BAB 19: JUMPA LAGI

Nadine tergagap, tidak menyangka ada Lucas di sana. Tapi gadis itu melangkah mendekati pemuda tukang kebun rumah Papa itu.

"Lucas, aku ... aku ... maksudku ... maaf aku tadi mendorongmu. Aku sedang sangat marah. Kurasa itu bukan alasan yang baik untuk mendorongmu ..." Nadine menghela napas, dan melanjutkan kalimatnya,"Tapi sekarang aku ingin sendiri, ingin menjauh sebentar dari rumah Papa. Aku butuh waktu dan ruang untuk berpikir ..." ia berucap serak, setengah gelagapan karena kagetnya akan kehadiran Lucas di sana belum hilang.

Lucas menelengkan kepalanya sedikit, seakan ingin berkata kalau ia ingin tahu lebih banyak. Mata biru mengagumkan itu tak berkedip, dan Nadine anehnya tidak merasakan sedih yang intens seperti biasa ketika ia dan Lucas bertemu. Ia hanya merasa telengan kepala Lucas berkata begitu banyak padanya: Ada apa? Kau baik-baik saja? Aku menguatirkanmu. Nadine tahu Lucas tidak akan berkata apa-apa, tapi dalam heningnya, dari gesturnya, Nadine merasa kalau pemuda itu sudah bercakap-cakap dengannya. Dan anehnya, ia tidak keberatan.

Suara bus yang berdecit tiba di halte terdengar. Nadine mencoba tersenyum, menganggukkan kepalanya kepada Lucas. "Nah, busku sudah tiba. Aku harus pergi! Jangan kuatir. Aku akan baik-baik saja," senyumnya sambil bergegas menjauh dari Lucas untuk mencegat busnya.

Ia tahu Lucas mengikutinya beberapa langkah sebelum pemuda itu berhenti ketika Nadine masuk ke dalam bus.

Nadine melambaikan tangannya ke arah Lucas yang berdiri kaku di halte. Mata pemuda itu masih diliputi kekuatiran yang tak terungkap dalam kata-kata, tapi Nadine memutuskan untuk tidak memikirkan reaksi Lucas saat itu. Biarlah. Ia sudah dewasa, ia berhak pergi ke mana ia mau.

Bus itu dingin karena AC-nya yang masih dinyalakan full walau cuaca musim gugur dingin di luar. Nadine menggigil pelan sambil duduk di baris belakang, memeluk ranselnya, dan menyesal dalam kemarahannya tadi ia lupa menyambar jaket tebalnya. Ia hanya mengenakan cardigan wol tebal yang sedari siang ia kenakan. Matanya melihat-lihat seisi bus. Tidak banyak orang, hanya dirinya dan sepasang kakek nenek yang duduk di kursi dekat sopir di depan.

Matanya sibuk melihat-lihat jalanan yang basah oleh gerimis di luar, mencoba memutuskan akan turun di halte yang mana.

Bus terus melaju, dan Nadine memutuskan untuk turun di halte bus di pusat Roseville, di stasiun kereta. Ada banyak tempat di pusat kota yang bisa ia singgahi untuk menghabiskan waktu. Mungkin ia akan pulang dengan bus terakhir nanti ke rumah Papa.

Nadine turun di bus stasiun, melangkah dengan ransel menjuntai di bahunya. Roseville terasa lebih hidup di malam hari. Restoran-restoran dan pub-pub yang buka, memajang lampu-lampu neon yang mengundang pelanggan.

Riuh celotehan terdengar dari pelanggan restoran yang duduk di meja-meja makan di halaman restoran dengan dinaungi payung-payung besar dan penghangat udara elektrik di sekitar mereka. Cuaca gerimis dan udara dingin tidak menyurutkan niat mereka makan-makan. Nadine juga bisa melihat kalau bagian dalam restoran juga penuh oleh pelanggan yang sibuk bersukaria dengan orang-orang kenalan mereka.

Perutnya meronta, dan matanya mulai mencari-cari tempat untuk makan. Sebuah restoran cepat saji di ujung jalan sana menarik perhatiannya.

