BAB 10: DIA YANG TAK BERKATA-KATA

Nadine mundur beberapa langkah dari jendela, menabrak tepi ranjang dan jatuh terduduk di atas ranjang.

Suara rintik hujan musim gugur deras berjatuhan di kaca jendela dan atap rumah gagal menutupi detak jantungnya yang berpacu kencang. Ia berkali-kali menghela napas, menenangkan dirinya, dan setelah cukup tenang, ia mulai merasa bodoh.

Apa yang barusan terjadi? Lucas, tukang kebun rumah Papa, hanya menatapnya! Mungkin Lucas juga kaget kalau diawasi dari belakang seperti itu!

Nadine mengembuskan napasnya kuat-kuat, menggelengkan kepalanya.

Tapi ada sesuatu di tatapan Lucas, sesuatu yang membuatnya merasa begitu panik tadi.

Entahlah.

Tatapan itu tidaklah garang, tidak juga jahat mengancam ... mungkin deskripsi yang lebih tepat adalah kosong. Tajam namun kosong, kekosongan yang berhasil membuat Nadine kalang kabut karena ia gagal menemukan emosi di dalamnya, emosi di tatapan mata yang bisa membantunya menebak apa yang sedang berlarian di benak Lucas.

Ada tembok tak terlihat yang membuat Lucas terasa begitu jauh.

Nadine menghela napas, memutuskan keluar dari kamarnya, dan turun ke bawah. Ia masih mendengar suara tuts keyboard komputer Papa intens diketik, dan dalam hatinya ia berharap Papa menemukan kelancaran terus dalam kegiatan menulisnya. Kalau mood Papa bagus, mungkin ia bisa mengusulkan beberapa kegiatan yang bisa mereka lakukan bersama.

Tapi sekarang setidaknya ia harus menemui Lucas. Ia ingin minta maaf kalau reaksinya menutup tirai dengan begitu mendadak dan kasar bisa diinterpretasikan sebagai tindakan tidak ramah.

Mungkin Lucas masih ada di halaman belakang, pikirnya. Ia melangkah cepat masuk ke dapur.

Tess ada di dapur dan Lucas ada bersamanya.

Tess berbalik, dan di tangan wanita itu ada sekeranjang kecil berisi buah-buah stroberi dan beri hitam segar.

"Nadine! Ah! Kemarilah! Kau lihat! Kau lihat! Di musim gugur hampir dingin seperti ini, Lucas masih bisa memanen buah-buahan ini! Stroberi dan beri hitam adalah buah-buah musim semi dan panas, tapi kau lihat ... betapa segar buah-buahan ini!" Tess tak bisa menyembunyikan kesenangannya. Tangannya menimang keranjang itu dan binar di matanya menunjukkan kekaguman luar biasa. "Rasanya juga enak sekali!" tambahnya.

Tapi Nadine mengalami kesulitan memproses kalimat-kalimat Tess, napasnya sesak dan jantungnya berdetak begitu kencang lagi.

Mata Lucas. Mata itu. Warna biru yang begitu indah, biru elektrik mungkin itu deskripsi nama warna yang paling pas. Warna seperti warna biru langit cerah musim semi. Biru yang seperti sedikit bersinar saking beningnya, dan tatapan itu masih tajam dan kosong. Lurus. Lekat. Ke arahnya. Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap kekar, dengan rambut hitam pekat yang basah terkena hujan, gondrong selehernya, sedikit ikal. Kulitnya berwarna pucat yang kontras dengan warna biru matanya dan hitam rambutnya.

"Nadine, ayo! Kenalan! Ini Lucas, putra Tom, dan tentu saja ... tukang kebun kebanggaanku!" Tess hampir melengking.

Nadine tidak bisa menggerakkan tubuhnya.

Lucas perlahan memutus pandangannya ke arah Nadine, mengalihkannya ke luar, ke halaman belakang yang basah oleh hujan.

Nadine melangkah mendekat, dan di saat itu, telepon berdering dan Tess bergegas meletakkan keranjang berisi buah, dan pergi mengangkatnya.

Hanya dirinya dan Lucas sekarang.

"Hai ... Lucas ..." Nadine meneguhkan hati, namun suaranya keluar gemetar seperti sedang kedinginan, dan ia memaksakan kalimat selanjutnya,"Aku Nadine. Dan ... dan maaf ...tadi aku menutup tirai dengan begitu kasar, aku tidak bermaksud ..." Tetap gemetar.

