BAB 23: NAMAKU ...

Ruang dapur terang benderang karena lampu yang dinyalakan. Di ruangan itu, ada sebuah meja makan bulat, dan empat kursi di sekelilingnya.

Di atas meja makan satu nampan besar berisi cupcake-cupcake cokelat yang ditata melingkar, setiap cupcake dilapisi dengan olesan tebal topping krim susu segar, irisan buah beri, dan taburan gula halus. Di salah satu cupcake, yang diletakkan di tengah lingkaran cupcake, ada sebuah sedotan plastik yang ditancapkan dengan sehelai kertas merah bertuliskan "Happy Birthday, Finnley!"

Tapi yang membuat Nadine terpekik adalah siapa saja yang hadir dan duduk di sekeliling meja makan itu.

Papa.

Mama.

Tess.

Mereka duduk dengan ekspresi wajah kosong, tanpa emosi, hanya duduk dengan punggung tegak kaku, menatap lurus ke depan, tak berkedip. Mereka seakan dalam pengaruh sihir yang membuat mereka bagaikan boneka hidup. Wajah-wajah mereka pucat, bibir mereka membiru seperti kedinginan, dan tangan mereka kaku di atas meja.

Dan Lucas.

Pemuda itu pucat pasi, berlutut di lantai di ujung dapur, kedua lengannya menumpu tubuhnya, dan kepalanya tertunduk. Tubuhnya gemetar, dan perlahan-lahan, pemuda itu mengangkat wajahnya, menatap Nadine. Mata biru mengagumkan itu anehnya tidak tampak sedih, dan itu yang juga mengagetkan Nadine. Mata itu penuh harap, penuh kepercayaan pada Nadine.

"Apa ... mengapa? Finnley! Apa maumu? Mengapa ada orangtuaku di sini? Tess? Lucas? Apa yang telah kau lakukan pada mereka?" Nadine berbalik, mengatasi rasa takutnya, dan bersuara keras pada Finnley.

Finnley terkikik bagaikan anak kecil yang tertangkap basah melakukan hal yang nakal. "Sudah kubilang, aku mau jadi Finnley! Aku bukan lagi Tom yang penakut dan sakit itu! Hidup Finnley yang normal berakhir di hari ulangtahunnya bertahun-tahun lalu, sekarang di hari ulangtahunnya juga, hidupnya akan benar-benar berakhir. Sudah selesai tugasnya. Tapi sebelum itu, ada banyak cerita yang harus kau dengar malam ini, dan tugasmu malam ini Nadine, tugasmu yang mahapenting ... adalah ..." Finnley menyeringai.

"Apa?" Nadine mengangkat dagunya, mencoba untuk menambah keberanian walau jantungnya berdebar begitu kencang ia takut ia akan mengalami serangan jantung. Matanya berkeliling, dan rasa kuatir menghunjamnya melihat keadaan orangtuanya, Tess, dan Lucas.

Mengapa bisa seperti ini? Siapa Finnley yang bisa mengumpulkan orangtuanya, ketika dirinya, anak kandung mereka, gagal melakukan itu? Apa yang sudah dilakukan Finnley pada mereka sehingga mereka kaku diam seperti itu? Ya Tuhan apakah mereka bisa baik-baik lagi?

"Tugasmu adalah membunuh malaikat! Nadine, sang penghancur malaikat! Luar biasa, bukan?" Finnley berputar-putar riang.

Nadine bengong sejenak, lalu sibuk menggelengkan kepalanya, dan dari bibirnya keluar kata tidak berkali-kali, dan kau gila yang ia arahkan lurus ke Finnley.

"Kau, Nadine, kau tidak percaya malaikat. Hatimu hancur lebur oleh ulah orangtuamu. Kau, kau hanya sejengkal saja dari jurang kegelapan, dari kebencian yang akan memakanmu hidup-hidup, dari kesumat yang akan mengakar dalam hatimu. Malam ini, kau kuberi kesempatan untuk mengakhiri semua kepahitan itu!" Finnley kini terdengar serius.

Nadine melongo. Bagaimana mungkin Finnley tahu semua itu? Tess-kah yang memberitahunya?

"Malaikat ... malaikat seperti Lucas. Kekuatannya berasal dari kepercayaannya akan kebaikan manusia, manusia yang ia bela dengan pedangnya. Semakin gelap hatimu, Nadine, semakin lemah Lucas. Dan semakin kuat aku!" Finnley terkekeh.

Tiba-tiba, Finnley tersentak ke belakang, lalu jatuh berdebuk di lantai, berkelojotan sesaat, dan dari tubuhnya keluar asap hitam berbau busuk. Asap hitam yang perlahan membentuk sosok. Sosok mahluk tinggi, kurus dengan tulang-tulang bertonjolan, berkulit pucat, bermata hitam total tanpa putih, dan berambut lurus panjang merah darah. Ia berpakaian hanya selembar kain hitam yang ia lilit-lilitkan di sekujur tubuhnya. Compang-camping.

