Bab 22
"Kamu sakit, Nad?"
"Tidak." Aku langsung menggeleng seraya menyahut pertanyaan Diva. Wanita itu menyadari ada yang berbeda dari diriku hari ini. Aku seorang profesional saat menjalankan tugas, tapi aku hanyalah wanita biasa saat telah turun dari pesawat.
"Atau kamu pusing?"
"Aku baik-baik saja," tandasku. Secara fisik tubuhku sehat. Hanya otakku saja yang tidak seratus persen.
"Ada masalah?" Diva terus saja mencari tahu.
"Setiap orang punya masalah, kan?" sahutku sembari terus berjalan di samping Diva.
"Iya, tahu. Tapi aku tidak peduli dengan masalah orang lain. Aku hanya peduli padamu, Nad. Kalau tidak keberatan, kamu bisa berbagi masalah denganku. Meski aku tidak bisa menjanjikan punya solusinya, setidaknya aku bisa menjadi pendengar yang baik," ujarnya.
"Bukan masalah serius, Div. Jangan khawatir," ucapku sambil mengurai senyum.
"Baiklah. Kalau kamu... "
"Hai!"
Ucapan Diva terputus dan langkah kaki kami berdua serempak berhenti ketika terdengar sebuah suara menyapa dari belakang. Tapi, benarkah sapaan itu ditujukan untuk aku dan Diva?
Aku menoleh ke belakang setelah Diva.
Kevin?
Pria itu sedang berjalan ke arah kami dengan seulas senyum menghias bibir. Melihatnya yang tidak membawa barang bawaan, membuatku berpikir jika Kevin datang ke bandara bukan untuk bepergian. Mungkinkah Diva memberitahukan jadwal penerbanganku pada Kevin? Pasalnya ini sangat mencurigakan.
"Nad." Diva berbisik dengan wajah diliputi rasa bersalah.
"Apa kabar, Nad?" Kevin mengabaikan Diva dan hanya menyapaku. Tatapan matanya juga begitu. Hanya lurus mengarah padaku.
"Tolong jangan mendekati Nadia lagi, Vin."
"Kenapa kamu melarangku mendekati Nadia? Bukannya saat itu kamu bilang bersedia memperkenalkan aku pada Nadia?" Kevin beralih pada Diva.
"Iya, tapi kan... "
"Kamu mau apa?" Aku menyela karena Diva tampak kebingungan mencari alasan. Ia terlihat merasa bersalah dan aku sudah memaafkannya.
"Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh, Nad. Tak apa kalau hanya sebagai teman."
Pria itu tampaknya suka memaksakan keinginan.
"Maaf, tapi aku tidak sembarangan berteman dengan seorang pria."
"Kamu sangat pemilih dalam berteman, ya? Bagaimana kalau kita minum kopi? Bertiga juga boleh. Kamu tidak sedang terburu-buru kan, Nad?"
Ini menjengkelkan. Meskipun aku punya waktu luang, aku sama sekali tidak tertarik untuk pergi bersama Kevin.
"Aku tidak bisa," tandasku memberi jawaban atas ajakan Kevin. Sedang Diva masih teronggok di tempatnya berdiri tanpa memberikan reaksi apa-apa.
"Ayolah, Nad. Jangan jual mahal. Aku hanya ingin minum kopi dan sedikit berbagi obrolan denganmu, bukan melakukan hal lain," rayu Kevin berusaha membujukku.
"Sebaiknya kamu mencari orang lain yang mau minum kopi denganmu, Vin."
"Tapi aku maunya dengan kamu, Nad. Bukan orang lain," tegas pria di hadapanku dengan rahang menegas. Aku merasakan firasat buruk.
"Sekali lagi aku tegaskan, aku tidak mau, Vin. Kumohon mengertilah," ucapku setengah meminta. Kami berada di tempat umum. Jangan sampai terjadi pertengkaran atau semacamnya karena itu akan menarik perhatian orang lain dan cukup memalukan.
"Kalau aku memaksa bagaimana?" Kevin menyeringai. Sikapnya membuatku yakin jika pria itu bukan orang baik-baik.
"Vin, jangan keterlaluan." Diva berusaha merangsek maju untuk menghalangi pergerakan tubuh Kevin yang hendak menghampiriku.
"Jangan mencampuri urusanku, Div."
