BAB 9: MALAIKAT YANG KALAH
Nadine tidak punya pilihan selain mengangguk pelan. Ia tidak mau berdebat dengan Tess. Tess berhak mempercayai apa yang mau ia percayai, seperti ia berhak tidak mempercayai apa yang tidak ia percayai.
Mata Nadine kini terpaku pada satu lukisan besar, hitam putih seperti lukisan dengan medium pensil arang, berukuran setidaknya 70cm x 70cm, tergantung di dinding di kepala ranjang Tess.
Lukisan seorang malaikat sedang berlutut, kepalanya tertunduk dalam, rambut hitam yang awut-awutan, sayap besar hitam yang terkulai, tubuh kekar tegap, kedua lengannya tertumpu ke tanah, dan sebilah pedang besar tergeletak tak jauh dari tangan kanannya.
Entah mengapa, hati Nadine merasa dingin miris melihat lukisan itu. Siapapun pelukisnya, ia sudah sukses menyampaikan sebuah kepahitan yang terlukis dengan demikian baik.
"Indah dan sedih ya ... lukisan itu. Aku ingin menangis setiap kali melihatnya. Lukisan itu kudapatkan dari Tom sebagai tanda terima kasih karena aku sudah membantunya mendapatkan pekerjaan di rumah ini. Lucas, anaknya, yang melukis. Kata Tom, judul lukisan itu adalah: Malaikat yang Kalah." Tess sudah berdiri di sampingnya.
Nadine masih terpaku pada lukisan hitam putih itu. Malaikat yang kalah, dan hatinya teriris pada judul lukisan yang berlari di benaknya itu.
"Ada semacam puisi yang tertulis di balik lukisan itu. Puisi yang sudah kuhapal luar kepala. Kau mau tahu isinya?" Tess bertanya lirih.
Nadine menoleh. "Puisi mengenai malaikat yang kalah? Boleh ..." suaranya mengambang.
Tess menghela napas, berdehem, lalu kalimat-kalimat meluncur dari bibirnya:
Ada malaikat-malaikat
tersembunyi,
di bayang-bayang cahaya
Malaikat-malaikat
dengan kisah-kisah tak terungkap,
dan sayap-sayap yang terlipat
Gemilang surga bukanlah tempat mereka,
karena mereka berkelana di dunia abu-abu,
di batas tipis antara keselamatan dan kehancuran abadi
Sumpah mereka
berburu yang datang dari kegelapan
menjaga yang ada dalam terang
Tiada yang tahu nama mereka
karena mereka adalah malaikat
dalam peperangan
Tapi, tahukah kau?
Bahkan dengan segala kekuatannya,
malaikat-malaikat petarung ini tidaklah lepas dari kesedihan?
Mereka bisa jatuh, sedih, diterkam ragu
mereka menangis, dan merasakan hangat airmata di kulit mereka
dan cahaya mereka meredup ...
Brokenlight.
Helaan napas berat Tess terdengar, dan wanita itu mengangguk-angguk, pertanda ia telah selesai mengucapkan puisi itu.
Nadine menggigit bibirnya, mencoba mengembalikan fokusnya dari lukisan malaikat itu ke Tess. Segala kalimat Tess ia proses, dan ia merasakan gigitan sedih lagi hatinya.
"Begitu isi tulisan di balik lukisan itu," lanjut Tess tanpa menyembunyikan embusan napas lega ketika ia selesai mengucapkan semua isi tulisan.
"Lucas yang menulisnya?"
Tess mengedikkan bahu. "Kurasa. Atau ia menemukannya di internet, menyukainya, dan menuliskannya di balik lukisan karyanya itu. Bisa juga. Entahlah. Lucas adalah pemuda ... aneh ..."
"Aneh?"
"Ia tukang kebun rumah ini. Kau bisa lihat, ia bisa melakukan pekerjaan itu dengan baik. Tapi tahukah kau kalau aku bahkan tidak pernah mendengar suaranya? Aku memberitahunya apa yang Tuan Vargari inginkan mengenai tata taman, memerintahkannya untuk melakukan ini itu ... ia hanya mengangguk, dan semua terlaksana dengan baik," Tess menelengkan kepalanya dengan kening berkerut, larut dalam kebingungannya akan keanehan Lucas.
"Apakah ia berbicara dengan Tom, ayahnya?" Nadine ikut-ikutan menelengkan kepalanya.
Tess menggeleng. "Setidaknya ketika aku ada bersama mereka, aku tidak mendengarnya berbicara dengan ayahnya juga. Tom dan Lucas tidak seperti ayah-anak biasa. Tom lucu dan periang denganku, seperti yang kau lihat. Tapi dia berubah jadi dingin, kaku, grogi, kalau dengan Lucas anaknya ..." Tess terdiam sebelum berkata lagi,"Mungkin mereka tidak cocok, karena itu aku tidak pernah melihat mereka menghabiskan waktu bersama."
Nadine mengangguk mengerti, lalu Tess melanjutkan,"Tom sering ke dapur mencari obrolan denganku, tapi Lucas? Aku tidak tahu dia ke mana kalau tidak di kebun, di antara tanaman-tanaman. Lucas hampir selalu bisa kau temukan di halaman belakang, terutama di antara gerombolan mawar-mawar yang selalu begitu hati-hati ia rawat, walau di musim gugur hampir musim dingin seperti ini, semua mawar itu sudah mati!"
"Mungkin Lucas hanyalah orang yang sangat pendiam yang menikmati kesendiriannya," Nadine mencoba memberi kemungkinan.