"Hei!" suara seorang laki-laki mengagetkannya dan membatalkan langkahnya ke arah restoran cepat saji. Nadine berbalik, ternyata seorang pemuda jangkung berambut ikal kemerahan dengan mata cokelat muda yang barusan menyapanya. Pemuda yang ia kenali sebagai pemuda yang berbincang sejenak dengannya di bus saat ia baru tiba di Roseville.

"Hei ... kamu ..." ia gelagapan menjawab.

"Namaku Jamie. Kita tidak sempat kenalan di bus hari itu!" Jamie tersenyum, dan senyum manis itu cukup menenangkan Nadine.

"Hai. Aku Nadine," ia menjawab sambil tersenyum juga.

"Kau sendiri? Aku kemari untuk bertemu seorang teman, tapi barusan ia membatalkan rencana makan-makan karena sakit. Jadi aku di sini tanpa rencana sekarang," Jamie mengedikkan bahunya sambil mendengus.

"Aku tidak punya rencana apa-apa juga," Nadine membalas.

"Baik. Bagaimana kalau kita ke pub itu? Yang tepat di seberang jalan sana? Sayap ayam bumbu pedasnya enak!" Jamie mengedikkan dagunya ke arah satu pub yang berada tepat di seberang bangunan stasiun, pub dengan lampu neon hijau-kuning menghiasi plang namanya: The Drunken Sinners.

Perutnya yang lapar meyakinkan Nadine untuk menyetujui ajakan itu, dan Jamie tampaknya baik, seseorang dengan temperamen yang santai dan tenang.

Mereka berjalan beriringan menyeberangi jalan menuju ke pub mungil itu.

Pub itu lumayan penuh dengan pengunjung. Meja-meja panjang dengan kursi-kursi berkaki tinggi dari kayu berpelitur, dua bartender sibuk di balik konternya, meracik minuman dengan keahlian seorang master.

Gelas-gelas bir berleher tinggi tampak tergantung juga di langit-langit area peracikan minuman sebagai dekorasi–gelas-gelas dari berbagai merk bir yang digantung terbalik sehingga memberi kesan unik dan pas dengan atmosfer tempat tersebut.

Bau-bau minuman beralkohol, bir, anggur, maupun berbagai cocktails bercampur dengan aroma berbagai kudapan pendamping minum-minum santai. Hidung Nadine sesak juga dengan berbagai bebauan itu. Ia bahkan tidak ingat kapan ia terakhir ke pub. Bersama pacar terakhirnya dulu, mungkin? Ia mencoba mengingat. Entahlah. Ia lupa. Tapi sekarang, sekarang semua bebauan itu membuatnya semakin lapar.

Jamie dan dirinya duduk berdampingan di meja panjang di hadapan bartender, lalu pemuda itu memesan sebaskom ukuran sedang sayap ayam pedas, semangkuk besar keripik nachos dengan siraman saus keju lumer, dan dua gelas bir untuk mereka berdua.

Tanpa banyak kata, keduanya lahap menyantap sayap ayam sambil sesekali meminum bir untuk sekedar mendinginkan tenggorokan.

Setelah sayap ayam ludes dan mereka membersihkan tangan dan mulut, berbagai perbincangan mulai mengalir sambil makan nachos.

Jamie orang yang bersahabat, pemuda itu sibuk bercerita dan itu yang sangat melegakan Nadine karena dirinya benar-benar tidak dalam mood untuk bercerita banyak.

Jamie masih tinggal bersama ibunya di pinggiran Roseville. Setiap pagi, ibunya akan menyetir membawanya ke stasiun kereta Roseville untuk dari sana Jamie naik bus ke tempat kerjanya, lalu ibunya langsung ke tempat kerjanya sendiri di kota sebelah. Pemuda itu bekerja di sebuah proyek pembangunan rumah sebagai pekerja konstruksi. Malam itu Jamie meminjam mobil ibunya dan berkendara untuk menjumpai temannya di sini, walau rencana itu batal karena si teman mendadak sakit.

Malam beranjak semakin larut, riuh rendah suara di dalam pub semakin sayup karena banyak pengunjung yang sudah menyelesaikan acara kumpul-kumpul mereka.

