Signed
Rigel's
Aku mengamati perempuan yang duduk di seberang meja dengan seksama. Terlihat khusuk membaca selembar kertas yang kuserahkan barusan.
Kontrak. Karena menurutku, lima ratus juta terlalu berlebihan untuk tubuhnya yang kelewat mungil.
"Pembantu?" Elara mengangkat kepala sembari menatapku tak percaya.
"Tiga bulan," sahutku, berusaha tak acuh dengan wajahnya yang mulai terlihat memelas.
"Harus bersedia melakukan apa saja?" Dia membaca poin ketiga dengan napas nyaris terengah.
Itu adalah poin setelah:
ELARA BERSEDIA MENYERAHKAN KEPERAWANANNYA KEPADA RIGEL DEVARA.
Sengaja kutulis tangan dengan huruf kapital, agar dia tidak sampai salah baca dan memahami.
"Apa saja!" sahutku lagi sambil mengetuk-ketuk meja dengan jemari.
"Seks termasuk?" Elara bergidik.
Aku tertawa geli. "Mau kutulis seks juga?"
"Tidak!" Dia menjawab cepat.
Aku berdecak. "Kamu tidak membaca sampai poin terakhir. Ketika membicarakan sebuah kontrak, kamu harus teliti agar lawanmu tidak bisa mengerjaimu, Elara," cibirku.
Elara menghela napas sebelum kembali menundukkan kepala, diamati lagi kertas di tangannya.
"Tidak ada seks kecuali atas dasar keinginan masing-masing, atau adanya uang yang ditambahkan ...."
"Persis!" Kujentikkan jemari sebelum bibir yang terlihat penuh itu, menyelesaikan apa yang dibaca. "Adil, 'kan?"
Dia diam saja, masih menunduk sebelum mengangkat kepala untuk kembali menatapku.
"Di mana saya harus tanda tangan, Pak?" tanyanya terdengar gentar.
Senyumku mengembang. Kuraih pena yang tergeletak di meja dan menyerahkannya pada dia yang terlihat pasrah saat ini.
*
Aku membuka pintu mobil di sisi penumpang. Tidak sabar melihat Elara yang masih bergeming di tempatnya duduk.
"Keluar!" perintahku.
Elara menoleh, menatapku bingung.
"Rumah sakit?" tanyanya ragu. "Untuk apa, Pak?"
"Kita harus membuat segalanya aman ...." Aku mulai mencekal lengannya untuk ditarik turun. "Untukku," lanjutku dengan tekanan, sambil benar-benar menariknya keluar dari mobil.
Elara mau tidak mau turun juga. Kulihat disapunya sekitar dengan pandangan.
"Aman untuk apa, Pak?" Ditariknya lengan sehingga cengkeramanku terlepas. Tangannya bergerak ke kursi penumpang di mana tasnya tertinggal di sana.
Segera kudorong pintu mobil hingga menutup, lalu menarik pergelangan tangannya yang bebas.
Perlahan aku membungkuk sehingga wajah kami sejajar, sebelum mulutku bergerak ke sisi wajahnya yang tampak menegang.
"Supaya kamu tidak hamil, Elara sayang," bisikku tepat di telinga, kemudian segera menarik wajah menjauh.
Elara memandangku ngeri dengan napas tertahan. Aku terkekeh. Mengapa si murahan yang merelakan perawannya untuk uang yang tidak seberapa ini, terlihat takjub dengan pernyataanku?
Palsu!
Tangannya yang masih tergenggam, kutarik masuk ke dalam bangunan rumah sakit. Berjalan menyusuri koridor yang tidak terlihat ramai malam ini. Tujuan kami adalah seorang Dokter Obgyn yang sudah kuhubungi dalam perjalanan tadi.
Namun Elara terlihat tidak nyaman, sejak tadi dia terlihat menengok ke kanan dan ke kiri seakan was-was akan sesuatu, seolah hendak melarikan diri.
Apa dia akan mundur sekarang? Melupakan uang lima ratus juta dan menggagalkan acara mesum kami malam ini?
Ck!
Kuhentikan langkah dan melepas genggaman. Langkah Elara mau tidak mau juga terhenti.
