Upset
Rigel's
Untuk apa meratapi sebuah kematian, jika ujung-ujungnya semua manusia di muka bumi akan mati? Kali ini Bams, dulu papaku ....
Napasku terhela singkat.
Papaku pun sudah mati. Ketika dulu kuratapi, tetap tidak ada yang berubah. Matanya tetap terpejam, napasnya tetap terhenti, dan aku masih dipaksa untuk tetap hidup. Dipaksa untuk merasakan bahwa semua akan baik-baik saja. Kalau boleh memilih, aku juga ingin mati, menjadi tenang, meninggalkan dunia yang penuh kepalsuan.
Kuteguk gelas berisi air sembari menatap sekeliling rumah. Punggungku bertumpu pada meja dapur, sementara mata menyapu sekitar.
Rumah ini terlalu bersih.
Segera kuhabiskan air di gelas, dan ketika bermaksud meletakkannya di dalam basin, mulutku berdecak tanpa sadar.
Sama sekali tidak ada tumpukan piring. Terlalu kosong. Lalu ... apa yang akan dikerjakan si kurus murahan itu kalau semua terlampau rapi?
Kuletakkan gelas bekas pakai ke dalam basin, setelahnya kubuka rak piring, mengeluarkan hampir seluruh isinya dan memasukkannya ke basin yang sama.
Air keran sengaja kunyalakan, mengucur membasahi semua piring yang sebenarnya tidak kotor sama sekali. Kutambah dengan siraman kecap dan saus yang brutal, sehingga semua terlihat kacau balau dan berantakan.
Kutarik senyum, bangga dengan maha karya yang tercipta. Teruntuk Elara. Khusus untuk dia.
Setelahnya langkah terarah ke ruang depan, kuraih ponsel dari saku celana rumahan yang kukenakan. Menyentuh layar dan melakukan panggilan.
"Mbok Inah ...," ujarku ketika panggilan diangkat. "Tidak usah datang ke rumahku selama tiga bulan ke depan."
Aku mengerutkan kening ketika jawaban cerewet terdengar bising.
"Keberatan? Kalau begitu, tidak usah pernah datang lagi," ucapku datar sambil memutus panggilan, mengabaikan protes di ujung telepon.
Dia hanya seorang pengurus rumah tangga, yang di-assign Mama untuk mengurus kebutuhanku. Sekarang ada Elara, untuk apa aku memiliki dua pembantu padahal pekerjaan rumah tidak seberapa?
Kembali kutatap sekeliling, beranjak ke sofa berwarna krem yang tergeletak di tengah ruangan. Terlihat masih seperti baru karena jarang kududuki.
Serta merta kuambil bantal-bantal yang tersusun rapi dan melemparnya sembarang. Kugeser letak meja dengan kaki, sehingga posisinya tidak lagi simetris. Kutarik taplak meja dan membiarkannya luruh ke lantai.
Sempurna!
Aku hendak berbalik ketika bel di pintu tiba-tiba berbunyi. Pasti Elara. Sempat mematung sebentar, kutarik salah satu ujung bibir naik sebelum melangkah menghampiri.
Kutarik kenop pintu hingga daunnya terbuka. Si mungil yang kemarin sempat menemani malamku itu, berdiri di sana, menatapku dengan mata yang bengkak.
See ... menangisi sesuatu yang sia-sia. Tidak akan ada yang bangkit dari kematian meski ditangisi sejadi-jadinya. Bodoh!
"Masuk!" Kugerakan kepala memberinya perintah untuk masuk. "Cucian piring sudah menumpuk di dapur." Cucian piring yang kuciptakan barusan tepatnya.
Elara hanya mengangguk, kakinya bergerak melangkah untuk masuk ketika terpikir olehku untuk memberikan sambutan selamat datang nan dramatis.
"Selamat datang di neraka, El ...," bisikku. "Ahh ...!" Aku menggelengkan kepala seakan ada sesuatu yang salah, padahal hatiku sedang melompat-lompat kegelian.