Sementara Nadine bisa merasakan efek beberapa gelas bir yang ia tenggak: Relaksasi dan moodnya untuk berbincang tumbuh. Ia mulai bercerita pada Jamie mengenai dirinya, apa yang ia lakukan, dan akhirnya, saat ia bercerita mengenai Mama dan Papa, ia tak bisa menahan sedu sedan yang keluar dari bibirnya. Sedu sedan yang ia yakin merupakan efek alkohol. Ia setengah mabuk, atau sepenuhnya mabuk, ia tidak tahu lagi.

Tapi mulutnya tak bisa berhenti bercerita. Jamie menatapnya dengan aneh, tatapan itu tajam namun keadaannya yang sedih, galau, mabuk membuatnya tidak mampu menganalisa tatapan itu lebih jauh.

Jamie membayar seluruh pesanan mereka dan Nadine mencoba mencegahnya, ia mau bayar birnya sendiri. Tapi Jamie tidak peduli dan sambil tersenyum mengatakan kalau lain kali adalah giliran Nadine, dan mereka keluar dari pub. Gerimis turun rintik-rintik di luar. Dingin udara malam merasuk ke tulang-tulang Nadine membuat gadis itu menggigil pelan.

"Ayo, aku antar kau pulang dengan mobilku! Sudah larut sekali, kau sudah pasti ketinggalan bus terakhir!" Jamie menggenggam tangannya ketika Nadine sempoyongan.

"Tidak. Tidak usah antar ..." Nadine membalas serak, mencoba mengais sedikit kejernihan pikiran: Ia belum lama mengenal Jamie, naik mobil dengannya dalam keadaannya seperti ini bukan hal yang aman.

"Kau memilih tidur di halte stasiun? Kau lihat. Kota sudah sepi. Gerimis. Tidak aman bagi gadis sepertimu untuk menghabiskan malam di halte! Bus terakhir sudah lewat dari tadi!" Jamie bersuara tegas.

Pusing di kepalanya semakin menjadi. Nadine menggeleng, dari sela-sela kabut nalarnya dan matanya, ia bisa melihat seringai jelek di wajah Jamie.

Sebuah firasat melintas di benaknya saat ini. Mungkinkah Jamie sudah memasukkan obat terlarang di minumannya tadi, mungkin saat ia tidak lihat karena ke wc? Betapa bodohnya ia! Nadine yakin ia pernah minum bir sebanyak yang ia lakukan malam ini, ia tahu batasnya, dan ia tidak semabuk ini.

Lututnya lemas.

Ketakutan menjalar di hatinya, ketakutan yang justru membuat pusingnya semakin menjadi-jadi.

Jamie menggandengnya, setengah menariknya, berjalan melintasi bagian samping bangunan stasiun, menapaki jalan kecil ke sebuah area parkiran yang dipagari semak-semak lebat.

Area parkiran itu kecil, semen yang menjadi lantainya sudah pecah-pecah, dan cat-cat putih di atas semen penanda tempat parkir sudah banyak yang terkelupas.

Empat lampu jalan menerangi tempat parkir itu. Tiang-tiang lampu yang berkarat dan lampu-lampu yang bercahaya kuning temaram membuat suasana semakin mencekam. Tidak ada satu mobilpun di tempat parkir itu kecuali mobil Jamie, mobil sedan kecil berwarna merah kusam dan berpintu dua.

"Hentikan!" Nadine mengumpulkan sisa tenaganya untuk memberontak, tapi Jamie terkekeh dan mencengkeram lengannya, menariknya semakin kuat ke mobilnya.

"Ikut aku! Kau akan menemaniku! Kita bersenang-senang!" Jamie menyeringai dingin. Nadine mencoba menampar pemuda kurang ajar itu, tapi gagal. Justru Jamie yang memukul tangannya.

"Tolong!" Nadine menjerit, tapi suaranya lemas dan serak. Tidak ada yang akan mendengar.

Nadine memberontak semakin keras, mencoba lagi untuk memukuli Jamie, tapi Jamie berhasil menyeretnya ke dalam mobil. Jamie menamparnya sekali dan Nadine semakin takut dan marah pada saat yang sama.

"Tidak! Jangan!" Nadine melolong, namun suaranya tertelan airmata dan lututnya hampir tidak mampu menahan bobot tubuhnya. Ia tahu ia dalam bahaya besar dan tidak ada yang bisa menolongnya saat ini.

Tidak ada satu manusiapun yang tahu ia di sini dalam bahaya. Tidak ada satupun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top