"Kamu tidak merasa yakin?" Aku berbalik, menatapnya dengan seksama.
Elara terlihat ragu. Mungkin sedang menimbang sesuatu. Pertimbangan yang tidak berlangsung lama. Karena beberapa detik kemudian, pandangan ragu itu berubah. Menantang.
"Saya sangat yakin, Pak!"
Kutarik salah satu bibir naik. Dia benar-benar murahan.
"Bagus!"
Kuraih lagi pergelangan tangannya, nyaris berbalik untuk melanjutkan langkah ketika sebuah panggilan membuat langkah kami tertunda.
"El!" Sontak kami berdua menoleh ke arah suara.
Napasku terhela ketika menyadari bahwa kami memiliki panggilan yang sama. El? Sial!
Di kejauhan aku melihat sosok berjubah putih ala dokter, berjalan mendekat dengan tergesa. Wajah yang tidak terlihat asing. Wajah yang ....
Mengapa dia ada di sini?
"Nath ...."
"Nathan!"
Ketika lidah malas melanjutkan ucapan, Elara justru memanggil dengan semangat.
Aku menoleh ke perempuan berkuncir satu di sampingku ini, dengan kening berkerut. Serta merta menahan pundaknya, ketika menyadari bahwa dia hendak menghampiri sosok yang nyaris dekat dengan kami itu.
Langkah Nathan--seseorang yang paling kubenci selama masa sekolah--melambat. Matanya menyipit ke arahku dengan heran.
"Rigel?"
"Hm." Singkat.
"Elara?" Pandangannya berpindah kepada gadis di sebelahku.
"Kalian ...."
Kurengkuh pundak Elara, merapatkannya ke sisi tubuh.
"Pak?" Elara mendongak, terkejut dengan apa yang kulakukan.
"Sttt ...," bisikku memintanya diam. Mataku masih menatap tajam ke arah Nathan, memindai sosok yang selalu saja membangkitkan jiwa pesaingku.
Sudah sukses dia? Dokter? Ah ... namanya tidak pernah kulihat pada daftar deretan konglomerat muda se-Nusantara. Tidak ada apa-apanya.
"Ada apa, Nath?" Elara bersuara memecah kecanggungan. Nathan yang sejak tadi kutahu mengamati rengkuhan di bahu Elara berdeham, ekspresinya berubah menjadi serius.
"Kamu mau jenguk Bams?"
Bams? Siapa lagi?
Aku melirik ke Elara. Perempuan itu terdiam sejenak, tapi kemudian mengangguk.
"Kamu udah dapat lima ratus jutanya?"
Kali ini pandangku langsung menghunjam ke arah Nathan. Lima ratus juta sungguh terdengar sensitif di telingaku saat ini.
Bisa kurasakan tubuh Elara menegang dalam rangkulan. Apa yang akan dikatakannya?
"Udah," jawabnya pelan. "Apa kamu bisa pastikan Bams segera mendapat tindakan yang dibutuhkan?" Dia terdengar khawatir.
Kulihat Nathan melebarkan senyum. "Jangan khawatir, El," ujarnya seolah hendak menularkan perasaan tenang.
Aku mengamati wajahnya. Lalu menyadari bahwa ada rasa yang terpendam di balik senyum yang terukir. Lelaki ini menaruh hati pada Elara. Aku yakin.
Tanpa sadar aku berdecak. Mengasihani dia yang jatuh cinta pada perempuan yang akan segera kurengut kegadisannya.
"Kenapa?" Tiba-tiba saja Nathan bertanya ke arahku, bisa jadi decakanku terdengar.
Enggan berbanyak cakap, kualihkan pandangan ke arah Elara.
"Jadi mau jenguk Bams?" tanyaku.
Elara mendongak terkejut. Mungkin tidak yakin dengan kalimat yang kuucap.
"Yuk!" Kubalik tubuhnya sebelum dia sempat berkata apa pun. Berjalan menjauh dengan rangkulan yang semakin mengerat. Meninggalkan Nathan yang kuyakin penuh dengan tanda tanya di benaknya.
Rasakan!
