BAB 8: ADA MALAIKAT DI SINI

Nadine bernyanyi, awalnya ragu dan aneh karena seumur hidup ia tidak pernah diajak nyanyi dalam konteks seperti ini, oleh satpam rumah papanya. Suaranya serak dan nadanya fals, tapi tidak ada yang peduli.

Tess bernyanyi riang, dan Tom memukul-mukul meja dengan telapak tangannya mengikuti irama lagu. Tess harus berkali-kali mengingatkan pria itu kalau ia tidak boleh terlalu banyak membuat keriuhan yang bisa mengganggu Tuan Vargari dalam menulis.

Mereka bernyanyi tiga kali lagu yang sama, sebelum akhirnya Tess mengingatkan Tom untuk kembali ke pos jaganya. Tom tersenyum dan mengangguk, lalu berbalik ke Nadine. "Nadine, senang bertemu denganmu!" tatapan Tom untuk sesaat berhenti di Nadine, mata biru itu membesar seolah sedang menyelidiknya, dan Nadine merasakan sentakan aneh di hatinya. Sentakan yang lebih tepat disebut sebagai merinding. Keriangan Tom menjadi kelam, dan pria itu nanar menatapnya sebelum berbalik dan keluar dari pintu dapur menuju halaman belakang.

Rasa merinding perlahan menghilang, namun Nadine masih tercenung. Ia tidak yakin apa, tapi Tom sangat ... aneh. Nadine tidak bisa menjabarkan dengan penjelasan yang runut akan mengapa ia merasakan keanehan itu.

"Tom baik, ia bisa menjalankan tugasnya dengan baik kalau diberi petunjuk yang jelas," Tess mengagetkan Nadine, dan ketika Nadine berbalik ke arah Tess yang berdiri di sampingnya, matanya bersirobok dengan mata Tess yang bersinar penuh keyakinan.

"Ia sepertinya unik, Tess," senyum Nadine, meraih cangkir tehnya dan meneguk teh yang sudah mulai dingin.

"Ia ... ia unik. Kau benar. Tapi ia bisa bekerja dengan baik. Aku yang merekomendasikan dirinya ke Tuan Vargari, dan Tuan Vargari setuju," Tess mengangguk pasti. "Tuan Vargari menyerahkan semua urusan seperti ini ke aku, ia hanya sibuk menulis," lanjut Tess dengan dagu terangkat sedikit untuk mendukung kepercayaan dirinya.

Nadine yakin sekarang kalau Tess menyukai Tom. Tatapannya ke Tom yang selalu begitu lembut dan sabar adalah tanda yang tidak bisa disembunyikan begitu saja. Tom spesial untuk Tess, dan Nadine bisa membaca itu.

"Apakah You Are My Sunshine adalah satu-satunya lagu favoritnya?" Nadine masih tersenyum lalu menyuap sepotong pai apel ke mulutnya. Paras Tess menjadi semakin serius, dan wanita itu menjawab,"Ya. You Are My Sunshine satu-satunya lagu favoritnya. Karena ia ... ia ..." suara Tess bergetar, dan Nadine menyadari keseriusan Tess saat ini.

Tiba-tiba telepon berdering, dan Tess gelagapan sebelum bergegas mengangkat telepon di ujung kanan ruangan dapur itu.

Sementara Nadine menghela napas, dan rasa merinding yang ia rasakan ketika Tom menatapnya tadi kembali menghantuinya.

Mengapa ia merinding? Tom lucu dan ramah, tapi nanar tatapannya tadi ... cukup membuat bulu kuduk Nadine berdiri. Perubahan yang cukup drastis dari keramahan khas anak-anak, ke nanar tatapan yang membuatnya merasa seperti anak domba yang sedang diintai serigala–agaknya itulah yang membuatnya merinding.

Tess selesai berbicara di telpon, dan mendekat lagi ke Nadine. Wajahnya lebih tenang sekarang, sambil tersenyum Tess berkata,"Kalau kau sudah selesai makan dan minum, ayo ... aku antar ke kamarmu!"

Tulang-tulang di tubuh Nadine terasa kaku dan pegal dan ia tahu kalau ia butuh istirahat sejenak. Cepat-cepat ia menghabiskan pai apel dan tehnya, lalu bangkit. Tess mengangguk puas. "Ayo ikut aku!" pintanya.

Mereka berjalan menuju koridor, ke ruang tamu yang luas lagi di mana Nadine meraih tas kanvas dan ranselnya, lalu mereka naik tangga ke lantai dua rumah itu.

"Ini ruang menulis Tuan Vargari," tunjuk Tess ke ruang dengan pintu tertutup rapat di kiri tangga. "Jangan ganggu, atau ia akan marah besar!" Tess menganggukkan kepalanya, menunjukkan keseriusan peringatannya pada Nadine. Nadine yakin Tess sudah berpengalaman dalam hal kena semprot Papa dalam hal ini.

"Di mana Tom tinggal?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Nadine.

"Di halaman belakang, ada satu vila kecil, dulu tempat tinggal tamu-tamu VIP keluarga Vargari. Aku membelikan Tom perabotan sederhana, kasur, seprei, semua ... dan ia tinggal di sana bersama Lucas."

"Lucas tukang kebun, anaknya?"

"Benar. Tukang kebun yang walau tidak pernah berkata-kata, tapi ia sangat mahir. Ia punya tangan sihir dalam hal berkebun, segala hal, dan aku serius, segala hal yang ia urus, ia tanam, semua tumbuh! Dan ini kamarmu!" Tess berucap ringan, membuka satu pintu kayu beberapa meter dari ruang menulis Papa, dan membukanya dengan satu sentakan kuat.