"Maksudku, di rumahku," koreksiku lalu berbalik dan meninggalkannya di ambang pintu.
Tawaku lepas juga, nyaris melompat membayangkan wajah merana si kurus murahan. Kakiku melangkah ke arah tangga yang melingkar di tengah ruangan. Meniti anak-anak tangga menuju kamar, masuk dan membiarkan pintu berdebum menutup.
Tawaku perlahan mengecil sebelum diakhiri dengan helaan napas yang berat. Kusandarkan tubuh ke daun pintu dan memindai seluruh isi kamar.
Hampa.
Mungkin mandi akan membuat otakku sedikit dingin. Maka aku menuju kamar mandi di sudut kamar. Menanggalkan pakaian, membiarkan pintu tetap terbuka sementara air pancuran mulai mengucur membasahi kepala.
Hanya orang-orang bodoh yang menangisi kematian, memelihara cinta, dan mempercayai sebuah ketulusan. Di kamusku, semua narasi itu adalah kosong tanpa nyawa.
Selesai berbasuh, kukeringkan tubuh dan menutupi tubuh bagian bawah dengan handuk putih. Kugeser dengan kaki pakaian yang terserak di ambang pintu agar langkah tak terhalang. Tadinya mau segera beranjak keluar ketika pikiran nakalku kembali bermain-main.
Dengan cepat kuraih celana dalam mahal dari lantai. Membuka pintu dan berdiam menanti.
"Elara!" panggilku ketika melihat sosok kurus itu melintas.
Elara menghentikan langkah, menoleh, tepat bersamaan dengan aku yang melempar celana dalam ke arahnya.
Mau tidak mau celana dalamku mengenai wajahnya, sebelum mendarat sukses di ujung kakinya.
"Tolong dicuci!" perintahku.
Mata itu menatapku marah.
"Ada yang salah?" tanyaku pongah.
Elara masih menatapku tajam, sebelum dia menghela napas dan memungut celana dalam dengan kakinya. Dijepit di antara jemarinya, sebelum dilempar ke dalam pengki yang ternyata sedang digenggamnya sejak tadi.
"Kaki?" Mataku mendelik tidak percaya dengan apa yang dilakukannya. "Pengki?"
Elara tersenyum. "Yang penting dicuci bersih kan, Pak? Jangan tanya bagaimana cara saya akan mencucinya." Lalu dia berbalik, menuruni anak tangga dengan senandung kecil.
Kepalaku terasa terbakar. Si tidak tahu sopan santun.
"Celana dalamku itu harganya seratus kali lipat dari kepunyaanmu, Elara!" Kesalku.
Tidak ada jawaban. Sialan! Dengan kesal aku berbalik masuk ke kamar, menutup pintu dengan kasar. Suaranya berdebum dengan lantang.
Perempuan kurang ajar!
Dengan kesal yang masih bergemuruh, kutanggalkan handuk dan melemparnya sembarang. Mengambil kaus dan celana rumahan sebelum melempar tubuh ke ranjang. Telentang dengan mata terpejam karena lelah.
Weekend yang begini-gini saja. Selalu dihabiskan dengan tidur dan memesan makanan cepat saji melalui aplikasi online. Monoton, membosankan, tapi nyaman.
Nyaman adalah ketika tidak diganggu dengan pekerjaan dan wanita-wanita penggoda yang menginginkan uang. Perempuan murahan seperti ....
Ah! Saat ini entah mengapa pikiranku dipenuhi oleh dia yang sedang berkerja di balik pintu. Bisa jadi perempuan itu sedang mengeluh dengan cucian piring yang menggunung serta ruangan yang berantakkan. Sudut bibirku mau tidak mau bergerak naik. Membayangkan kesusahan dari seorang perempuan murahan dan tidak tahu sopan santun, membuatku merasa senang. Dia pantas mendapatkannya.
Omong kosong dengan alasan merelakan tubuh karena cinta dan keterdesakan. Ketulusan? Cih! Kamu hanya terlalu bodoh, menginginkan cara cepat dan menyanggupi apa yang kuminta.