"Siapa Bams?" tanyaku ketika yakin bahwa kami sudah cukup jauh dari Nathan.
"Adik saya," jawab Elara singkat.
Kutarik napas panjang, sementara langkah kami terus terayun.
"Sakit?"
"Leukimia."
Kali ini mataku terpejam beberapa detik. Tapi kukeraskan hati.
"Berterima kasihlah untuk lima ratus juta yang akan kuberikan," ucapku membuat langkahnya terhenti.
Aku merunduk, menemukannya menatap dengan kilat marah.
"Saya sudah membayar lunas dengan mahkotaku yang berharga, Tuan Rigel Devara. Itu sudah lebih dari rasa terima kasih!"
Aku terdiam. Terpana dengan kilat marahnya yang memikat. Otak liarku mulai membayangkan sepanas apa adegan ranjang kami dengan sifatnya yang sok tegar.
"Kamu membuatku berdebar," ucapku jujur. Pada kenyataannya, debar jantungku memang memburu.
Elara menghela napas kasar. Langkahnya melebar meninggalkanku di belakang.
Ini akan menantang.
Dengan senyum yang tidak mampu kutahan, aku mengikuti dari belakang.
"Jangan lupa bagian pembantunya, El!" seruku mengingatkan, entah terdengar atau tidak. Yang pasti langkahnya terayun semakin cepat.
Benar-benar menantang.
💕💕💕
"Lima menit," ujarku ketika Elara memasang masker ke wajahnya.
Dia tidak menjawab, hanya menatapku lelah. Mendorong pintu di hadapan dan membiarkan benda itu menutup tepat di depan wajahku.
Aku bergeser menuju kaca besar transparan di sisi pintu. Dari sini aku bisa melihatnya berdiri di tepi ranjang.
Seorang pemuda terlihat terbaring di ranjang, dengan infus dan entah selang-selang apalagi yang terpasang di tubuhnya. Di sisi ranjang yang berhadapan dengan Elara berdiri, terlihat monitor yang menunjukkan garis-garis yang naik turun.
Kuhela napas, mengamati apa yang terjadi di dalam sana. Usapan sayang, kecupan lembut di kening.
Masih adakah ketulusan? Entah. Aku tidak yakin.
Berbalik, kusandarkan tubuh di kaca bening. Melirik jam di tangan, memastikan agar lima menit tidak terlewat.
Setidaknya, suntikan pengaman sudah dilakukan. Aman.
💕💕💕
Kupindai Elara yang berdiri dengan kaku di tepi ranjang.
Ranjangku. Di rumahku.
Kedua tangannya mengepal kencang di sisi tubuh, dan wajah yang menatap lurus dengan pongah itu ....
Hmm ....
Apa dia berpikir kalau wajah sombong bisa menutupi kegamangan?
Aku berjalan mengitari tubuhnya. Lumayan. Meski tidak bisa dibilang sempurna.
"Tujuh puluh lima dari seratus," gumamku sambil menatap bokong yang masih tertutup dengan kemeja putih milikku yang terlampau panjang di tubuhnya.
Kuperhatikan, kepalan tangannya semakin menguat. Kucondongkan kepala, mendekatkan hidung ke pucuk kepalanya yang memiliki aroma sama denganku.
Dadaku bedebar. Kami memiliki wangi yang sama sejak kuminta dia membersihkan diri tadi. Shampo dan sabun milikku, bercambur dengan aroma tubuh aslinya.
Aku kembali berputar, sekarang berdiri berhadapan dengannya. Membungkuk, menyejajarkan wajah kami yang nyaris tak berjarak.
Elara menatapku dengan pucat. Sementara kutarik kedua bibir naik.
"Kamu tidak berbohong. Ini benar-benar yang pertama ... heh?"
Dia tidak menjawab. Kedua bibirnya terkatup rapat. Matanya benar-benar menantangku.
"Kita akan melakukannya dengan perlahan. Aku akan sangat hati-hati, Elara," ujarku.
Elara menghela napas, keringat mulai menetes di pelipis. Kedua mata yang sejak tadi menantang menutup perlahan.
Ini menarik.
Kurapatkan pipi di pipinya, menyesap aroma yang akan menjadi milikku malam ini.
