Hell

Written by Putrie-W

Tanganku menggapai-gapai, berharap tubuh tak sampai menyentuh lantai. Kejadian yang diakibatkan karena terkejut akan Rigel yang tiba-tiba berbalik, sampai akhirnya aku kehilangan keseimbangan. Tiba-tiba Rigel menopangku dengan satu tangannya. Dan sungguh lega! Namun, kejadian selanjutnya membuat murka setengah mati! Si mesum itu menarik handuk yang melilit tubuh ini.

“Rigelllll!” jeritku kesal.

Wajahku panas dan berusaha meraih handuk yang sedang Rigel angkat tinggi. Sementara tubuhku masih dalam kendalinya. Matanya memandang penuh binar, sedangkan bibir itu tersenyum.

“Heh, kamu berani menyebut namaku seperti itu?” tanyanya dengan nada ejekan.

“Berikan handukku!”

Bukannya menyudahi drama pagi ini, Rigel malah mengetatkan rengkuhan di pinggangku. Sungguh, aku merasa muak! Tapi dia tampak senang.

Terus berusaha menggapai handuk itu, tapi tetap tak berhasil. Aku sudah merasa panas di sekujur tubuh. Rasanya ingin pergi ke Kutub Utara agar Rigel tak pernah melihat yang tengah dia saksikan sekarang.

“Kamu mau mengambil ini, El?”

Dia menggerak-gerakkan kain putih itu. Sial! Tanganku masih tak sanggup untuk mencapainya. Dia lebih tinggi dariku.

Lalu perlahan dia menarik tubuh. Sementara pergelangan tanganku dia genggam. Ada jarak di antara kami dan dia sekarang bisa memandangku secara keseluruhan! Tanpa pikir panjang, aku hendak berlari ke kamar. Namun, tanganku tetap dicekal olehnya.

“Lepas!”

Aku menyentak tanpa berbalik, tapi dia tak juga melepaskan. Napasku mulai tak beraturan dan dada berdebar hebat. Sadar, Rigel pasti sedang memindai tubuhku dengan penuh rasa puas.

“Haruskah kita menghabiskan satu ronde pagi ini, El?”

Dia berbisik dan suara itu terdengar sangat dekat. Rasanya dia hanya berjarak beberapa jengkal saja dariku. Lalu ... sebuah kecupan mendarat tepat di tengkuk. Seketika aku meremang dan tanpa sadar memejamkan mata.

Kedua lenganku dia pegang erat, hingga tak bisa untuk berlari meninggalkannya.

“El ...,” bisiknya parau.

Lalu disusul gigitan kecil di telinga, berlanjut dengan kecupan lembut di pundak. Tak hanya itu, Rigel menyusuri punggungku dengan bibirnya. Sensasi ini ... sangat aneh, membuatku ingin melepaskan desahan karena serasa tak kuat menahan aksi Rigel.

Aku ingin berlari dan pergi, tapi Rigel sangat kuat mencengkeram kedua lenganku. Dan aku hanya bisa mengepalkan tangan saat ciuman Rigel sudah mencapai bokong.

Rigel brengsek!

“Sepertinya kamu juga menginginkanku, El. Kenapa harus ditahan? Aku ingin mendengarmu mendesah.” Sekali lagi dia berbisik, kemudian mengecup leherku cukup lama dan itu terasa agak sakit.

Potongan-potongan malam kelam itu seketika mengisi benak. Dia yang menyentuh tubuhku pelan. Dia yang mencium bibirku. Dia yang berada di atasku sambil mengerang nikmat.

Jangan ... jangan terulang lagi. Aku tidak sanggup.

Kali ini aku memberontak lebih kuat. Entah dia sengaja melepaskan atau tidak, tapi aku segera berlari menuju kamar mandi. Kututup pintu kasar, serta menguncinya. Terdengar di luar sana Rigel tertawa kencang. Baginya ini lucu? Yang benar saja!