Nadine tidak tahu apa lagi yang harus ia katakan, hal yang ingin ia katakan menguap, walau ia tidak yakin apa lagi yang mau ia katakan selain permintaan maaf yang barusan terucap. Lucas separuh menunduk, dan saat itu hanya suara Tess berbincang dengan suara lirih di telpon entah soal apa dan suara halilintar di kejauhan yang terdengar.

Ia ingat sekarang kalau Tess pernah memberitahunya kalau Lucas tidak pernah bicara.

Apakah yang ia rasakan saat ini adalah sebuah kecanggungan yang ekstrim?

Napas Nadine masih sesak, dan ia menyadari, ia bukan merasakan canggung. Ia merasakan emosi yang lain, yang lebih kuat dari canggung.

Kesedihan.

Rasa sedih yang perlahan mulai menenggelamkan Nadine ketika ia menatap Lucas.

Rasa sedih yang aneh, yang tidak bisa ia mengerti dari mana asalnya, yang tiba-tiba menyerbunya bagaikan air bah yang menghancurkan bendungan dan melahapnya. Rasa sedih yang intens menggulungnya ketika ia melihat mata biru Lucas.

Ia ingin menangis, tapi tidak tahu mengapa. Ia yakin saat ini ia tidak ingin menangis karena Mama, atau Papa, atau apapun dalam hidupnya. Tapi mata biru Lucas seolah beresonansi dengan sebentuk duka dalam jiwanya. Duka yang mungkin selalu ada, tapi selalu ia abaikan. Duka yang tak bisa ia jelaskan dalam kata-kata.

"Nah, kalian sudah kenalan?" Tess tiba-tiba muncul di antara dirinya dan Lucas.

Lucas memberikan sebuah anggukan yang samar, hampir tak tertangkap inderanya, dan pemuda itu kemudian berbalik, melangkah ke luar, ke halaman belakang yang masih diterpa hujan.

Nadine menelan ludah, mengatur napasnya. Rasa sedih yang begitu intens dan aneh itu menghilang seiring Lucas yang semakin menjauh.

"Unik ya? Lucas? Sudah kubilang. Ia tidak pernah bicara. Ia selalu tampak begitu ..."

"Sedih ..." Nadine menyelesaikan kalimat Tess. Tess menoleh padanya, dan mengangguk setuju. "Sedih. Betul. Entahlah. Ada sedih yang melingkupinya, dan aku yakin, rasa sedih itu menular ke aku!" Tess berucap lirih. "Aku senang ketika melihat buah-buahan atau bunga yang ia bawa ke dalam dapur ini. Selalu begitu indah, begitu segar, tak peduli musim buah atau bunga itu atau tidak! Selalu begitu bagus! Tapi kalau aku melihat matanya, aku jadi sedih. Entahlah. Tips untukmu, Nadine: Cobalah untuk tidak bersirobok dengan matanya. Mata yang indah sebenarnya. Biru yang begitu menggetarkan! Dia satu-satunya orang yang kutahu dengan warna mata biru seperti itu!" Tess menyerocos sambil tangannya sibuk mengatur buah stroberi segar di sebuah mangkuk porselen untuk ia sajikan di meja makan kelak.

"Oh! Dengar! Kau mau tahu berita besar hari ini?" Tess bertanya sambil menelengkan kepalanya dan mengelap tangannya di apron merah jambu lusuhnya.

Nadine tersenyum kecil. Tess telah mampu membuatnya sedikit lebih rileks. "Oh? Berita apa?" Nadine mencomot satu stroberi gendut, menggigitnya, dan otomatis mengeluarkan decap nikmat. Stroberi itu enak sekali! Seperti stroberi yang dipanen di puncak musim semi!

"Yang menelponku barusan adalah temanku yang bekerja di kantor walikota Roseville. Minggu depan diprakirakan cuaca akan lebih bagus dari minggu ini, matahari akan bersinar, suhu udara nyaman untuk musim gugur, karena itu pemerintah kota berencana akan membuka padang rumput di puncak Bukit Rock Edge untuk dikunjungi umum lagi. Sudah dari tahun kemarin ada diskusi mengenai pembukaan Rock Edge lagi, tapi akhirnya diputuskan minggu depan akan benar-benar dibuka. Mereka akan membersihkan padang itu minggu ini, dan minggu depan sudah bisa dikunjungi lagi!"

