Stay
Rigel's
Aku keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Mengenakan kaus hitam rumahan dan celana panjang putih longgar yang nyaman. Aroma makanan yang tercium, membuatku melangkah langsung menuju ruang makan.
Elara, perempuan itu terlihat sedang menata meja. Meletakkan piring berisi nasi serta mangkuk berisi capcay yang kupinta padanya tadi.
Serius. Sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku.
Aku berdeham dengan sengaja, membuatnya menoleh dengan sedikit terkejut.
"Sudah siap?" tanyaku sambil mengambil duduk di sisi mana dia menata piring.
"Sudah, Pak," jawabnya sambil menarik tubuh yang tadinya masih membungkuk, lalu mundur beberapa langkah menjauhi meja.
Kutatap apa yang tersaji, aroma yang menguar sungguh menggoda. Uhm, sepertinya Elara cukup dapat diandalkan dalam urusan masak memasak.
Kuraih sendok sayur di atas mangkuk, sedikit urung ketika hendak menuangkannya ke atas piring. Terlebih ketika sudut mataku dengan tidak sengaja menangkap garis senyum Elara terangkat naik.
"Duduk!" perintahku.
Elara sontak menatapku dengan terkejut.
"Kenapa saya harus duduk?" Dia terlihat bingung.
"Makan. Bareng." Kuletakkan juga sesendok penuh sayur ke atas piring.
"Saya sudah makan, Pak," tolaknya, membuatku kembali menoleh ke arahnya.
Aku mendengkus. Lalu menggerakkan kepala ke arah kursi makan di hadapanku.
"Duduk saja. Temani aku makan."
Elara sepertinya hendak menolak, tapi pada akhirnya duduk juga meski terlihat enggan.
Aku melirik ke arahnya sebelum mengarahkan satu sendok ke arah mulut. Perempuan itu terlihat mengamatiku dengan seksama. Wajahnya nampak harap-harap cemas dengan kedua bibir yang terkatup rapat.
"Kenapa memandangku begitu?" tanyaku heran dengan sendok yang masih menggantung di udara.
Elara menggeleng cepat. "Hanya sedikit khawatir." Senyumnya bergerak mencurigakan.
"Masakanmu tidak enak? Sengaja kamu tambahkan banyak garam ya?" Kukerutkan kening sambil mengangkat sendok dan memposisikannya sejajar dengan mata. Mengamati sayuran yang sudah bercampur nasi di sana.
Elara menggeleng lagi.
Aku berdecak. "Kalau tidak enak, kamu akan mendapat hukuman!"
Mata Elara membelalak. "Tidak ada ketentuan tentang hukum menghukum dalam kontrak," sanggahnya.
"Akan menjadi ada kalau makanan ini bermasalah," kataku. Lalu menyuap makanan pada sendok ke mulut.
Tidak ada yang salah. Ini enak. Aku mulai mengunyah, menyuap ke mulut sekali lagi, lalu sekali lagi, berkali-kali sambil mataku tidak lepas dari Elara yang terlihat menahan napas.
Sampai tiba-tiba aku berhenti karena merasa ada yang salah. Sesuatu terasa mulai membakar lidah, lalu merayap ke kepala. Panas!
Sial! Pedas apa ini? Apa ini?
Dengan cepat kuentak sendok, meraih gelas berisi air putih di sisi piring. Meminumnya sampai tandas, tapi rasa pedas dan panas yang sempat membakar tidak kunjung hilang.
Lidahku mulai menjulur kepayahan, desisan terdengar nyata karena rasanya keterlaluan. Mataku melotot ke arah Elara yang terlihat tenang. Perempuan siaaaaalll ....
"Apa yang kau lakukan dengan makananku, Elara?" tanyaku kesal penuh tuduhan.
Perempuan itu hanya mengerjapkan mata seakan tidak bersalah.
Ada yang salah. Dia mengerjaiku!
"Elaraaaaaa!!!"
Dan senyumnya mengembang, menunjukkan deretan gigi-gigi putihnya. Senyum yang tidak ada bagus-bagusnya di mataku saat ini.
Brengsek!
*
Aku meringkuk di ranjang. Panas akibat pedas tadi membuat perutku benar-benar melilit. Kadang hilang sejenak, dan tidak lama kemudian perut ini kembali teremas.
Sampai pada suatu titik, seakan ada yang mendesak hendak muncrat dari dalam tubuh. Secepat kilat aku berlari ke dalam kamar mandi, membuka kloset dan melepaskan kesakitan yang menyiksa.
"Sial Elara ...." Aku mengumpat pelan. "Tunggu balasanku sialan!"
Setelah melakukan flush, aku bangkit. Tapi belum juga langkah mencapai pintu, lilitan tadi kembali mendesak. Meremas dan kembali bergulat di perutku.
Dengan kesal aku kembali ke kloset. Kembali duduk di sana. Kembali merutuki Elara.
