Bab 17
Tidurku sangat nyenyak semalam, sampai-sampai aku hampir tidak sadar kalau aku masih ada di hotel. Jam masih menunjuk angka lima pagi dan aku bergegas turun dari tempat tidur. Seperti rencanaku sebelumnya, hari ini aku akan berkeliling dengan mobil sekadar melihat pemandangan alam sekitar dan mengambil beberapa lembar foto untuk disimpan sebagai koleksi pribadi.
Setelah mandi dan berganti pakaian kasual yang nyaman, aku bersiap. Ponsel yang sejak kemarin pagi mati, kunyalakan kembali karena aku akan mengabadikan pemandangan yang kulihat nantinya dengan menggunakan benda itu. Tapi, begitu ponselku aktif, notifikasi pesan dan panggilan tidak terjawab masuk bertubi-tubi.
Pupil mataku sampai melebar saat menemukan riwayat panggilan masuk ke ponselku. Ada Mama, Papa, Nando, dan Jay yang berusaha menghubungiku dari kemarin hingga semalam.
Ada apa ini? Kenapa mereka semua menghubungiku? Juga Jay. Padahal sejak aku memutuskan hubungan kami malam itu, sekali pun Jay belum pernah menghubungiku. Aku lah yang sempat menelepon Jay kala itu.
Apa kamu baik-baik saja? Hubungi aku kalau kamu membaca pesan ini.
Salah satu pesan dari Jay kubaca karena penasaran. Sedang pesan-pesan lain dari Mama dan Nando kuabaikan.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Aku tidak langsung menghubungi Jay seperti isi pesan yang dikirimkannya padaku, tapi aku mencari tahu lebih dulu di internet tentang apa yang sedang trending saat ini. Dan tak butuh waktu lama untuk bisa menemukannya.
Sebuah pesawat dengan tujuan Jakarta-Lombok mengalami kecelakaan saat melakukan pendaratan...
Tubuhku lemas usai membaca sebuah artikel yang dimuat salah satu media yang memberitakan kecelakaan pesawat.
Itu terjadi kemarin. Saat aku sedang sibuk merancang sebuah rencana liburan yang menenangkan tanpa terganggu pihak manapun juga. Di saat itulah terjadi kecelakaan pesawat milik maskapai penerbangan tempatku bekerja. Pesawat itu mengalami mati mesin dan harus melakukan pendaratan darurat. Konon semua penumpang dan kru pesawat selamat, tapi beberapa dari mereka mengalami luka-luka. Dan ada Diva di sana!
Ya, Tuhan...
Kenapa ini bisa terjadi di saat aku sibuk memikirkan kepentinganku sendiri?
Aku berniat menghubungi nomor telepon milik Diva, tapi sebelum aku sempat melakukannya, ponselku justru bergetar. Sebuah panggilan masuk. Dari Jay!
Sejenak aku gamang. Namun, setelah beberapa detik akhirnya aku memutuskan untuk menjawab panggilan itu.
"Halo... "
"Kamu di mana? Kenapa ponselmu tidak aktif kemarin? Kamu tahu, aku sangat mencemaskanmu, Nad."
Aku hanya tertegun mendengar suara Jay yang mencecarku dengan emosional.
"Aku baik-baik saja, Jay," tandasku bermaksud untuk memberinya sebuah ketenangan.
"Bilang padaku di mana posisimu sekarang."
"Kubilang aku baik-baik saja, Jay. Aku tidak ikut dalam penerbangan itu... "
"Kemarin aku datang ke mess, tapi kamu tidak ada di sana. Kamu juga tidak ada di rumah... "
Jay mencariku?
"Bukannya kamu ada di Bali?" tanyaku penasaran. Pasalnya Icha memberitahuku kalau Jay memutuskan untuk menetap di Bali. Rumah Jay yang berada di Jakarta terlihat sudah ditinggalkan. Pagar yang digembok menunjukkan indikasi kalau penghuninya sedang pergi jauh dan mungkin tidak akan pernah kembali lagi.
"Begitu aku mendengar berita itu aku langsung menelepon kamu, tapi ponsel kamu tidak aktif. Aku telepon keluarga kamu, tapi mereka tidak tahu kamu ada di mana. Kami semua kebingungan karena kamu tidak bisa dihubungi. Kami pikir kamu ikut dalam penerbangan itu dan terjadi sesuatu denganmu. Aku memutuskan untuk mencari tiket ke Jakarta saat itu juga. Aku datang ke mess, tapi kamu tidak ada di sana," urai Jay panjang. Sementara aku menyimaknya dengan memendam perasaan bersalah.
"Katakan padaku di mana kamu sekarang, biar aku jemput."
"Aku di puncak," ucapku sejujurnya. "Aku akan kembali ke Jakarta sekarang juga. Kamu tidak perlu menjemputku, aku membawa mobil sewaan ke sini." Terlalu ribet seandainya Jay datang menjemputku karena aku membawa mobil sendiri.
"Kamu di puncak?" Meski tidak bisa melihat wajah Jay, aku bisa mendengar nada kaget dalam suaranya. "Kenapa kamu pergi ke sana? Dan bersama siapa?"
Jay belum berubah. Ia terkesan posesif dilihat dari pertanyaan yang dilontarkannya bertubi-tubi padaku.
"Aku hanya ingin menenangkan diri di sini."
Jay menghela napas berat.
"Kalau begitu menyetirlah dengan hati-hati. Hubungi aku jika sudah sampai."
"Ya," balasku kaku.
Jay menutup telepon sedetik kemudian.
Entah mengapa aku merasa Jay memperlakukanku seolah-olah aku masih kekasihnya, padahal jelas-jelas aku telah memutuskan hubungan kami secara sepihak malam itu. Dan Jay tampak menerima keputusanku meski tidak dengan lapang dada. Ia terpaksa menerima semuanya karena merasa kecewa.
Setelah menepis lamunan, aku bergegas untuk mengemasi barang-barang dan segera check out dari hotel tempatku menginap. Aku bahkan lupa untuk menelepon Diva dan bertanya kabarnya karena saking terburu-buru .
Jay sedang menungguku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top