Situasi bisa berubah menjadi runyam jika Diva terus berusaha menghentikan Kevin, sementara pria itu mencoba untuk tetap memaksakan keinginannya.
"Dia teman baikku, Vin. Kumohon... "
Sejurus kemudian tubuh Diva terdorong ke samping, lantas jatuh ke atas lantai. Sontak saja kejadian itu mengundang perhatian dari orang-orang yang kebetulan lewat tak jauh dari tempat kami berada.
"Div!"
Tubuhku seketika tertahan saat aku hendak bergerak untuk membantu Diva. Kevin telah mencengkeram lenganku demi mencegahku untuk mendekati Diva.
"Apa yang kamu lakukan padaku?" geramku.
"Aku hanya ingin minum kopi berdua denganmu, Nad. Itu saja. Apa susahnya kamu menuruti keinginanku?"
"Sudah kubilang aku tidak mau. Jadi lepaskan aku sekarang juga atau aku akan teriak," ancamku tidak main-main. Toh, bandara adalah tempat umum. Aku hanya perlu mengundang perhatian orang-orang untuk meminta pertolongan.
"Teriak saja... "
"Nadia!"
Di momen yang hampir bersamaan, seseorang memanggil namaku dengan cukup lantang. Dengan gerakan refleks, kepalaku menoleh ke arah sumber suara.
Aku nyaris tak bisa memercayai pandangan mataku sendiri saat kudapati Jay telah berada di belakang tubuhku. Pria itu datang di saat darurat bak di film-film.
"Lepaskan dia selagi aku masih meminta dengan baik-baik."
Aku menatap Jay dengan takjub. Kejadian semalam berkelebat di ingatanku.
Nyatanya ucapan Jay sangat ampuh. Kevin langsung melepaskan cengkeraman tangannya seperti permintaan Jay.
"Apa yang kamu lakukan pada calon istri orang itu tidak sopan, Bung."
Perkataan Jay membuatku tersentak. Lagi-lagi aku menatap wajahnya dan ia terlihat sangat serius. Setahuku Jay bukan tipe orang yang suka bercanda.
"Sial." Kevin mengumpat, lantas membalik tubuh. Pria itu pengecut. Ia pergi begitu saja setelah bersikap begitu sok di hadapanku.
Diva yang telah berdiri terlihat mematung tidak jauh dari tempatku. Ia tampak berkali-kali lipat merasa bersalah dari sebelumnya. Namun, ia tak berani mendekat karena ada Jay.
"Apa lenganmu baik-baik saja? Kamu tidak sakit, kan?" Jay beralih padaku dan seketika menjadi sangat perhatian. Ia tampak sibuk memeriksa lenganku yang sedikit kemerahan akibat ulah Kevin.
"Aku baik-baik saja," tegasku merasa canggung. Seluruh kejadian semalam masih kuingat dengan jelas. Dengan teganya aku memutuskan hubungan kami, tapi Jay masih memperlakukanku dengan begitu baik.
"Ayo kuantar pulang."
"Bukannya kamu mau pergi?" Aku melihat sebuah tas jinjing yang tidak terlalu besar berada dalam genggaman tangan kanan Jay.
"Aku masih punya waktu," balas Jay tanpa memeriksa jam yang ada di ponselnya. Mustahil ia tidak akan ketinggalan pesawat seandainya Jay benar-benar mengantarku pulang lantas kembali lagi ke bandara. Ia pasti akan ketinggalan pesawat jika ngotot ingin mengantarku.
"Aku bisa pergi sendiri. Lagipula ada Diva... "
Eh. Aku kaget karena Diva sudah tidak ada di tempatnya berdiri. Wanita itu pergi begitu saja tanpa memberitahuku seperti beberapa waktu lalu. Diva licik.
"Kamu bisa ketinggalan pesawat kalau mengantarku pulang... "
"Bagaimana kalau pria itu datang lagi dan mengganggumu?" tukas Jay lagi-lagi menunjukkan perhatiannya. Padahal kami sudah putus dan semalam Jay juga resmi mendeklarasikan kalau ia bukan siapa-siapa lagi untukku.
"Tapi Jay... "
Entah ke mana perginya kata-kata yang hendak kuucapkan. Tiba-tiba saja Jay menyeretku pergi seperti yang ia lakukan saat itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top