Panas, rasanya sangat panas. Aku perlu sesuatu untuk menormalkan suhu tubuh.  Aku menyalakan shower dan membiarkan air mengalir di seluruh tubuh. Tangan menempel pada dinding, lalu terkepal kuat.

“El, kamu belum menyiapkan pakaianku!” teriaknya sangat kencang.

You are bastard, Rigelll!” Aku berteriak balik padanya. “You are bastard! Go to the hell, please!”

“I will go to the hell ... but of course with you. How?”

Aku bisa mendengar nada ejekan dari teriakannya barusan. Dan aku sangat membencinya!

“Nanti kamu harus mendapatkan hukuman karena tidak menyiapkan pakaianku, Elara! Aku ada rapat pagi ini dan kamu membuatku terlambat sekarang!”

Si sialan ini masih bisa menyalahkanku?

Cepat, aku mematikan shower dan berdiri di balik pintu. Lalu berteriak, “Dasar bos otak mesum! Brengsek! Kurang ajar! Kamu yang menggodaku tadi dan berani menyalahkanku?!”

Muak hingga ke ubun-ubun rasanya! Sumpah, aku sudah tak peduli lagi dia akan bereaksi seperti apa. Aku ingin mengumpat padanya dengan semua kata-kata kasar. Aku kesal setengah mati! Rigel Devara mesummm!

Napasku terengah-engah setelah meneriakinya, tapi sampai beberapa menit, keadaan tetap hening. Tak ada sahutan dari Rigel. Dia sudah berangkat kerja? Baguslah!

Buru-buru aku memakai dress yang kupakai sebelum mandi tadi. Ini lebih baik, karena handukku masih ada pada Rigel.

Perlahan, aku putar kenop pintu, tapi sedetik kemudian aku terkesiap. Rigel berdiri di depan pintu dengan tangan terlipat di dada. Penampilannya disempurnakan oleh kemeja hijau berpadu jas hitam. Dia menyeringai ke arahku. Lalu berjalan mendekat. Sontak aku mengambil langkah mundur dan lagi-lagi jantungku berdebar hebat.

“Bagaimana rasanya berteriak dan mengataiku seperti tadi, El?” tanyanya sembari terus melangkah.

Tiba-tiba aku tak bisa menelan ludah sendiri. Rasanya tenggorokanku sakit. Bahkan aku kebingungan harus mengatakan apa sekarang.

Tatapan dan senyumannya begitu licik. Aku bergidik diawasi oleh sepasang mata beriris cokelat itu.

“Argh!”

Aku mengerang, karena tanpa sadar ternyata tubuh terbentur pada tembok. Tidak ada jalan keluar, sebab sekarang Rigel menghimpitku dengan kedua tangannya. Matanya menyipit, tajam. Atmosfer di sini semakin panas.

“Ba-bapak katanya sudah terlambat untuk rapat. Kenapa masih di sini?” Susah payah aku bertanya.

Detak jantung masih juga memburu. Aku perlu ruang besar agar dada merasa lega!

“Tadi mengataiku dengan semangat dan sekarang sudah berubah jadi anak baik lagi?”

Rigel tertawa kecil. Lalu tiba-tiba saja satu tangannya sudah berada di tengkukku. Sementara satu tangan lainnya kini memegangi daguku.

“Itu ... itu ... Bapak yang mulai. Saya emosi.” Aku mencoba membela diri.

Yang aku pikirkan bagaimana caranya dia segera pergi, jadi aku harus bersikap baik padanya. Tidak boleh berontak, agar dia tidak nekat melakukan hal gila seperti tadi.

“Aku yang memulai? Baiklah, aku akan mengakhiri pagi ini dengan caraku.”

Wajahnya kemudian mendekat. Refleks aku mendelik dan dada serasa hendak meledak saat bibirnya menempel di bibirku. Aku ingin melepaskan diri, tapi dia menekan tengkukku agar tautan bibir kami tak lepas.

Berkali-kali kudorong tubuhnya, tapi tak menghasilan pergerakan. Dia berdiri kokoh, tidak tergoyahkan. Belum menyerah, aku pukul dadanya dan tetap saja, Rigel tidak terpengaruh.