Tess mengedikkan bahu, memijat dagunya. "Entah. Yang penting ia menjalankan tugasnya sebagai tukang kebun dengan baik, aku tidak begitu peduli walau ia tidak pernah berbicara. Mungkin ia nyaman seperti itu ... mungkin dia pemalu, seorang ... kau tahu ... apa itu namanya ... introvert."
Nadine ingin menjelaskan ke Tess kalau introvert dan pemalu bukanlah dua karakter yang sama persis, tapi ia membatalkan niatnya itu.
Ia melarikan pandangannya ke seluruh penjuru kamar mungil milik Tess, mengagumi koleksi malaikat wanita itu. "Kau tampaknya sudah cukup lama mengenal Tom?" tanyanya sambil meraih sebuah patung mungil malaikat dari meja tulis dan membersihkan wajah malaikat itu dari debu tipis dengan jemarinya.
Lama Tess tidak menjawab, dan Nadine menoleh, mendapati Tess tertunduk seolah sedang berpikir.
"Tess?" bisik Nadine.
Tess mengangkat kepala, tergagap, dan kalimat-kalimat jawaban meluncur deras dan cepat. "Sudah lama ... kau benar, sudah lama aku mengenalnya. Tapi aku tidak ingin membuatmu sesak dengan segala detail saat ini. Nah, apa yang mau kau lakukan saat ini? Istirahat? Nanti aku buatkan makan siang ya? Jam 1? Roti tangkup isi ham dan telur, jus jeruk, dan yogurt? Atau kau mau yang lain? Quiche bayam dan salmon asap? Atau pasta salad? Atau salad dan sup? Aku baru membuat sup labu kuning tadi pagi," Tess mencoba tersenyum walau senyum itu kaku. Nadine mengerti kalau Tess tampaknya tidak ingin memberitahunya lebih banyak detail mengenai dirinya dan Tom Huckle.
"Roti tangkup saja, Tess. Terima kasih. Dan Papa, jam berapa dia makan siang? Aku mau makan dengannya saja," senyum Nadine.
"Tuan Vargari tidak tentu jam makannya. Jangan ditunggu. Kadang bahkan ia hanya makan berbungkus-bungkus keripik kentang dan minum bir sebagai makan siangnya," sahut Tess. "Kalau ia lagi banyak inspirasi dan tidak mau meninggalkan ruang menulisnya. Keripik kentang setidaknya tiga bungkus, dan bir ..." lanjut Tess.
Nadine tidak suka dengan apa yang ia dengar, tapi ia juga dapat mengerti kalau Tess tidak akan bisa menghalangi majikannya untuk makan keripik kentang dan minum bir sebagai menu makan siang.
Mereka keluar dari kamar Tess, dan Tess bergegas menuju ke dapur, sementara Nadine naik lagi ke lantai dua rumah, dan terpaku sejenak di hadapan pintu ruang menulis Papa yang tertutup rapat.
Ia ingin mengetuk pintu, tapi suara keyboard komputer yang diketik dengan tempo cepat berkejaran membuatnya membatalkan niat. Papa lagi sibuk menulis, dan Nadine harus tahu tempatnya saat itu–tempatnya bisa di manapun di rumah itu, asalkan bukan di ruang menulis Papa.
Nadine kembali ke kamarnya, memberesi isi tas kanvasnya, memeriksa hp-nya. Ada beberapa pesan dari teman-temannya, tapi ia menggigit bibir, sedikit kecewa, karena tidak ada pesan apapun dari Mama.
Mama tahu ia sudah dewasa, tidak perlu dimonitor segala pergerakannya. Mungkin itu ... atau sebenarnya pasti karena itu, Mama tidak mengirimkan pesan padanya sama sekali.
Tapi Nadine ingin, sesekali, dimonitor pergerakannya, seperti Nenek Samantha dulu yang akan mengirimkan pesan-pesan singkat di waktu-waktu acak untuk menanyakan apakah ia sudah makan, apa menu makannya hari itu, apa yang sedang ia lakukan ... .
Ia melempar hp-nya ke ranjang, dan berjalan ke tepi jendela kamarnya yang berpemandangan halaman belakang rumah Papa. Langit masih begitu abu-abu, dan hujan gerimis yang turun dari tadi sekarang menjadi semakin deras.
Matanya terpaku ke satu sosok di bawah sana, di halaman belakang yang luas. Sesosok pemuda di antara gerombolan tanaman mawar yang sudah luruh mati dihantam musim gugur. Pemuda berambut hitam, berbaju hitam itu membungkuk, berlutut, memeriksa sesuatu di antara ranting-ranting kering mawar.
Namun pemuda itu seakan bisa merasakan ada yang sedang mengawasinya, dan ia tiba-tiba menegakkan punggungnya, berdiri, berbalik, dan menatap lurus ke jendela Nadine.
Tatapan pemuda itu begitu tajam tak berkedip, cukup untuk membuat jantung Nadine melompat kaget di dalam rongga dadanya. Nadine terpaku untuk beberapa detik, mata pemuda itu masih tak beralih darinya. Rambut hitam pemuda itu yang gondrong seleher tampak basah oleh gerimis, lekat di keningnya.
Tangan Nadine mendadak dingin gemetar, dan dengan refleks gelagapan gadis itu menarik tirai jendela dan menutupnya dengan satu sentakan keras.
Ia yakin ia baru saja melihat Lucas, tukang kebun rumah ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top