Elara ... Elara. Kebodohan dan rasa cinta berlebihan membawamu ke neraka. Nerakaku. Bersyukurlah kamu datang ke neraka yang tepat. Bersamaku ... semua akan baik-baik saja. Jiwa murahanmu masih kusihani.
Tiba-tiba ponsel pada nakas berdering. Membuat mataku membuka dan bangkit. Kuraih ponsel dan mengerutkan kening ketika itu adalah panggilan dari nomor yang tidak kukenal. Kubiarkan hingga deringnya kembali terdengar.
Langkahku terayun menuju luar kamar dengan ponsel yang masih juga berdering.
"Elara!" panggilku lantang di ambang pintu. "Ela ...." Panggilanku terhenti ketika Elara muncul dengan seluruh rambut yang disanggul asal di atas kepala, menunjukkan leher jenjang yang terlihat mulus. Peluh terlihat menetes dari kening perempuan bercelemek itu. Tapi itu ... seksi.
Tanpa sadar kuteguk liur. Pikiran liar kembali bergelora. Apa dia mau tidur bersamaku lagi jika kutambahkan uang ....
"Ada apa, Pak?"
Pertanyaan yang langsung menarikku ke alam sadar. Serta merta kuulurkan ponsel yang masih berisik ke arahnya.
"Angkat!" perintahku. Kening Elara segera mengernyit.
"Saya?" Tunjuknya ke arah diri sendiri.
"Ya, angkat! Aku enggak kenal," suruhku lagi.
"Tapi, Pak ...."
"Kamu lupa dengan kontrak ...."
Belum selesai ucapanku, ponsel sudah berpindah tangan. Elara sudah menyahut panggilan.
"Ya?"
Kemudian keningnya berkerut.
"Saya Elara."
Aku mengamati. Sepertinya menjawab pertanyaan dari lawan bicara yang entah siapa.
"Depan pintu?" Keningnya berkerut, lalu mendongak, menatapku sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu depan.
Mataku menyipit. Apa dia sedang memerintahku untuk membuka pintu?
Telunjuknya semakin menunjuk kuat. Setelah berdecak sebal, kulangkahkan juga kaki menuju anak tangga, berjalan santai ke arah pintu. Dengan enggan menarik kenop hingga membuka.
Sesosok perempuan dengan rambut kecokelatan dan full make-up terlihat berdiri dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Ketika melihatku muncul, wajah yang sebenarnya cantik itu segera merengut. Membuat pipinya terlihat seperti gumpalan gulali yang memerah entah karena apa.
"Aku enggak pernah tahu kalau Tante Cindy membiarkan anaknya tinggal serumah dengan seorang perempuan!" hardiknya membuat mataku membelalak.
Apa hubungannya Mama dengan sosok di depanku?
"Rigel! Jawab dong, jangan bengong!" kesalnya sambil mendorongku mundur.
Aku masih terperangah, melihat dia yang berjalan melewatiku dengan tubuh berbalut pakaian ketat. Dari aroma yang menguar bisa kutebak kalau parfumnya mahal meski tidak lebih mahal dari punyaku.
"Siapa kamu?!"
Jeritannya membuatku tersadar dan segera masuk.
Perempuan itu sedang berdiri berhadapan dengan Elara. Menjulang dengan sepatu hak tingginya di hadapan tubuh mungil bercelemek.
Elara terlihat terkejut, tapi kepalanya terlihat menengadah pongah dengan mata yang berkilat menantang.
Akan menarik jika Elara dan perempuan tak dikenal ini bergelut. Kurekam dan upload di Youtube untuk menambah pundi-pundi.
Hatiku tertawa geli.
"Aku calon istrinya. Berani-beraninya kamu ...." Ucapan perempuan tak dikenal itu terhenti, berganti menatap Elara dengan jijik.
Tapi bukan pandangan jijik itu yang membuatku menarik lengan kurus itu dan mencengkeram erat.
