Bab 12
"Div!" Aku berseru memanggil Diva seraya menggedor pintu kamarnya. Padahal aku sendiri belum menyambangi kamarku sekadar menyimpan koper atau bertukar pakaian.
Aku tak perlu menunggu lama karena dua detik kemudian pintu kamar Diva terbuka.
"Aku perlu bicara," ucapku begitu pintu terbuka dan raut wajah Diva berada persis di depanku. Wanita itu tampak mengenakan setelan piyama berlengan panjang bermotif lumba-lumba. Sangat kekanakan.
"Sebelumnya aku minta maaf karena sudah meninggalkan kamu tadi."
Keningku mengerut. Diva cukup memahami situasinya padahal aku belum mengatakan apapun.
"Sebenarnya Kevin itu saudara sepupuku, Nad," ungkap Diva tidak terduga. Kami baru saja di awal obrolan, tapi Diva sudah mengungkap identitas Kevin secepat itu. Raut wajahnya menggambarkan penyesalan sekaligus rasa bersalah. Wanita itu tampaknya tahu benar jika aku sedikit kesal saat ini.
"Maksud kamu... "
"Bisa kita bicara di dalam?" Diva membujukku untuk masuk ke dalam kamarnya. Di sana kami bisa berbincang dengan leluasa tanpa perlu merasa khawatir akan ada yang mencuri dengar percakapan kami.
Aku menuruti ajakan Diva dan beberapa saat kemudian kami telah duduk berdampingan di tepi tempat tidurnya.
"Aku tidak bermaksud buruk, Nad. Aku hanya ingin memperkenalkan kamu dengan Kevin. Siapa tahu kalian cocok."
"Aku bisa mengerti," balasku tak ingin meluapkan emosi berlebihan. "Tapi seharusnya kamu bicara dulu denganku, Div. Kamu tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini, kan? Aku putus dari Jay bukan karena dia yang memutuskan hubungan kami, tapi aku. Aku yang sudah melepaskan Jay. Tidak adil kalau aku bertemu dengan orang lain dan memulai sebuah hubungan baru. Lagipula aku juga belum melupakan Jay. Aku masih mencintainya, Div," uraiku.
"Aku minta maaf, Nad." Kedua tanganku diraih Diva. "Tidak seharusnya aku merencanakan semua ini. Kevin juga terus memaksaku untuk segera dikenalkan denganmu."
"Kamu mengunggah fotoku di media sosial?"
Diva mengangguk.
"Itu foto kita berdua, Nad. Dan Kevin melihatnya." Diva memberi keterangan.
Sementara aku hanya bisa menghela napas lelah. Pasalnya aku bukan orang yang suka mengunggah foto-foto pribadi di media sosial untuk dibagikan dengan orang lain. Aku merasa lebih nyaman menyimpan foto-foto pribadi di laptop sebagai koleksi.
"Masalahku dengan Jay cukup rumit, Div. Kuharap kamu bisa mengerti perasaanku," tandasku seraya bersiap mengangkat tubuh dari atas tepi tempat tidur.
"Maaf, Nad."
Aku terlalu lelah untuk membahas masalah ini lebih panjang lagi. Meski kesal dan marah, aku tidak akan melampiaskannya pada Diva. Energiku seolah terkuras habis usai penerbangan tadi. Tapi aku sudah memaafkan Diva. Wanita itu tidak akan berani untuk mengulangi perbuatannya lagi.
Usai mandi dan berganti pakaian longgar, aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Meski tidak senyaman ranjang di rumah, tapi ini cukup baik. Tidak ada omelan Mama yang mengusik ketenangan.
Mataku baru terpejam sebentar saat ponsel yang kuletakkan di samping bantal mendadak bergetar. Membuatku terpaksa mengurungkan niat untuk tidur.
Nando?
Melihat sebaris nama Nando tertera di layar ponselku membuatku harus melipat kening. Tidak biasanya adik laki-lakiku itu menelepon. Ia biasa mengirim pesan instan, itupun minim kata. Nando biasa menyingkat kata per kata dan terkadang aku tidak bisa mengartikan tulisannya dengan benar.
Aku berani bertaruh jika ini berkaitan dengan masalah uang. Jika bukan urusan darurat, Nando tidak akan repot-repot menelepon. Mungkin ia kehabisan uang karena Jay sudah tidak mengirimkan sejumlah dana ke dalam rekeningnya.
"Ada apa?" Aku menyapa dengan suara tidak ramah. Pasalnya Nando sudah mengganggu waktu istirahatku.
"Aku tadi lewat depan rumah Kak Jay, tapi sepertinya rumah itu kosong. Pagarnya digembok," beritahu Nando langsung pada intinya.
Aku cukup terkejut mendengar kabar yang disampaikan Nando. Tapi keterangan yang ia berikan berkaitan erat dengan informasi yang disampaikan Icha padaku.
"Apa Kak Jay pindah?"
"Kurasa begitu." Aku membalasnya dengan kalimat singkat.
"Kak Nadia tahu Kak Jay pindah ke mana?"
"Ya."
"Ke mana?"
"Bali." Seperti yang dikatakan Icha beberapa waktu lalu.
"Bali? Jauh sekali." Aku bisa menangkap decak kecewa dari nada suara Nando. Ia pasti merasa kehilangan sekaligus takut kalau-kalau Jay menghentikan aliran dana ke rekening Nando.
"Kenapa kamu tidak mencoba menghubunginya? Kamu takut tidak dapat uang jajan lagi darinya, kan?"
"Memangnya aku sematre itu?"
"Kamu memang matre, kan?"
"Terserah Kak Nadia mau bilang apa. Tapi sebenarnya Kak Jay baru saja mentransfer uang ke rekeningku. Dia tidak menghentikan aliran danaku meski kalian sudah putus," ujar Nando membuatku bingung bercampur heran.
"Benarkah?" Aku masih tidak memercayai ucapan Nando meski tahu ia tidak akan berbohong. "Kamu jangan menggunakan uang itu, Do."
"Loh, kenapa?"
"Pokoknya jangan. Atau begini saja. Kamu transfer balik uangnya, biar aku yang ganti. Kamu tahu kan aku dan Jay sudah putus. Masa kamu masih menerima uang Jay? Di mana harga diri kamu, Do?"
Samar-samar aku menangkap suara tawa Nando. Lagipula orang waras mana yang tidak menyukai uang?
"Kak Jay mengirimiku dua kali lipat dari yang Kak Nadia berikan padaku. Yakin mau menggantinya?"
"Apa?!" Aku terperanjat. Jay memberinya sebanyak itu padahal Nando bukan siapa-siapanya Jay? Aku tahu jika Jay mengirimi Nando uang, tapi sejujurnya aku tidak pernah tahu berapa banyak jumlahnya.
"Ya sudah. Aku tutup dulu teleponnya... "
Aku masih tertegun ketika sambungan telepon terputus. Aku bahkan tidak sempat mengeluarkan kalimat apapun dari bibirku.
Jay masih mengirimkan sejumlah uang ke dalam rekening milik Nando meskipun kamu sudah putus. Tapi atas dasar apa? Bahkan Nando masih punya kakak yang bisa membiayai kuliahnya. Untuk apa Jay melakukan hal itu?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top