Nadine menjerit kaget, mundur beberapa langkah, mencoba keluar dapur, tapi tubuhnya tertahan oleh semacam kekuatan yang menariknya mendekat ke mahluk yang barusan keluar dari tubuh Finnley.

"Aku Argath, pelayan setia dari Tuanku Lusifer, raja dan pemimpin dari para malaikat kegelapan, malaikat-malaikat yang jatuh dari keagungan. Senang berjumpa denganmu, Nadine," sosok bernama Argath itu membungkukkan tubuhnya, menyeringai, dan berkata-kata dengan sopan.

Lucas mengerang, tubuh kekar tegap malaikat itu bergetar, namun tatapannya tak putus pada Nadine.

"Kau tahu ... urusanku dengan malaikat keparat itu adalah urusan lama, yang sungguh tidak sengaja membawa-bawa Finnley. Tapi biarlah, dalam setiap pertarungan, harus ada korban, bukan begitu?" Argath terkekeh sambil berjalan, sedikit terseok, mendekat ke Nadine.

Nadine tegak diam, ia tidak bisa bergerak. Pikirannya begitu kacau dihantam bingung dan takut.

"Hari ini, dendamku terbalas jika malaikat itu hancur lebur karenamu, Nadine. Manusia. Manusia yang menghancurkan malaikat dengan kegelapan hatinya," Argath semakin mendekat, Nadine bisa merasakan dengusan napas bau yang membuatnya mual.

Rasa dingin menyeruak dari Argath, menyerang Nadine, menyebabkan gadis itu mulai menggigil. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi, apa yang telah terjadi pada Finnley? Keluarganya? Lucas? Argath? Gadis itu mencengkeram pelipisnya dan terhuyung-huyung. Seiring dengan kebingungannya, dari sudut matanya, ia melihat Lucas mencoba duduk tegak, tapi gagal.

"Tugasmu gampang, Nadine. Kau harus menjatuhkan dirimu sepenuhnya dalam kegelapan, ke dalam tanganku, tangan Tuanku Lusifer. Beri perintah padaku untuk melenyapkan orangtuamu. Orangtua yang sudah begitu menyakitimu, mengecewakanmu. Kesempatanmu malam ini untuk melenyapkan sumber sengsaramu itu! Anggukkan kepalamu, nona manis! Maka semua akan terlaksana!" Argath terkekeh.

Nadine menganga. Matanya beralih ke Lucas, dan malaikat petarung itu bergetar hebat, tubuhnya lunglai di lantai. Napas sang malaikat juga megap-megap seakan beban ribuan ton sedang menindihnya.

Malaikat seperti Lucas. Kekuatannya berasal dari kepercayaannya akan kebaikan manusia, manusia yang ia jaga, ia bela dengan pedangnya. Semakin gelap hatimu, Nadine, semakin lemah Lucas.

Kata-kata Argath terngiang di benaknya. Dan Nadine mengerti. Apapun urusan Argath dengan Lucas, pastilah Argath sangat membenci Lucas. Pembalasannya sungguh keji. Menghancurkan malaikat tanpa menggunakan tangannya sendiri, tapi membiarkan malaikat itu menyaksikan manusia seperti Nadine jatuh dalam kegelapan. Manusia yang ia bela habis-habisan dengan pedangnya.

Argath berjalan pelan mengelilingi Tess, Papa, dan Mama yang masih kaku duduk. Finnley tergeletak di lantai, tak bergerak, dan wajah pria itu pucat pasi.

"Dan Tess? Finnley?" bisik Nadine.

"Tess? Wanita dungu yang mencintai Finnley. Cinta masa kecilnya, cinta hidupnya. Harapannya yang selalu ada untuk Finnley. Dungu. Ia tidak harus mati, tapi ia akan hidup tanpa cinta Finnley. Itu cukup kejam, bukan? Finnley ... Finnley ... sudah kubilang tadi, hari ini di hari ulangtahunnya, hidup Finnley akan benar-benar kuhabisi. Ia sudah tak berguna untukku," Argath menyeringai.

Nadine bergidik. Tess yang manis dan Finnley yang ternyata adalah korban sebuah kejahatan luar biasa di luar nalar.

Hatinya menangis untuk kedua orang itu, dan ketika ia memejamkan matanya, segala kenangan akan Mama Papa berlarian di benaknya. Air matanya mengalir deras. Nenek Samantha yang bagaikan malaikat dalam hidupnya, Nenek yang selalu menyayangi Papa dan Mamanya walaupun mereka saling menyakiti.

"Nadine? Anggukkan kepalamu, maka orangtuamu akan lenyap dari hidupmu!" suara Argath halus mengajak.

"Mama selalu sibuk dengan pekerjaannya, Papa dengan novelnya, dengan impian bestseller-nya. Aku membenci keegoisan mereka ..." Nadine tercekat.

"Benar! Benar! Mereka egois, kurang ajar, tidak layak hidup! Anggukkan kepalamu!" Argath girang.