"Lucas ..." Nadine mengulang pelan, namun pandangannya sontak mulai sibuk dengan ruang yang baru terbuka pintunya itu.

Ruangan kamar itu tidak luas, dengan jendela besar yang menghadap halaman belakang rumah. Satu ranjang ber-frame kayu ukuran single, lengkap dengan bantal besar, selimut tebal bermotif bunga-bunga, dengan empat pilar di sudut-sudut ranjang dan kelambu putih tergantung dari pilar-pilar itu.

Nadine merasa cukup geli memikirkan ruang yang terasa begitu klasik itu, lengkap dengan ranjang kelambunya, akan menjadi tempatnya bermalam di hari-hari ke depan.

"Kamar ini, seperti kamar-kamar lain di rumah ini, teratur kubersihkan, dan sebulan sekali pasti ada tukang bersih-bersih profesional yang datang membersihkan semua ruangan, wc, dapur, dengan teknologi modern. Rumah ini klasik dan tua, tapi terurus!" Tess berucap dengan binar bangga di matanya. Jelas wanita itu sangat peduli dengan rumah ini, dan diam-diam Nadine bersyukur karena Papanya tidak akan mampu merawat rumah seluas ini sendirian.

Nadine mengangguk-angguk, puas dengan kamar itu, lalu matanya menangkap satu patung kecil di meja tulis di seberang ranjangnya. Patung tanah liat seorang malaikat. Patung itu mungkin hanya sekitar 15cm tingginya, patung seorang malaikat dengan sayap terbentang, tubuh tegap, dan sebilah pedang besar di tangan kanannya. Mata malaikat itu menatap ke langit.

Mata Nadine tepekur sejenak, lurus ke arah malaikat itu. Entah mengapa debar jantungnya mendadak lebih cepat.

"Percayakah kau pada malaikat?" pertanyaan Tess mengejutkannya.

Nadine menoleh ke belakangnya, ke Tess yang tak berkedip menatapnya dengan tangan yang ia remas, menanti jawabannya. Nadine menghela napas ketika ia mengingat pertanyaan yang sama yang dilontarkan Nenek Samantha padanya bertahun-tahun lalu. Ia menggeleng pelan–ia masih tidak percaya adanya malaikat.

Tess tercenung tanpa menyembunyikan kekagetan di parasnya. "Malaikat benar-benar ada, Nadine. Sungguh. Aku sungguh bisa merasakan kehadirannya!"

Nadine tersenyum, bergegas menuju tas kanvasnya, membukanya, dan dengan hati-hati mengeluarkan patung malaikat pemberian Nenek Samantha yang ia bawa. "Malaikat ada, dan kau bisa merasakan kehadirannya, karena aku membawanya!" Nadine tertawa kecil sambil mengacungkan patung malaikat hadiah neneknya ke arah Tess.

Tess terkesiap sejenak, sebelum seulas senyum merekah di bibir wanita itu. "Bagus! Kau boleh meletakkan malaikat dari nenekmu itu di samping malaikat yang di atas meja!" dan Nadine menurut, meletakkan malaikatnya di samping malaikat pembawa pedang di atas meja.

"Aku punya banyak patung malaikat, lukisan-lukisan malaikat di kamarku. Dengan seizin Tuan Vargari, aku meletakkan satu patung malaikat di setiap kamar di rumah ini. Setidaknya ruang kamar jadi tidak membosankan, begitu katanya," Tess berujar lembut sambil matanya lekat ke malaikat-malaikat di atas meja.

Nadine mengangguk, ia tetap tidak percaya akan adanya malaikat, tapi ia menyukai adanya tambahan patung di ruangan ini.

Tess dengan antusias mengajaknya ke kamarnya untuk melihat koleksi patung-patung malaikat milik wanita itu.

Nadine setuju, dan ia harus mengakui kalau Tess adalah seorang yang membuatnya nyaman, kenyamanan yang tidak pernah ia rasakan lagi semenjak Nenek Samantha meninggal. Ia tidak ingin mengecewakan Tess, karena itu ia sekarang berdiri di kamar Tess, terkagum-kagum pada banyaknya koleksi patung malaikat yang dimiliki wanita itu.

Patung-patung malaikat dalam segala ukuran, dari 5cm sampai 50cm, dengan berbagai gaya dan warna, semua ada – ada yang tersimpan rapi dalam sebuah rak kaca, ada yang berjejer di atas sebuah meja tulis di samping ranjang Tess, dan ada yang ditata di lantai di sekitar ranjang. Di dinding kamar juga ada beberapa poster besar lukisan malaikat.

"Wow ..." hanya itu yang berhasil keluar dari mulut Nadine.

"Dulu aku tinggal di panti asuhan. Aku tahu malaikat ada karena mereka yang menjagaku, menemaniku di kala sepi, mengusap air mataku ketika aku rindu orangtua kandungku yang dua-duanya tewas kecelakaan. Dan ..." Tess merendahkan suaranya, cukup untuk mengalihkan perhatian Nadine dari patung-patung malaikat kembali ke dirinya.

"Dan?" tanya Nadine sambil menelengkan kepalanya.

"Dan aku tidak tahu bagaimana, atau mengapa, tapi aku yakin, seyakin-yakinnya, kalau ada malaikat di rumah ini juga. Bukan patung atau poster lukisan, tapi benar-benar malaikat," suara Tess lirih seperti sedang memberitahu sebuah rahasia ke Nadine.

Nadine menggigit bibirnya, mencari reaksi yang pas.

Tess menatapnya lekat. "Ada malaikat di sini, di rumah ini, Nadine. Ada. Aku yakin."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top