Bab 14
"Mama mengirimkan beberapa foto putra teman Mama untuk diperkenalkan padamu. Pilih salah satu yang menurutmu paling menarik. Minggu depan Mama akan mengatur pertemuan kalian."
Aku terenyak mendengar ucapan Mama di telepon. Bisa-bisanya Mama ingin menjodohkanku dengan salah satu putra temannya padahal aku belum lama putus dari Jay.
"Ma." Aku akan mengeluh habis-habisan kali ini. "Bisa tidak Mama berhenti mencampuri hidupku? Aku masih ingin berkarir, Ma."
"Mama tidak pernah melarangmu berkarir, Nad. Mama dan Papa sudah memberi kamu izin untuk menjadi pramugari, kan?"
"Lantas, kenapa sekarang Mama ingin menjodohkanku?" Aku menukas dengan perasaan dongkol.
"Karena kamu sudah memutuskan Jay. Jadi, Mama mencarikan pengganti Jay untukmu."
"Apa Mama harus bertindak sejauh ini? Apa aku tidak berhak atas hidupku sendiri, hah?"
"Nadia! Jangan berteriak pada Mama!"
Telingaku panas mendengar teriakan lantang Mama. Seharusnya aku yang marah karena Mama terus saja mengatur hidupku dan bukan sebaliknya.
"Aku sudah dewasa, Ma. Aku bukan anak kecil yang bisa Mama atur sesukanya."
"Mama mengatur hidup kamu hanya untuk kebaikanmu sendiri."
"Aku tahu, tapi apa yang baik menurut Mama bukan berarti baik untukku. Jadi, berhentilah mengatur hidupku. Aku tutup teleponnya." Aku mengakhiri percakapan dengan paksa.
Kenapa Mama mesti berbuat sejauh ini? Wanita itu membuatku merasa semakin tertekan. Perasaanku terhadap Jay belum sepenuhnya berakhir, tapi Mama justru memaksaku untuk memulai hubungan baru lagi. Jelas-jelas aku tidak bisa melakukannya.
Kurasa aku tidak akan pulang ke rumah untuk jangka waktu yang lama. Mungkin aku akan kembali setelah situasi kondusif.
**
"Hai. Kita bertemu lagi."
Mama sudah membuat suasana hatiku memburuk sejak semalam dan kenapa Kevin muncul di saat seperti ini? Aku tahu ia ikut penerbangan yang sama denganku tadi. Mungkinkah itu disengaja? Apakah Diva yang memberinya informasi tentang jadwal penerbanganku?
"Kurasa kamu lebih sering bepergian sekarang," ucapku tanpa mengurangi kecepatan melangkah.
Kevin mengembangkan senyum. Mungkin ia pikir aku mengajaknya bercanda dan bukan sedang menyindirnya.
"Ya, kebetulan aku ada pekerjaan di Surabaya. Jadi aku mesti bolak-balik Jakarta-Surabaya dan kebetulan tiket pesawat maskapai ini yang paling terjangkau," ujar Kevin.
Ganti aku yang mengembangkan tawa untuk meledek pria yang kini sedang berjalan menjajari langkahku.
"Apa Diva yang memberitahu kamu tentang jadwal penerbanganku?" Aku mencecarnya dengan serius. Menilik penampilan Kevin, aku tahu ia bukan orang biasa. Kevin berasal dari keluarga berada. Tiket murah hanyalah sebuah alasan untuk orang seperti dirinya. "Apa kamu sedang berusaha mendekatiku? Atau aku yang salah menebak?" Aku berhenti dan menatap pria itu.
Kevin ikut menghentikan langkah. Pria itu tidak langsung menjawab.
"Bagaimana kalau itu benar?" Alih-alih membalas dengan jawaban pasti, ia malah mengajukan pertanyaan menjebak.
Aku bisa menebaknya dari awal. Tak ada persahabatan antara seorang wanita dan pria yang tidak dibumbui dengan asmara.
"Kalau aku tidak mau?" tanyaku bermaksud menguji.
"Aku bukan orang yang mudah menyerah, Nadia. Aku bahkan bisa mengejarmu sampai ke ujung dunia," tandas Kevin dengan penuh keyakinan.
"Kurasa aku sudah pernah bilang padamu sebelumnya. Aku mencintai orang lain," tegasku masih tak ingin memberi harapan meskipun itu hanya sebuah keraguan.
"Bagaimana kalau aku tidak peduli?"
"Kamu akan terluka kalau terus memaksakan kehendak."
"Aku siap terluka setiap saat."
Kevin sedang memamerkan betapa kuatnya dirinya menghadapi segala persoalan hidup. Tapi sayangnya aku sama sekali tidak berminat dengan dirinya.
"Kamu lebih bodoh dari yang kukira," desisku. Pria itu tampaknya hanya akan menyulitkan hidupku. Kevin justru menambah masalah setelah persoalan Jay dan Mama.
Kevin tertawa.
"Orang yang sedang jatuh cinta akan menurun tingkat kecerdasannya, Nadia. Kamu tidak tahu itu?"
"Begitukah?" Aku menggumam.
"Kamu tidak punya janji saat ini, kan? Bagaimana kalau kita minum kopi sambil ngobrol?"
"Memang tidak, tapi aku lelah. Maaf."
"Tunggu!"
Teriakan itu berhasil membuat kakiku urung melangkah. Sungguh, aku tidak suka berada di dalam situasi ini.
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, kamu tidak harus menyukaiku. Kita bisa ngobrol selain hal-hal pribadi," ujar Kevin berusaha menahanku lebih lama.
"Apa aku tampak murahan bagimu?" Aku mendelik ke arah pria itu. "Kamu tahu, semakin kamu memaksa seseorang yang tidak tertarik padamu, orang itu akan semakin menjauh darimu. Lagipula cara pendekatan yang kamu lakukan salah sejak awal. Tidak ada wanita yang suka dengan cara pendekatan seperti itu, mengerti?"
Pria itu tertegun sejenak.
"Lantas, cara pendekatan seperti apa yang kamu sukai? Katakan padaku dan aku akan melakukannya sesuai dengan keinginanmu."
Aku menghela napas pendek.
"Meskipun aku memberitahu kamu cara pendekatan yang kusukai, kamu tetap tidak akan berhasil membuatku tertarik padamu. Jadi berhentilah mendekatiku dan cari wanita yang benar-benar menyukaimu apa adanya. Aku yakin pasti ada satu atau dua yang menyukaimu." Setelah menyelesaikan kalimat, aku kembali meneruskan langkah. Jika Kevin memanggil untuk menahan langkahku, aku tidak akan terusik.
Aku berjalan sembari menghitung langkah, tapi sampai pada hitungan ke-tujuh, Kevin tak kunjung berteriak memanggil namaku. Kalimatku pasti mengena di hatinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top