Nadine menghela napas, ekspresi wajahnya yang tadi bingung dan takut, kini menjadi lebih tenang, dan ia membuka mulutnya lagi,"Tapi aku juga ingin bisa lebih mengenal mereka, dan mereka mengenalku. Kalau mereka mati, bagaimana aku tahu apa yang akan terjadi minggu depan? tahun depan? Sepuluh tahun di depan? Dua puluh tahun? Aku mungkin akan harus menerima dan melanjutkan hidup tanpa pernah benar-benar memaafkan mereka. Tanpa mengenal mereka. Tapi kalau mereka mati hari ini, bagaimana aku tahu apa kelanjutan cerita kami?" bisik Nadine ke arah Argath. Dari ujung matanya, dilihatnya Lucas mengerang, tersengal di atas lantai. Aku tidak mau Lucas hancur ... tidak mau! Nadine berseru dalam hatinya.

"Jangan bodoh, Nadine! Anggukkan kepalamu!" Argath setengah berteriak.

"Aku akui ... saat ini mereka bukan orangtua yang baik, tapi setidaknya kalau mereka ada, ada kesempatan untuk menjadi lebih baik. Konseling, mungkin. Atau tidak. Tapi siapa tahu? Dan aku ... aku tidak mau menjadi pembunuh, aku tidak mau hidup dalam kegelapan itu!" Nadine menjadi lebih tegas. Lalu gadis itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

Argath berteriak marah.

Bersamaan dengan gelengan kepala Nadine, Lucas berhasil berdiri tegap. Kesiuran angin terdengar dan Nadine melihat sepasang sayap hitam mengembang dari punggung Lucas. Pemuda itu kini mengambang beberapa senti dari lantai sehingga kepalanya hampir menyentuh langit-langit rumah.

Anehnya, Nadine tidak merasa takut sama sekali. Ia tidak takut, karena ia mengingat semua yang terjadi di parkiran stasiun malam itu.

Lucas menyelamatkannya dari kebejatan Jamie.

Ingatannya kembali bagaikan air sungai yang mengalir deras setelah dam yang menghalanginya hancur, bagaikan tirai penghalang yang akhirnya tersingkap lebar.

Ingatan yang membuatnya tepekur sesaat, sebelum pelan-pelan mengangkat kepalanya dan menatap Lucas, menyadari Lucas juga balik menatapnya dengan begitu lembut. Matanya yang biru indah berbinar, dan sang malaikat menganggukkan kepalanya kepada Nadine. Terima kasih, Nadine. Bisikan yang ia dengar seakan Lucas sedang berada di sampingnya, berbisik langsung di telinganya.

Argath melolong marah, menerjang Nadine, namun sebelum ia mencapai Nadine, Lucas mengepakkan sayapnya, menghantam Argath dengan sabetan pedang yang sudah berada di tangannya.

Argath mencoba melawan, tapi sabetan pedang itu berhasil mengoyak lilitan kain hitam di tubuhnya yang bagaikan jenazah berjalan. Menyadari lilitan kainnya robek, Argath semakin marah dan memutar tangannya, menyebabkan angin berbau busuk yang berputar di ruangan itu. Tubuh Nadine mulai tertarik oleh angin yang berputar seperti puting beliung itu, demikian pula para manusia yang tak sadarkan diri di ruang itu. Argath jelas berniat menculik mereka semua dalam dekapan angin itu. Lucas tidak tinggal diam, dengan kepakan besar sayapnya, sang malaikat mendorong Argath dan puting beliung ciptaannya menjauh.

Argath terlempar dan menjauh, berubah jadi asap hitam yang menyatu dengan puting beliung buatannya, dan keluar dari rumah dengan menyusup dari celah-celah jendela. Teriakan marahnya masih terdengar menggaung di ruangan dapur. "Aku akan kembali!"

Tubuh Nadine jatuh berlutut karena kaget dan takutnya. Airmatanya bercucuran, dan ia menatap Lucas yang perlahan-lahan menjejakkan kakinya kembali ke lantai dan sayap besarnya lenyap, terlipat di balik punggungnya lagi.

Satu yang kini Nadine sadari: Pakaian Lucas bukan pakaian hitam yang biasa ia kenakan. Pakaian Lucas sekarang masih serba hitam, kalau dilihat-lihat mirip pakaian prajurit Romawi kuno, dengan pelindung bahu dan perisai di dadanya, perisai yang juga hitam pekat dengan ukiran keemasan yang tidak dimengerti Nadine. Gagah, namun juga entah mengapa, terasa menenangkan. Kegagahan, kekuatan seorang malaikat petarung. A battle angel.

Lucas berlutut di hadapan Nadine, meraih tangan gadis itu, dan meremasnya erat. Remasan tangan yang mampu mentransfer sedikit kekuatan dan keberanian bagi Nadine.

Bibir malaikat itu bergerak, matanya berbinar lembut, dan akhirnya keluar satu kalimat dari mulutnya:

"Namaku Griel."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top