*
Nyaris merangkak ketika akhirnya aku kembali ke atas ranjang. Sudah lebih dari sepuluh kali aku bolak-balik ke kloset.
Ketika akhirnya aku berhasil berbaring, yang kulakukan adalah menarik napas panjang. Keringat dingin mulai muncul di pelipis, sementara perut masih melilit. Tubuhku benar-benar lemas.
Pintu kamar tiba-tiba diketuk.
"Masuk," jawabku lemah, tahu mungkin Elara yang berada di balik pintu.
Pintu terbuka, sosok kurus itu muncul dari sana. Mataku sudah berkunang karena lemah.
"Pak, saya izin pulang."
Suara itu nyaris hilang di pendengaran. Bukannya menjawab, aku malah meringis kesakitan. Terlebih ketika lilitan yang menyakitkan itu kembali menusuk-nusuk.
"Arghh!" Erangan itu keluar begitu saja dari bibir.
"Pak?" Suara Elara terasa dekat. "Bapak sakit?"
Gara-gara kamu, Bodoh!
"Pak? Pak Rigel?"
Cemas? Pura-pura cemas?
Tiba-tiba telapak tangan itu mendarat di kening. Hangat. Tapi wajahnya kabur di mataku.
"Bapak tidak panas. Bapak tidak sakit, 'kan?"
Aku mengerang lagi, meremas perut.
"Ups! Perutnya yang sakit?" Kali ini suara itu terdengar menyesal.
"Si-sial-lan kamu, El." Susah payah keluar juga makian dari mulutku.
"Maaf."
Lalu hening. Lalu rasa itu kembali mendesak. Sehingga mau tidak mau aku kembali turun dari ranjang, terlunta-lunta menuju kamar mandi. Aku merasakan lilitan tangan di pinggang dan pundak. Dia berusaha memapahku.
"Biar saya bantu, Pak."
Dengan kasar kusentak tangannya. Lalu berjalan sendirian meski susah payah.
*
Aku keluar dari kamar mandi dan menemukan kalau kamarku kosong. Elara tidak lagi berada di sana.
Pulangkah dia?
Masih dengan susah payah aku kembali ke ranjang, berbaring dan mengusap peluh dengan susah payah.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku menoleh, melihat Elara berjalan masuk mendekati ranjang. Di tangannya ada segelas air dan juga sebuah tablet.
Dia berlutut di sisi ranjang. Tersenyum padaku sebelum berkata, "Minum obat ya, Pak."
Aku mengerutkan kening. Tidak yakin apakah benar obat yang diberikannya atau hanya sekadar permainan barunya. Kalau tadi capcay pedas, sekarang? Obat pencahar? Bisa jadi, kan?
"Kamu mau mengerjai aku lagi, 'kan?" tuduhku.
Elara merengut. Tanpa banyak cakap menarik pundakku dan menahannya dengan bantal-bantal hingga posisiku nyaris duduk.
Disodorkannya tablet yang hanya kutatap tanpa kuraih. Dengan gemas dia meletakkan gelas di nakas sisi ranjang, menarik tanganku dan meletakkan tablet di telapak tangan.
"Ini beneran obat, Pak. Minum, atau buang-buang airnya enggak akan pernah selesai," ancamnya.
Aku menatap tablet di telapak tangan, lalu menatap Elara yang saat ini sudah kembali memegang gelas berisi air.
"Bukan obat pencahar?" Kutatap lagi tablet di tangan. Ragu.
Elara merangkum bibirnya kuat-kuat. Kutebak tawa hampir muntah dari mulutnya. Namun dia menggeleng. Meyakinkanku kalau yang kupegang sekarang benar-benar obat.
Tidak punya pilihan, akhirnya kumasukkan obat ke dalam mulut. Dengan sigap Elara mengulurkan gelas berisi air, yang langsung kuteguk habis setengahnya.
Elara meraih gelas dari tanganku, meletakkannya kembali ke atas nakas. Lalu dengan sigap dia menarik salah satu bantal, sehingga otomatis aku kembali terbaring.
"Istirahat ya, Pak. Saya izin pulang dulu," ucapnya setelah menarik selimut sampai sebatas dadaku.
Aku mengangguk bingung. Entah kebingungan apa.
Perempuan itu bangkit hendak melangkah, ketika entah mengapa, aku malah menarik salah satu pergelangan tangannya.
Langkahnya terhenti, wajahnya merunduk menatap genggamanku pada pergelangan tangan.
"Pak?" Dia menatapku dengan pandangan serba salah. Bukannya segera melepas pergelangan tangan, aku malah menariknya hingga kembali berlutut di sebelahku.
"Stay ...," ucapku parau. "Aku sakit ...."
Elara menatapku dengan kening berkerut, mengharapkan penjelasan.
"Sebagai pembantuku, maka kamu harus tinggal. Mengurusiku selama sakit ...."
Mulut Elara terbuka, aku yakin protes akan segera keluar dari mulutnya. Tapi dia tidak boleh menolak.