Dia melumat bibirku lembut, dari bagian atas, lalu bawah, dan terus seperti itu. Sesekali ciumannya turun ke leher. Decapan demi decapan terdengar. Rigel mencumbuku  penuh gairah. Tangannya yang berada di daguku, kini berpindah untuk mengangkat kaki kiriku. Tubuhnya semakin rapat, hingga aku bisa merasakan sesuatu yang keras di bawah sana.

Jantung masih tak mau berdetak normal. Iramanya mengentak-entak, seakan menemani perbuatan Rigel. Aku melemah, tidak ada kekuatan untuk bisa mendorongnya jauh. Seakan tubuhku pasrah atas perlakuan Rigel.

Aku yang tak bisa melepaskan diri kini hanya bisa memejamkan mata dan mencengkeram kerah kemejanya kuat. Setidaknya ini sedikit menyalurkan hatiku yang tercabik-cabik.

Sekarang aku sedang berada di neraka dan bersama Rigel. Neraka yang dia ciptakan sendiri, lalu memaksaku untuk ikut masuk ke dalamnya. Aku terperangkap.

Di mana, di mana jalan keluar untuk pergi dari sini? Aku sudah lelah. Kenapa pula di saat seperti ini waktu melamban? Bahkan terasa hanya bergeming, hingga adegan memuakkan ini tak jua berlalu.

Kecewa ... sekali lagi aku kecewa pada Rigel. Hatiku berdenyut nyeri diperlakukan seperti ini. Demi apa pun, aku membencinya! Setelah nanti tiga bulan berlalu dan di masa depan kelak, aku tak akan pernah mau memiliki koneksi dengannya. Aku ingin memutus semua hal yang berhubungan dengan Rigel. Aku ingin menjauh darinya. Pergi ke mana saja asalkan tak bertemu lagi dengan dia.

🌺🌺🌺

Rambutku yang tergerai, kusisir rapi. Lalu membetulkan letak syal bunga-bunga yang terikat di leher. Tak ketinggalan untuk memeriksa blouse peach serta rok pensil burgundy yang sedang aku pakai.

Aku mendengkus sebal sambil mematut diri di cermin. Ini semua gara-gara Rigel! Kalau saja dia tidak memberikan tanda di leherku, tak akan ada rambut tergerai dan syal saat sedang bekerja begini. Dia memang harus dikutuk!

Selesai merapikan penampilan, aku hendak keluar dari toilet, tapi dering ponsel menghentikan langkah. Aku meraih benda pipih dari tas. Dahi mengernyit ketika melihat siapa pengirim dan isi pesan di tampilan popup.

El, ke ruanganku sekarang! Makan bersama denganku!

Ugh!

Tadi pagi dia menindasku habis-habisan dan sekarang masih berpikir aku akan makan bersamanya? Mimpi!

Sengaja aku menandai pesannya sudah terbaca, tanpa membalas. Aku kemudian melanjutkan langkah. Melewati kubikel yang lengang, sebab sudah jam makan siang.

Ponsel di genggaman kembali berdering. Aku menatap layar sambil terus berjalan.

Di mana! Aku menunggumu!

Bodo amat! Aku tak akan membalas. Abai, ponsel kembali ke tas.

Aku terus berjalan menuju kantin. Langsung mengambil makanan dan bergabung dengan Lita yang melambaikan tangan. Kami duduk dengan beberapa karyawan lain. Suasana kantin sangat ramai. Terdengar obrolan dari segala arah. Sementara di mejaku, para perempuan asyik membicarakan tentang diskon akhir pekan. Tidak ada minat menimpali, aku hanya fokus untuk makan.

“El, lihat deh, itu ada yang jalan ke arah lo,” bisik Lita yang duduk di sebelahku.

Wajahku terangkat. Memang, aku melihat seorang laki-laki dari departemen keuangan berjalan ke arahku dan di tangannya ada piring.