Tapi ada yang salah.
Segera kutarik wajah, dan mendudukan diri di tepi ranjang. Mengamati lagi tubuh yang semakin menegang. Mengulum senyum agar tidak lepas jadi tawa.
Ini harus adil.
"Mana nomor rekeningnya?" tanyaku.
Mata yang terpejam, mendadak membuka. Menganga menatap ke arahku. Sementara kuraih ponsel yang tadi kulempar ke ranjang sebelum beraksi.
"Rekening?" Dia balik bertanya keheranan.
"Aku akan membayarmu terlebih dahulu sebelum kita bersenang-senang," ucapku sambil mulai menekan tombol-tombol di layar ponsel.
Elara masih diam.
Aku menatapnya tidak sabar. "Kemana aku harus transfer uangnya, Elara? Rekening rumah sakit? Rekening pribadimu?" Kulekatkan ponsel di telinga.
"Dean!" Aku menyahut jawaban di ujung telepon. "Aku mau melakukan transfer sebesar lima ratus juta ke rekening ...." Kutatap Elara yang sedang sibuk mengotak-atik ponselnya.
Tidak lama diulurkannya ponsel ke arahku. Menunjukkan nomor rekening yang ternyata adalah milik rumah sakit.
Kusebut nomor rekening yang tertera. Dean--asisten pribadiku--terdengar mengulang ucapan di ujung telepon.
"Sekarang. Aku akan menunggu report-nya." Lalu kuputus sambungan telepon.
Elara masih berdiri di hadapanku, meremas jemarinya dengan cemas. Sementara aku bersandar dengan kedua lengan di atas ranjang. Menikmati bayangan samar di balik kemeja putih kebesaran.
Ah! Dean lama sekali!
Tidak lama ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk. Kuintip isinya, lalu tersenyum lebar.
Serta merta kutunjukan pesan pada layar kepada Elara. Perempuan itu tersenyum samar. Sebuah kelegaaan jelas terpancar pada wajah tirusnya.
Lunas! Tidak ada lagi alasan untuk menunda.
Kulempar ponsel secara asal ke ranjang. Lalu kembali berdiri di hadapan tubuh Elara yang kembali tegang.
Kuraih tengkuknya, menarik wajah tanpa rias mendekat ke wajahku. Tubuh itu merespon dengan gentar. Tidak seperti tadi, kali ini kedua matanya tetap terbuka, kembali menantang meski mulai berkaca-kaca.
Kesombongan dalam ketakutan yang memicu adrenalin. Sementara birahi menari-nari meminta dipenuhi.
Kukecup telinganya sebelum berbisik, "Semua akan baik-baik saja, Elara. Jangan khawatir."
Tubuhnya bergetar hebat, tapi tidak ada isak. Kecupanku berpindah di pipinya, sementara tangan bergerak melingkari tubuh mungil yang mencoba menolak.
Kutarik punggungnya hingga tubuh kami menjadi lekat tanpa jarak. Ada gelinang yang bergelayut pada netra yang menatapku dengan marah.
Yang pertama, memang selalu menakutkan.
Abai. Bibirku bergerak untuk mengecup bibirnya sekilas, sebelum beralih ke mata yang menutup dengan cepat. Kukecup bergantian dengan lembut. Hingga air mata di pelupuk itu, luruh tak tertahan.
💕💕💕
Aku menggeliat, terbangun karena cahaya yang menyelinap ke balik kelopak mata. Masih dengan mata terpejam, kususuri sisi ranjang sebelah dengan telapak tangan, mencoba mencari sosok yang memberi kenikmatan semalam.
Keningku mengernyit. Karena tangan tidak mampu menemukan kehangatan di sana.
Serta merta kubuka mata, dan mendapati bahwa sisi ranjang itu kosong. Tidak ada Elara. Perempuan itu menghilang begitu saja.
Aku mendengkus, menatap nanar ke langit-langit. Tubuh telanjangku yang yang sebagian tertutup oleh selimut, mulai menggelinjang karena tawa yang tidak tertahankan.
Perempuan! Sama saja!
To be continued.
Next Putrie-W
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top