"Selama tiga bulan ke depan. Sebagai pembantuku, kamu akan tinggal di apartemen. Paham?"
Lalu kutarik salah satu ujung bibir naik, tersenyum culas seakan menang. Sebelum lilitan di perutku kembali menjadi, memaksaku bangkit dari ranjang dan merangsek masuk ke dalam kamar mandi.
Tiga bulan bersamaku. Rasakan, Elara!
***
"Dean, tolong reshedule jadwalku besok dengan pihak financing. Aku tidak tahu apa aku akan mampu pergi ke kantor besok. Aku agak ... sakit," ujarku kepada Dean yang berada di ujung panggilan, sembari melangkah ke balkon kamar.
"...."
"Tidak. Tidak perlu obat, ada yang mengurusku di sini."
Kuhirup udara pagi dalam-dalam. Membiarkan kesegaran merayap masuk ke paru-paru.
"Tidak. Aku tidak di rumah," jawabku lagi. "Kamu tidak perlu tahu keberadaanku. Tugasmu adalah me-reschedule semua jadwal. Masalah saham akan kupantau dari sini."
Lalu kumatikan ponsel. Meletakkan kedua telapak tangan pada pagar pembatas. Jakarta pagi ini luar biasa. Sedikit berawan dengan kendaraan yang sudah hiruk pikuk di bawah sana.
Telapak tangan kananku bergerak untuk mengusap perut yang rasanya sudah jauh lebih baik dari semalam.
Perempuan itu benar-benar memberikanku obat. Baguslah. Dia harus tahu apa posisinya di sini. Siapa yang bos dan siapa bawahan. Dan tentu saja alasan mengapa dia harus berada di sisiku selama tiga bulan kedepan.
Aku tertawa tertahan. Sebelum memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar. Langkah-langkah lebarku langsung menuju meja kerja di salah satu sudut kamar.
Meja besar berwarna hitam dengan laptop yang tertutup di atasnya. Kutarik kursi besar empuk yang sewarna dengan meja. Duduk di atasnya, membuka laptop dan menekan tombol power.
Layar monitor berkedip menyala, memunculkan gambar apel tergigit sebelum masuk ke laman desktop.
Tanganku bergerak menyentuh layar, menekan salah satu folder dan membuka sebuah aplikasi. Grafik naik turun berwarna-warni langsung terpampang.
Yang kucari adalah nama perusahaanku, Devara Developer. Lalu bernapas lega ketika melihat garis-garis pada grafik di jajaran sana yang terlihat normal.
Semua dimulai dengan baik pagi ini. Semoga selanjutnya bertambah baik. Semoga menjadi weekend yang menyenangkan.
Suara ketukan pada pintu membuatku mengalihkan pandang dari laptop. Kusandarkan punggung pada sandaran, menatap tepat ke arah pintu.
"Masuk!" Pasti Elara.
Ketika pintu terbuka, benar saja sosok itu masuk. Dengan nampan di tangan. Dia melangkah mendekat. Aroma kaldu ayam langsung merasuki hidungku. Menggoda penciuman dan perutku yang terasa kosong.
Dengan senyum lebar dan gaun sebatas lutut berwarna krem, Elara terlihat berbeda pagi ini. Entah apa, tapi jiwa kelelakianku seakan dirayu.
Pagi hari, sarapan lezat, dan perempuan yang tersenyum. Padanan sempurna.
Elara meletakkan nampan di meja. Kulirik. Teh panas yang masih mengepul, dan semangkuk bubur yang sama panasnya. Sepanas hasratku yang berteriak-teriak hendak menjamah.
Sial! Mengapa rambutnya harus diikat naik? Mengapa lekuk lehernya harus terlihat telanjang di mataku?
Tanpa sadar kuteguk liur. Mengerjapkan mata dan berpaling ketika kupikir aku ketahuan sedang menatapnya lekat.
"Sarapannya, Pak. Saya mau izin ambil motor dulu di rumah Bapak. Boleh?" Dia meminta izin.
"Hmm ...." Aku bergumam, mengizinkan tanpa memandangnya. Pandangan sudah kualihkan ke deretan grafik pada laptop.
Elara berbalik tapi segera kucegah ketika teringat sesuatu.
"Tunggu!" seruku sambil menatapnya tajam.
"Ya, Pak?"
"Sebelum pergi, tolong angkat pakaian kotorku di kamar mandi. Jorok," suruhku sambil menggerak-gerakkan tangan sok jijik.
Elara mendengkus. Tapi dia tidak membantah. Dia berbalik menuju kamar mandi, sementara aku menatap punggungnya hingga menghilang dengan tawa tertahan.
"Pak! Ini apaaaa?!"
Tidak lama jeritan yang kunanti bergema memekik. Mau tidak mau tawaku pecah tak terbendung.
"Aku enggak tahan, El! Mules banget semalam! Bersihin, yaaaa!"
Yes! Kena kamu!
To be continued.
Next Putrie-W
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top