"Siapa bilang kamu calon istriku? Aku tidak memiliki calon istri," ujarku penuh tekanan.
Mata dengan contact lense biru itu mengerjap. Seperti kebingungan dengan perlakuanku.
"Rigel, ini sakit ...," keluhnya sambil mencoba melepas cengkeraman.
"Mama? Mama yang bilang?" tuduhku, semakin menguatkan cengkeraman.
"Rigel!" Wajahnya mulai memelas.
Dengan kesal kuentak lengan putih itu. Perempuan itu terlihat meringis dan mengelus-elus bekas yang terlihat merah.
"Aku Jessica. Berkali-kali mencoba menghubungi kamu, El! Pesan aku juga enggak ada yang kamu balas!" Kesalnya.
Aku mendengkus, berkali-kali menghela napas demi menahan amarah. Tidak sengaja aku menangkap sosok Elara, perempuan sialan itu sedang mengulum senyum. Dia pasti sedang menertawaiku.
"Keluar!" usirku ke arah Jessica, membuat perempuan itu menatapku terkejut. "Aku tidak mengenalmu."
Mata biru palsu itu berkaca-kaca. "Rigellll ...!" serunya merajuk. Namun kukeraskan hati.
"Keluar, atau kuseret paksa. Pilih mana, Jessica?" tanyaku sambil tersenyum miring. Mataku merangkum wajah kecilnya dengan pandangan serius.
Perempuan bernama Jessica itu tersedak. Tangisnya pecah. Kemudian berlari ke arah pintu depan. Tidak lama kudengar pintu berdebum kencang.
Kualihkan pandangan ke arah Elara. Perempuan itu menatapku dengan senyum yang masih dirangkum.
"Jangan tertawa!" ancamku, tapi dia terlihat masa bodo, masih menahan tawa di balik bibir yang tertutup rapat.
Kuhela napas, mengulurkan tangan. "Ponselku."
Cepat Elara memberikan ponsel yang sejak tadi digenggamnya. Sekali lagi kutatap perempuan itu dengan penuh peringatan sebelum berlalu menuju kamar. Menutup keras pintu dengan perasaan kesal yang sangat.
Jariku menekan layar dengan gemetar menahan emosi. Mencari contact dengan nama "iblis perempuan" di deretan nama yang panjang. Kuletakkan ponsel di telinga dengan hati yang berdebar marah, menunggu panggilan di seberang sana diangkat.
Ketika sebuah suara menyahut, amarahku sudah benar-benar tak bisa ditahan.
"Jangan pernah mengirim perempuan lagi ke rumahku! Dan jangan pernah sok peduli! Mati saja! Mati!"
Kemudian telepon kututup. Kutatap nanar ke sekeliling kamar. Meraih benda terdekat yang bisa kuraih. Lalu jam di atas nakas itu terserak hancur ke lantai.
Dengan kesal aku beralih ke arah pintu. Membukanya dengan kasar dan menemukan Elara berdiri di depannya dengan wajah cemas.
Pandangan kami bersirobok. Dia yang serba salah, dan aku dengan napas yang memburu.
"Carikan aku apartemen! Yang paling mahal dan paling aman!"
Elara membisu, mata khawatirnya berubah menjadi tanda tanya.
"Pastikan hanya kamu dan aku yang tahu. Paham?"
To be continued.
Next Putrie-W
Verlita's notes :
Haiii!!
Bagaimana perasaan kalian setelah baca part ini? Semoga perasaan kalian baik-baik saja dan enggak terlalu emosi lagi.
Kalau emosi terus, ntar kalian cepet tua, Gaesss. 😁
Btw, setelah dipikir-pikir, kami akhirnya memilih dua manusia keceh ini sebagai cast terbaru untuk memenuhi kehaluan kita bersama.
Check this out!
Rigel Devara
Manusia paling ngeselin sekaligus ngangenin sejagat raya.
Elara Calista
Gadis kesayangan yang jalan hidupnya mengenaskan
So, bagaimana menurut kalian cast barunya? 🤔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top