“Masa' dia mau ke sini? Nyari gue? Ngapain?” Aku ikut berbisik sambil mengunyah makanan. Lalu pura-pura tak melihat laki-laki tadi.

“Dih, pura-pura lupa. Rendi kan sering titip salam buat lo. Lumayan tuh wajah sama dompetnya, El. Pepet, gih!” Lita lantas cekikikan.

Baru saja aku ingin menjawab, tapi sebuah suara lebih dulu terdengar.

“Hai, boleh duduk di sini?” Rendi tersenyum setelah bertanya dan itu lumayan manis!

Bisik-bisik perempuan di mejaku mulai terdengar. Aku mendelik agar mereka diam. Dan itu membuat mereka cekikikan.

“Cuma kosong di sebelah gue. Nggak apa?” Akhirnya aku bersuara setelah memindai kursi yang lain. Dan yang kosong memang hanya tepat di sebelahku.

“Emang gue pengen duduk dekat lo, El,” jawabnya semangat. Lalu meletakkan piring dan duduk.

Kikuk. Jadi aku hanya membalas dengan senyuman. Kemudian hendak menyuap makanan, tapi tertahan ketika sebuah panggilan tegas tertuju untukku.

“Elara!”

Kaget, hingga tak sadar sendok dan garpu terjatuh dari tanganku. Dentingan yang dihasilkan karena beradu dengan piring, seperti nada horor yang mengiringi tatapan tajam itu.

Rigel. Dia ada di sini. Berdiri dengan kedua tangan masuk ke saku celana. Jarak kami sekitar sepuluh langkah saja. Tatapannya menghunjam. Menyeramkan.

Dia berjalan ke arahku. Mendadak aku ketakutan. Jangan sampai dia membuat onar di sini!

“Eh, Pak Rigel tumben ke kantin.”
“Bos kita mau makan di sini? Wah, nggak nyangka!”
“Gila! Ganteng banget!”

Dan entah kalimat-kalimat apa lagi yang para karyawan perempuan lontarkan. Aku berdecak. Apa istimewanya si Rigel?

“Siang, Pak.” Rendi, Lita, dan lainnya menyapa ketika laki-laki batu itu sudah berdiri di sebelah meja makan kami.

“El, ikut denganku!” Mata Rigel lalu beralih pada Rendi.

“Tapi saya lagi makan, Pak.”

“Makan di ruanganku.”

Suasana kantin semakin riuh. Aku membayangkan gosip yang akan beredar cepat. Direktur perusahaan mengajak karyawannya makan bersama!

“Pak, saya makan di sini saja.”

Bibirku tersenyum lebar, tapi dia malah menyipitkan mata.

“Ke ruanganku, El!”

Oh, sekali saja, aku ingin merobek mulutnya itu!

“Lo ada apa-apa sama Pak Rigel?” Lita berbisik.

“Nggak! Lo ngaco.” Lita tampak tak percaya dengan jawabanku barusan.

“Kamu, minggir!” suruh Rigel pada Rendi.

Terkesiap. Apa yang mau dia lakukan?

Rendi memandangku sejenak, tapi akhirnya dia berdiri. Di saat itulah Rigel menarik tanganku dan memaksa untuk bangkit.

“Pak!” Kusentak tangannya, berusaha agar tidak terjadi drama lebih banyak lagi di sini. Karena semua mata tertuju padaku dan Rigel.

“El, menurutlah!”

Menyerah agar tak semakin kacau, aku memutar bola mata ke arah tas di kursi. Dia membiarkan aku untuk mengambilnya. Lalu kembali menggenggam pergelangan tangan ini.

Rigel menarikku untuk berjalan, tapi seketika terhenti saat seseorang bertanya, “Bapak ada apa-apa sama Elara?”

Kami menoleh ke arah belakang. Rendi yang bertanya barusan dan jelas sekali dia kebingungan.

“Kalau iya, ada masalah?”

What?! Rigel gila! Kenapa harus menjawab seperti itu? Lihatlah! Semua orang tampak terkejut dan sudah mulai bergosip.

Argh!

To be continued.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top