arah pulang, namun Dion menariknya kembali menuju motor matic miliknya yang sejak tadi terparkir tepat di luar gerbang sekolah.

"Pake!" Dion bahkan mengeluarkan helm Selin yang memang selalu ia simpan di dalam bagasi motornya.

Tak bisa protes lagi, Selin akhirnya menurut kemudian naik. Mereka membelah jalanan tanpa bicara apapun. Berboncengan seperti ini saja, serasa semua masalah sebelumnya benar-benar lenyap. Dion enggan membahasnya lagi. Lagipula, dia sudah sadar sepenuhnya jika keadaaan ini juga kesalahannya. Kemarin mungkin lagi baper aja.

Dion membawa Selin ke tempat makan baru yang sempat ia sebutkan tadi. Sebuah food truck dimsum yang kekinian, tapi memiliki beberapa table luas yang estetik. Cocok buat nongkrong sama temen-temen. Dan memang sepertinya Dion tak hanya mengajaknya saja. Sudah ada Firza dan Hanif di sana. Lalu itu? Seorang cewek berhijab tersenyum ramah melihat kedatangan Selin kala itu.

Eh? Siapa nih? Jangan-jangan Bang Dion mau ngenalin cewek? Kok tiba-tiba punya cewek aja? Kapan memangnya? Gumam Selin dalam hati.

"Kenalin, calonnya Hanif.." Ungkap Firza yang sepertinya tau betul apa yang sedang Selin pikirkan saat itu.

"Ah.. Selin.."

"Hanifah.." Ungkap ukhti itu ramah bahkan dengan sopan menundukkan kepala.

"Loh?" Selin cukup tercengang mendengar nama wanita itu yang terdengar mirip dengan Bang Hanif.

"Emang kalau jodoh, nama pun bener-bener sama. Bisa-bisanya Nif.. Nif.." Kekeh Dion.

"Jadi ceritanya nemenin yang lagi ta'aruf gitu?" Tanya Selin dengan senyuman lebar.

"Iya Lin, kalau berduaan aja dosa.." Kali ini Hanif yang menjawab.

"Jangan-jangan Bang Hanif yang traktir nih?" Selin curiga.

"Emh.. Bocah nih.." Tunjuk Firza yang merasa ketahuan juga pada akhirnya.

"Pantes Abang ngajak aku makan enak. Ternyata ada yang traktir toh.." Selin mengangguk-angguk paham dengan rutenya.

"Kagak lah.. Masa iya Abang manfaatin temen sendiri. Abang punya duit kok, kamu tenang aja." Jawab Dion.

"Duit dari mana?" Tanya Selin lagi. Bukankah gak masuk akal keluar dari rumah dua hari langsung punya uang? Bang Dion ngapain memangnya? Pikir Selin.

"Kerja lah.." Jawab Dion.

"Dimana?" Selin makin tak percaya.

"Hanif ngasih Abang kerjaan Lin. Kebetulan ada restoran depan lapak gorengannya dia. Mereka lagi butuh orang buat dua hari kemarin."

"Ah.. Gitu.." Selin akhirnya paham. "Padahal Ibu sama Ayah nanyain Abang terus tiap hari. Bang Firza juga si! Apa susahnya si chat aku di bales? Telpon aku di angkat gitu? Anti banget sama aku?" Selin balik marah pada Firza.

"Dih.. Noh.. Abang lu yang pegang hp gue. Abang lu juga yang rijeck telpon dari lu. Malah nyalahin gue nih bocah." Mendengar nada bicara Firza membuat semua akhirnya tergelak.

"Pesen dulu gih.." Ujar Dion tiba-tiba.

"Gak nunggu Bang Ega dulu?" Tanya Hanif.

Lah? Kenapa juga harus ada Bang Ega?

"Noh.. Udah nongol dia." Dion dengan santai menunjuk ke arah datangnya Ega yang ternyata malah datang bersama Hana.

Agh..

Sialan kan..?

.
.
.
.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top