Bukit Rock Edge. Otak Nadine memproses nama itu. Tragedi satu keluarga. Papa mama keluarga itu menghilang begitu saja tanpa pernah ditemukan. Anak laki-lakinya ditemukan linglung dan hilang ingatan. Padang rumput di puncak ditutup, dan tampaknya sekarang akan dibuka lagi.

"Kau tahu cerita mengenaskan Bukit Rock Edge? Tragedi satu keluarga?" Tess bertanya sambil mengangguk, separuh berbisik. Mendung tiba-tiba mulai menggelayuti wajah wanita itu.

Nadine mengangguk. "Dari Papa, sudah lama kudengar ceritanya," sahutnya.

Paras Tess semakin gelap, ujung bibirnya kini jelas gemetar seakan sedang menahan tangis. "Tom ... aku belum memberitahu dia berita ini. Rock Edge bisa dikunjungi lagi ... aku tidak yakin bagaimana reaksinya ..." bisik Tess sambil memandang Nadine tanpa kedip, dan Nadine bisa menangkap kekuatiran dan ketakutan di sorot mata Tess.

"Tess? Kau kelihatan kuatir sekali? Tess? Kau baik-baik saja? Ayo, duduk dulu ..." bisik Nadine sambil pelan-pelan meraih lengan Tess, membantu wanita itu duduk di kursi meja makan.

Tess mematung sambil memilin-milin ujung ikal rambutnya di pipinya, gerakan memilin yang terlihat terlatih karena sering dilakukan, dengan pilinan ke kiri dan ke kanan yang berulang, tampaknya sebuah kebiasaan untuk meredakan cemas. "Tom banyak berubah akhir-akhir ini. Tom yang dulu kukenal, selalu bahagia, selalu menyanyi, seperti ada anak kecil yang masih hidup dalam dirinya. Tapi akhir-akhir ini, dia menjadi semakin sering ... marah ... sangat marah," helaan napas Tess berat.

"Tapi yang kulihat dia sepertinya happy-happy saja?"

"Nadine, dia happy, seperti anak SD, setiap dia menyanyi lagu You Are My Sunshine. Lagu favoritnya. Tapi akhir-akhir ini, beberapa bulan terakhir ini, dia menjadi lebih penuh amarah, gelap. Dua kali dia sangat marah minggu ini, melempar makanan ke lantai karena ia tidak suka ada kismis dalam cupcake yang kubuat. Dia hanya mau cupcake cokelat saja. Dia bahkan mau mencoba mencekikku. Untung Lucas datang dan berdiri di antara aku dan Tom, dan Tom berhenti sambil menyumpahserapahi anaknya sendiri," Tess terlihat terguncang karena apa yang terjadi, ia menghela napas, menatap Nadine, dan melanjutkan,"Ia sangat kasar pada Lucas. Dan sekarang, Rock Edge akan dibuka. Aku tidak bisa menebak apa reaksinya, Nadine. Oh, Nadine, jangan beritahu Tuan Vargari ya? Aku bisa membantu Tom mengendalikan diri, aku pasti bisa. Aku tidak mau Tuan Vargari memecatnya. Kasihan dia ..." Nadine tepekur sebelum mengangguk pelan, dan bersamaan dengan prosesnya mendengar cerita Tess, ia juga mengingat lagi rasa merinding ketika ia bertemu Tom tadi. Nanar menggidikkan kuduk tatapan pria itu yang dengan begitu cepat menggantikan keriangan khas anak-anaknya.

"Ada apa dengan Tom dan bukit Rock Edge? Mengapa kau begitu kuatir mengenai reaksinya kalau bukit itu dibuka lagi untuk dikunjungi?"

Tess mematung, gerakan lincah jemarinya memilin ikal rambutnya turut berhenti. Keningnya berkerut dalam dan wanita itu tercenung untuk beberapa saat.

"Tidak, tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa antara Tom dan Rock Edge. Hanya kekuatiran gilaku saja, Nadine," Tess menoleh, memaksakan senyum ke arahnya, lalu buru-buru membuang muka, dan mulai memilin ujung rambutnya lagi dengan gerakan lebih intens.

Tubuh Nadine dingin bergidik bagaikan ada seember air es yang menyiramnya ketika ia menyadari satu hal: Tess berbohong.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top